Selasa, 06 September 2011

Parsel (Masalah) Lebaran Untuk Jakarta


Pasca hajatan besar bernama “mudik lebaran”, Kota Jakarta kembali menggeliat. Sejak senin kemarin (05 September 2011) masyarakat mulai kembali beraktifitas pasca libur cuti bersama hari raya idul fitri berakhir. Banyak cerita terjadi selama mudik tahun ini berlangsung. Mulai dari masih masalah minimnya sarana transportasi publik  yang memadai, aman, dan nyaman; Atensi yang semakin tinggi dari masyarakat Jakarta untuk mudik juga membawa permasalahan pelik. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor yang digunakan sebagai sarana mudik. Akibatnya, moda transportasi kereta api menurun penggunaannya dibanding tahun lalu. Hal yang sama juga dikeluhkan oleh para supir bus Antar Kota Antar Propinsi yang merasakan adanya penurunan penumpang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Peralihan moda transportasi ini penulis melihat sebagai buntut dari gagalnya pemerintah dalam menciptakan transportasi massal yang memadai. Akibatnya, kenyamanan dan keamanan dibenak sebagian besar pemudik tercipta ketika mereka menggunakan kendaraan pribadi. Selain jauh dari desak-desakan dan antri untuk mendapatkan tiket mudik, pulang kampong dengan menggunakan kendaraan pribadi juga menjadi simbol keberhasilan seorang perantau ketika pulang ke kampung halaman.

Pemakain kendaraan pribadi yang semakin meningkat memberikan konsekuensi karena banyaknya tingkat kecelakaan dan korban tewas selama mudik lebaran tahun 2011. Di sisi yang lain, selain karena faktor human error, prasarana seperti jalan dan minimnya marga jalan ikut menyumbang potensi kecelakaan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri semakin banyaknya kuantitas volume kendaraan pribadi membuat beban jalan tidak mampu lagi menampung para pemudik. Kemacetan pun tidak dapat teralakkan. Apalagi, ditambah dengan masih banyaknya jalan tol maupun perbaikan jalan yang belum rampung oleh dinas terkait semakin menambah masalah di jalan.

PNS Bolos Kerja Rame-Rame

Cerita yang tidak kalah heboh dalam hajatan mudik adalah masalah yang timbul pasca mudik. Proses urbanisasi tidak dapat dibendung karena para pemudik biasanya mengajak sanak saudara untuk mengadu nasib di Jakarta. Walaupun penurunan tren urbanisasi terus menurun ketika mudik berlangsung, masalah Yustisia ini menjadi agenda tahunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk mensterilkan wilayahnya dari para penduduk illegal. Inilah bentuk resistensi hajatan mudik sepanjang tahun. Kemilau dan keberhasilan para pemudik di kampong halaman telah menarik perhatian penduduk desa untuk mengadu nasib di Ibukota. Iming-iming hidup lebih baik daripada di kampong menjadi alasan klasik dari kaum urban ini. Di samping itu, kemiskinan yang akut di daerah juga menjadi penyebab larinya para penduduk kampung ke kota-kota besar dalam mendapatkan “kue kemakmuran” dari yang namanya pertumbuhan ekonomi.

Yang tidak kalah heboh, sepanjang tahun, pasca lebaran juga dihisasi dengan adanya virus sakit bersama bagi kalangan Pegawai Negeri Sipil di Ibu Kota. Media cetak dan elektronik pada hari senin tanggal 05 September 2011 banyak menurunkan headlines para PNS yang bolos kerja. Bahkan, ada adegan inspeksi mendadak oleh para gubernur, bupati, dan kepala dinas. Dari sekian banyak pemberitaan, penulis tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Walikota Surabaya dan Bupati Tasikmalaya. Ibu Walikota Kota Surabaya mendadak melakukan inspeksi mendadak disalah satu kelurahan. Karena Walikota tidak mendapati Sang Lurah tidak ada ditempat, dengan marah dia menyuruh pegawai kelurahan mencari sang lurah sampai ketemu. Setelah sampai di kantor, sang lurah dimarahi dan dinasihati oleh Ibu Walikota karena perbuatannya. Para jurnalis, pegawai kelurahan, dan masyarakat asyik menikmati hiburan gratis dari pembicaraan atasan dan bawahan ini. Selain menanggung malu, muka sang lurah tentu saja pucat padam mendengar “omelan” Ibu Walikota.

Yang lebih heboh dilakukan oleh Bupati Tasikmalaya. Ketika mendapati banyak Absensi yang ada tanda tangannnya tapi orangnya tidak ada, Sang Bupati lantas menyuruh para PNS yang masuk untuk memanggil PNS yang mangkir. Tanpa ampun, bupati juga merobek absensi yang dia periksa di depan para bawahannya. Tidak itu saja, PNS yang mangkir dan bolos kerja juga disuruh berjemur di lapangan dan melakukan push up saat terik matahari. Adegan ini tentu saja cukup mengocok perut bagi masyarakat yang menontonnya sekaligus shock terapy bagi para PNS yang mangkir dalam bekerja.   

Di Jakarta, PNS yang mangkit pun tidak sedikit. Dari berbagai Kementerian yanga ada, hampir semuanya didapati ada PNS yang tidak masuk tanpa alasan yang jelas. Setali tiga uang dengan sebagian PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, PNS yang mangkir kerja juga banyak ditemukan ketika inspeksi mendadak dilakukan.

Jika demikian adanya, apakah ini artinya moratorium PNS sudah tepat dilakukan untuk mengatasi permasalahan buruknya para aparatur kita? Atau adanya moratorium PNS justru menghambat proses kaderisasi SDM dengan semangat baru untuk menggantikan SDM yang sudah usang, tua, tidak ada gairah kerja, dan cenderung apatis? Entahlah! Moratorium adalah dua mata uang yang saling memberi konsekuensi baik dan buruk.

Yang jelas, parsel (masalah) lebaran ini tidak hanya hadir tahun ini saja. Jauh hari sebelumnya, parsel lebaran ini sudah diterima oleh masyarakat Jakarta. Inilah potret Jakarta. Semuanya tampak indah ketika dari jauh dilihat, tapi busuk ketika kita mendekat. Dan sudah selayaknya semua pihak, termasuk kita sebagai masyarakat Jakarta membuang jauh-jauh parsel (masalah) lebaran sebagai suguhan di hari yang fitri. Semoga!

Jumat, 02 September 2011

Kembali Ke Fitri


Hari raya Idul Fitri 1432 hijriah menjadi penutup rangkaian bulan suci ramadhan selama satu bulan penuh. Selama satu bulan penuh berpuasa di bulan suci ramadhan, umat muslim di seluruh dunia kembali merayakan kemenangan. Lalu, apakah kemenangan itu akan sama dengan kemenangan tahun lalu? Dimanakah perbedaan kemenangan masa kini dan masa lalu bagi diri kita masing-masing agar kita menjadi seseorang yang kembali fitrah?

Pertanyaan itu masih menggelayuti benak saya saat menulis catatan ini. Namun, kemenangan kali ini menurut saya di lebaran tahun ini menjadi sangat berarti karena untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia semakin dewasa memahami dan menyikapi sebuah perbedaan. Penetapan tanggal dan hari jatuhnya Idul Fitri tahun ini yang berbeda di kalangan masyarakat; khususnya warga Muhammdiyah dengan warga yang merayakan Idul Fitri dengan berpegang kepada keputusan pemerintah; tidak mengurangi sedikitpun khitmat dari kemenangan itu sendiri. Tidak terkecuali dengan keluarga saya dimana ayah saya dan saya berbeda pandangan dalam menentukan jatuhnya hari taya Idul Fitri tidak menyulut riak pertengkaran dan amarah. Inilah bentuk toleransi dan kemajemukan bangsa kita. Sebuah nilai budaya agama yang masih mampu dijaga untuk terus memperat tali persaudaraan, perdamaian, dan toleransi sesama umat muslim. Jauh dari kesan yang kita tangkap dari kelakukan para elit pemangku kebijakan.

Makna Mudik

Seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran tahun ini menjadi tradisi sebagian besar warga Jakarta untuk melakukan mudik ke kampong halaman masih terjaga. Sejak hari cuti bersama dimulai, warga Jakarta kembali ke daerah masing-masing. Jalan protokol ibukota yang saban hari dipadati kendaraan kini tampak lengang dan sepi. Ada alasan bagi mereka untuk kembali dan bertemu dengan orang tua dan sanak keluarga di kampung halaman. Bagi masyarakat Jawa, mudik menjadi suatu keharusan karena memiliki dimensi nilai budaya yang sakral. Bertemu langsung dan melakukan sungkeman kepada orangtua merupakan wujud rasa cinta dan hormat anak kepada orangtua. Dalam berbagai candaan cerita, prosesi sungkeman oleh sebagian masyarakat Jawa dimaknai sebagai simbol proses kehidupan dimana orangtua ketika merawat anaknya dilakukan hanya dengan “modal dengkul”. Oleh karena itu, proses sungkeman itu sendiri jika kita amati dilakukan oleh anak kepada orangtuanya lazimnya mencium dan menempatkan kedua telapak tangan sang anak di dengkul ayah dan ibu. Ini adalah bentuk gambaran penghormatan yang tinggi oleh anak kepada orangtua yang telah mendidik dan membesarkan mereka dengan “modal dengkul”. Jadi, mudik merupakan refleksi kerinduan anak kepada orangtua atau sebaliknya untuk selalu menghargai jerih payah pengorbanan dalam mendidik dan membesarkan sebuah keluarga. Ada ikatan emosional yang kembali dibangun setiap setahun sekali dari sebuah pertalian darah dari apa yang dinamakan pranata “keluarga”.

Mudik dalam perspektif sosialogis juga memiliki makna tersendiri. Dalam budaya Minang misalnya, orang yang berani mudik atau pulang kampung ketika hari raya Idul Fitri adalah orang yang sudah berhasil di perantauan. Mungkin hal ini terlalu naïf bagi sebagian kalangan. Namun, budaya Minang dalam pandangan penulis memang membentuk karakter masyarakat minang demikian adanya. Rasa bangga dan berhasil itu harus lebih dahulu melewati sikap pantang menyerah dan berani mengambil resiko sebesar apapun karena mereka merantau berbekal percaya diri dan kemauan ulet untuk bekerja. Fragmen iklan salah satu perusahaan minyak BUMN Nasional di layar kaca belakangan ini tampak menggambarkan anak minang yang menolak kemauan ayahnya untuk meneruskan usaha keluarganya. Kemauan sang anak yang bertentangan dengan ayahnya kemudian mengharuskan sang anak merantau menjadi pengusaha rumah makan minang di kota besar. Akhir dari dwilogi pariwara itu menggambarkan pada saat hari raya idul fitri tiba anak laki-laki itu pulang ke kampungnya dengan perasaan bangga karena telah berhasil di tanah rantau. Ada pembuktian jati diri dari sang anak kepada orangtua tanpa diselimuti sikap sombong. Dengan mata berkaca-kaca dan ditambahkan dengan setting suasana lebaran khas minang, sang ayah menyambut kedatangan sang anak dengan adegan yang mengharukan. Inilah potret realitas dari sebagian masyarakat kita dimana momentum mudik dijadikan refleksi menyambung silaturahmi serta penunjukkan jati diri dari seorang anak kampung yang telah berhasil di tanah rantau. Keberhasilan seseorang ini notabene juga menjadi semangat pelecut bagi masyarakat di kampungnya untuk ikut mengadu nasib di tanah rantau. Ada sisi positif dan negatif dari hal ini. Namun demikian, kenyataan ini tidak dapat dibantah sebagai motif utama dari proses mudik serta permasalahan turunan yang ditimbulkan pasca mudik berlangsung.

Dari sisi ekonomi, mudik juga menjadi momentum untuk merelokasi perputaran uang dari kota ke desa. Selama mudik, proses kegiatan ekonomi jual beli di daerah sangat besar karena masyarakat yang mudik akan membelanjakan uangnya di desa. Secara langsung, perputaran ekonomi sektor rill di daerah akan bertambah, terutama dari sisi omset jenis usaha turunan yang terkait dengan makanan, pakaian, jasa, dsb. Sebuah momentum yang seharusnya terus berlangsung secara berkesinambungan karena ketimpangan pembangunan antara kota dan desa dewasa ini sudah semakin akut. Tidak lupa, selama mudik jalan-jalan lintas daerah juga tampak mulus karena sarana dan prasarana juga ikut diperbaiki oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menunjang kelancaran mudik. Walau sifatnya parsial dan tambal sulam setiap tahunnya, prosesi mudik secara langsung menggerakkan semua aparatur negara untuk melayani masyarakat. Sebuah hal yang tidak kita dapatkan setiap hari ketika masyarakat justru melayani aparatur Negara di semua ranah birokrasi. Mudik setiap tahun juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk menjadi raja sesaat bagi negara karena semua aparatur negara (polisi dan TNI), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pehubungan, dan aparatur terkait sibuk melayani masyarakat untuk sampai dan kembali dari kampung halaman. Ada keinginan dan kewajiban dari Negara untuk memuluskan hajatan besar ini berlangsung lancar dan aman.  

Pekerjaan Rumah

Meskipun mudik selalu berlangsung setiap tahun, permasalahan yang dihadapi pemerintah sebenarnya sama saja. Minimnya sarana transportasi yang memadai dan nyaman, pengerjaan jalan darat yang tambal sulam, tingginya angka kecelakaan dan kematian selama mudik, kemacetan yang semakin akut, praktik percaloan, kenyamanan penumpang di terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan yang tidak memadai, sampai permasalahan pasca mudik seperti arus urbanisasi yang semakin tinggi menjadi pekerjaan rumah yang tidak tuntas. Pola kebijkan yang pragmatis dan tentatif mengakibatkan tidak ada pola kebijakan yang komprehensif dan integratif. Akibatnya, hanya kesan reaktif saja yang selama ini dilakukan pemerintah. Tidak ada langkah antisipatif untuk mengurai atau menanggulangi masalah yang ada. Jika masyarakat rela untuk antri dan berdesak-desakan di bus, kereta api, kapal laut itu karena mereka memaknai proses mudik sebagai kewajiban. Dan sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi dan menyediakan sarana dan prasarana mudik dengan maksimal.

Mudik sejatinya menjadi refleksi untuk kita bersama dalam rangka memperbaiki negeri ini. Dengan minimnya sarana dan prasarana serta kemacetan yang semakin menggila di sepanjang jalan, masyarakat kita masih dapat mentaati peraturan lalu lintas agar waktu perjalanan semakin cepat. Ada hal besar yang ingin mereka capai ketika mereka rela bersusah-susah disepanjang perjalanan untuk bertemu dengan keluarga. Yaitu, sebuah kemenangan dan penghormatan yang tinggi kepada keluarga yang telah merawat dan membesarkan mereka menjadi manusia yang dewasa dan dihormati.

Ada satu pembahasan yang sangat menarik disampaikan oleh Prof Komaruddin Hidayat. Kata “pulang” dalam termenologi agama maupun budaya mengandung makna yang luar biasa. Kata “pulang” menjadi sangat bermakna karena mengandung arti kerinduan dan kita ingin cepat sampai ke rumah kita. Kata “pulang” juga dapat diartikan sebagai kata “fitrah” dimana kita menempatkan diri kita kembali suci setelah sekian lama kita melanglang dunia kefanaan selama satu tahun.

Kita dapat belajar dari budaya mudik untuk mentertibkan perangkat dan aturan hukum di negeri ini menjadi lebih manusiawi ditengah ketidakpercayaan publik yang semakin besar kepada pemangku kebijakan. Kita ingin, kebijakan ekonomi, politik, dan social pemangku kebijakan “pulang” ke fitrahnya untuk kemaslahatan bersama, bukan perseorangan, kelompok, atau elit tertentu. Semoga hari raya idul fitri 1432 H menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk “pulang” ke haluan yang sebenarnya, yaitu merdeka dari semua penjajahan masa kini. 

Selamat Idul Fitri 1432 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.