Minggu, 13 Februari 2011

Si Bolang, Unyil dan Usro

Tanpa sengaja remote TV di rumah menuntun saya mengganti channel salah satu stasiun TV nasional saat siang mulai beranjak sore. Awalnya saya acuh, tapi karena acara yang ditayangkan bersetting latar pedesaan, sejenak saya amati dan nikmati acara ini. Si Bolang nama acaranya. Si Bolang diceritakan sebagai sosok yang menjelajah ke berbagi pelosok nusantara. Menemui teman-teman di berbagai kampung di negeri ini. Singkat cerita, saya dibawa ke masa kanak-kanak saat masih tinggal di kampung. Acara Si Bolang memang unik. Narasi dan gambar yang disajikan sangat natural. Jauh dari kesan settingan yang mengada-ada layaknya komedi situasi atau reality show kebanyakan. Si Bolang memberikan perspektif baru bagi orang yang mlihatnya, khususnya anak-anak dalam menyikapi dan mencari hal-hal sederhana, namun telah dilupakan oleh sebagian orang.
Ketika acara selesai, saya masih penasaran dan ingin menontonnya kembali. Penasaran…ya, saya pribadi sangat penasaran dan tidak ingin acara ini lekas selesai. Bahkan, malaikat kecil ponakan disampingku tidak rela acara ini habis. Bahkan untuk memberi ruang untuk jeda iklan sekalipun. Anak kecil disampingku riang bukan kepalang ketika anak-anak kecil di layar kaca terjun dan bermain di areal sungai yang ada tebingnya. Sesekali mereka bermain air dengan membuat cipratan bagi kawannya. Setelah lelah bermain dengan air, mereka bergegas mencari ikan untuk dibakar dan dinikmati bersama-sama di pinggir sungai. Pada kesempatan yang lain mereka juga menyempatkan untuk berkemah dengan membuat rumah kemah dari pelapah daun sagu. Sangat nikmat sekali.  Sungguh…sangat natural tinggal laku anak-anak kecil itu. Bahkan bagi yang menontonnya, terasa tergelitik dan ingin tahu apa lagi yang akan mereka lakukan diakhir petualangan episode hari ini.
Si Bolang bukan hanya sarana bagi saya pribadi untuk reuni dan kembali ke masa dulu. Masa kanak-kanak yang selalu ceria. Tidak ada konsol game buatan Sony atau Nintindo. Tidak koneksi internet untuk berfacebook dan bertwitter ria. Teman dan sarana bermain kita kala itu hanya alam. Betapa menyenangkan merakit batang-batang daun singkong untuk dijadikan rakit. Atasnya kita beri pelapah daun pisang agar tampak seperti layar terkembang. Tidak lupa kanan kirinya diberi penyeimbang dari…aku lupa namanya, yang jelas itu semacam daun dari batang bambu yang multifungsi. Bisa dibuat berbagai macam mainan. Dari mulai Kitiran (anak-anak sekarang lazim menyebutnya baling-baling), replika tembak-tembakan, sampai penyeimbang untuk perahu rakitan. Dan tahukah kamu buah pohon petey itu dapat dibuat menjadi helicopter jika kita desain dan tambahkan ornamen lidi dari batang kelapa?
Wah, tidak terbayang aku kembali pada masa itu. Sungguh indah karena setiap hari selepas sekolah hanya ada aktivitas bermain dan bermain. Bahkan, aku sampai lupa dengan nama daun bambu yang dapat membuatku gatal-gatal. Tapi, oh iya…aku ingat sekarang…namanya bambu Ulung..! Orang Jawa menamakan Bambu Ulung kalau tidak salah. Apapun itu, Si bolang telah membangkitkan kenangan masa lalu untuk saya pribadi. Masa dimana pembentukan karakter dan pengetahuan anak-anak dimulai dengan mencari. Mencari hal-hal baru yang membuat mereka tergelitik. Berdiskusi, mencari ide untuk mencuri pisang di kebun belakang, sampai membangun kedewasaan diri dengan cara mengalah untuk kepentingan yang lebih besar adalah segelintir pesan yang saya simpulkan dari masa kanak-kanak. Proses pembelajaran ini yang tidak kita dapatkan dari tayangan-tayangan masa kini. Berbagai acara anak-anak kita hampir semuanya diisi oleh acara kartun dari negeri Sakura. Genre dan tema ceritanya pun bermacam-macam, tapi benang merahnya tidak mampu mewakili karakter dan budanya keindonesiaan. Benar kata Guruh Soekarno Putra, bangsa ini sudah mulai lupa dengan  budayanya. Sudah tidak mengindonesiakan, hal-hal yang memang seharusnya dapat kita Indonesiakan agar Indonesia itu sendiri dapat eksis dalam berbagai hal.  
Tayangan Si Bolang telah membangkitkan kembali kejayaan masa lalu. Masa dimana anak-anak menunggu Si Unyil dan Usro saat minggu pagi datang. Ingatkah kita, satu jam sebelumnya kita sudah setia duduk di depan layar kaca sampai kita lupa mandi. Ingatkah kita bagi sebagian diri kita yang tidak punya televisi rela menumpang nonton Si Unyil dan Usro ditetangga kita? Bahkan menumpang nonton TV di aula kelurahan. Celakanya, kunci gembok untuk membuka tempat menyimpan TV dibawa oleh Pak Lurah. Alhasil anak-anak kecewa bukan kepalang.
Semuanya berkumpul. Keceriaan dan sikap natural timbul tanpa perlu dibuat. Si Unyil dan Usro kini datang lagi. Temannya kini semakin bertambah. Ada si Bolang, Si Dika, Si Asep,dan teman-teman dari kampong lain. Semuanya berkumpul dan ingin selalu tahu dalam segala hal. Mulai dari memasak tepung singkong (tepung tapioca) untuk bahan Mie “Onthel”, atau sekedar membuat manik-manik dari pelepah batang akasia. Unyil cs juga mampu membuat anyaman eceng gondok ketika mereka singgah di danau Rawa Pening lho... Rindukah kalian dengan masa itu? Atau saya yang terlalu tua menceritakan hal ini karena kalian tumbuh dan beranjak dewasa di kota? Sehingga kalian tidak tahu dan merasaka apa yang saya rasakan? Apapun itu, berutunglah kalian yang pernah merasakan alam pedesaan dengan segala keramahtamahannya. Beruntunglah kalian memiliki teman-teman seperti Unyil dan Usro karena mereka secara tidak langsung memberikan hal-hal baru yang baik tentunya bagi diri kita yang menontonnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar