Sabtu, 12 Februari 2011

Tesis-Antithesis Financial Fair Play Sepakbola

Pasca pembelian Fernando Torres oleh Chelsea dari Liverpool pada akhir Januari 2011, membuat semua orang ramai berkomentar. Selain memecahkan transfer pemain di Inggris dengan dana 50 juta poundsterling, sebagian orang menyesalkan kepergian sang bintang untuk berlabung ke club London itu. Pendukung dan pemain Liverpool menyesalkan keputusan El Nino yang mendadak pergi tanpa pamit. 


Banyak yang menduga, ia pergi karena uang, sebagian lain melihat Torres pergi karena putus asa dengan Liverpool yang tak kunjung membaik dari sisi prestasi. Apapun itu, sang bintang telah pergi. Dari segi bisnis, Fernando Torres diyakini oleh banyak kalangan akan bermafaat sebagai investasi jangka panjang Chelsea. Bos Arsenal, Arsene Wenger pun ikut angkat bicara mengenai kepergian Torres. Menurut pelatih asal Prancis itu, campur tangan Abramovich saat menggelontorkan dana 50 juta poundsterling (sekitar Rp715 miliar) demi menghadirkan Torres menjadi bukti bahwa sang pemilik masih memiliki hasrat untuk menanamkan investasi jangka panjang di Chelsea. Hasrat yang akan membuat persaingan kompetesi Liga Inggris akan kian sengit. Namun, alih-alih pihak Chelsea mengklaim keberhasilan buruannya, Wenger juga mempertanyakan sikap The Blues yang bermuka dua. Sebelum menuntaskan transfer ganda itu, Chelsea mendukung rencana UEFA menerapkan regulasi tentang pentingnya keuangan klub yang sehat. Tetapi di satu sisi Chelsea ”gila-gilaan” di lantai bursa. Fernando Torres dan David Luiz diboyong dengan transfer dadakan.
Dikutip dari situs Goal.com, Wenger juga menyindir standar ganda yang dilakukan club yang bermarkas di Stamford Bridge."Chelsea mendukung regulasi finansial 'fair play' UEFA, tetapi tepat pagi harinya mengumumkan mengalami kerugian hingga 70 juta pound dan pada malamnya membeli dua pemain lebih dari jumlah kerugian mereka..Darimana logikanya?" sindir Wenger dalam salah satu wawancara. Apapun itu, UEFA sebagai badan regulasi di Persepakbolaan Eropa harus mampu mengaplikasikan regulasi financial yang sudah menjadi kesepakatan club-club eropa. Bagaimana pun etika bersepakbola harus dijunjung tinggi, walau secara regulasi, apa yang dilakukan Chelsea sah-sah saja.
Anti Thesis Wenger
Semenjak kedatangan Roman Abramovich ke Chelsea, Wenger memang mencoba membangun Arsenal dengan Anti Thesis strategi kebijakan yang dilakukan oleh Chelsea, Real Madrid, bahkan yang paling terkini adalah Manchester City. Tesis club-club kaya yang memaknai kekuatan uang akan berimbas kepada prestasi coba dilawan dengan strategi dan skema pembinaan yang baik. Bagaimana pun, sepakbola modern menurut Wenger dan pemerhati sepakbola kebanyakan, harus menggabungkan proses pengembangan pemain muda dan memperbanyak mereka untuk bermain. Banyak bermain dalam satu kompetisi akan menjadikan para pemain memiliki visi bermain dan kecintaan kepada club. Bukan bermain karena tuntutan beban dan harga yang mereka sandang dalam proses transfer.
Komentar yang dilontarkan Wenger memang cukup relevan  dengan fenomena transfer pemain di Eropa. Para pelatih lain, terutama pelatih Kenny Daglish juga sepakat dengan standar ganda yang dilakukan Chelsea. Club-club kaya kini semakin rakus untuk membajak para pemain rivalnya tanpa perlu membinanya. Kekuatan uang telah mengebiri proses pembinaan pemain sekaligus mengembangkan pemain bermental prematur. Keeogoisan pemain muda yang terlanjur kaya raya diusia muda menjadi boomerang dan menenggelamkan karier mereka karena mereka tumbuh dan berkembang pada fase yang terlalu cepat. Beban dan tanggung jawab yang dipikul oleh pemain muda ini juga membuat frustasi mereka. Implikasinya terlihat dan berdampak kepada mental dan cara bermain. Bakat afrika seperti Adebayor, atau pemain muda dari Amerika Latin semacam Robinho, Javier Saviola dan Pablo Aimar, serta pemain muda penuh talenta lainnya adalah contoh nyata bagaimana fenomena kapitalisme sepakbola telah merampas masa depan karier mereka.
Mereka seperti pesakitan karena dicampakkan oleh ekspektasi yang berlebihan. Mereka layu sebelum berkembang. Selain berada pada club yang salah, egoisme pribadi ikut menghambat kualitas bermain mereka. Paradigma sepakbola modern saat ini menghendaki relasi progresif antara harga pemain dengan kontribusi mereka kepada club. Ternyata, para pemain muda ini gagal mnghadirkan ekspektasi tinggi ini. Pengecualian untuk Wayne Rooney  yang berada pada club yang tepat (Manchester United), kebanyakan para talenta muda gagal menunjukkan bakatnya. Bukan karena mereka tidak mampu, tapi kedewasaan dan mental mereka sebagai pesepakbola berbakat belum saatnya memasuki fase krusial dan beban tinggi.
Keberhasilan club yang berhasil menyeimbangkan tesis dan antithesis saat ini adalah Barcelona. Club ini berhasil membuktikan antithesis yang mereka kembangkan mampu menghasilkan talenda muda berbakat. Pedro, Bojan Krkic, dan Messi  menjadi produk akademi yang baik dan mampu bermanfaat bagi club dari segi prestasi dan investasi keuangan. Arsenal pun telah menuju ke arah itu. Bedanya, visi Arsenal untuk memberikan pemain muda sangat tinggi dan luas yang kemudian diikuti minimnya gelar. Tapi ini adalah proses pengembangan club. Butuh waktu lama dan investasi waktu dan tenaga.
Praktik rente sepakbol ala mafia yang dilakukan para kapitalis ini memang harus diatur dan ditandingi oleh pengembangan dan investasi panjang seperti apa yang dilakukan Barcelona Ajax Amsterdam, dan Arsenal. Bukan aturan pasar, namun aturan yang mampu mengakomodasi peran dan jerih payah club untuk mengembangkan pemain binaannya. Disisi yang lain, pengembangan para pemain muda lokal akan menumbuhkan generasi tim nasional sebuah negara untuk berprestasi di level turnamen internasional.
Krisis Pemain Tim Nasional
Dampak dari kompetisi yang berbasis mekanisme pasar mengancam keberlangsungan regenerasi pemain Tim Nasional sebagian negara di Eropa dan dunia. Inggris dan Italia saat ini telah memasuki pasca krisis pemain muda berbakat. Kalaupun ada,kebanyakan para pemain muda ini tidak mendapat tempat utama di club. Menjamurnya para pemain asing di Inggris ikut menenggelamkan bibit muda dan kesempatan bermain. Dulu, Spanyol mengalami apa yang dialami Inggris saat ini. Namun, Spanyol dapat bangkit karena dari tahun ke tahun kualitas kompetisi mereka meningkat karena sinergitas pemain asing dan pemain lokal diatur dalam regulasi kompetisi. Di tingkat tim nasional, Spanyol memetik hasilnya sebagai kampium Eropa dan Dunia. Generasi emas dari produk kompetisi lokal mereka hadir dan berkembang dengan baik. Simbiosis mutualisma antara club dan negara terjadi. Inilah yang dinamakan harmonisasi pengelolaan sepakbola modern. Nasionlisme tetap ditempatkan pada tujuan akhir dari sebuah model kompetisi, bukan ditempatkan pada tujuan antara.
Kompetisi harus menjadi sarana untuk menghasilkan kesinambungan produk pemain lokal yang baik dan berkualitas. Bukan ajang untuk melakukan naturalisasi yang semakin latah. PSSI juga harus sadar akan hal ini. Bagaimanapun, sebuah kebanggaan bermain di Tim Nasional akan tumbuh ketika prosesnya dilalui para pemain dilakukan dengan wajar, bukan cara instan yang dibungkus dengan aturan baku. Naturalisasi adalah bentuk keputusasaan PSSI dalam membangun dan mengelola sepakbola di dalam negeri. Semoga pemimpin PSSI ke depan menyadari hal ini karena keberhasilan dan gelar membutuhkan waktu, tenaga, dan model kompetisi yang fair play dalam segala hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar