Jumat, 11 Februari 2011

Bhinneka Tunggal Ika dalam Wacana

Geliat perkembangan hubungan sosial kemasyarakatan bangsa kita sedang diuji. Setelah berkutat kepada persoalan kebohongan publik yang dianggap menyakiti Presiden dan para pembantunya, persoalan mengenai penodaan agama dan tenggang rasa antarumat menghiasi headline media nasional. Lalu, apa kepentingan yang diambil oleh actor intelektual yang berhasil menggerakkan massa untuk menyerang dan membantai jemaat Ahmadiyah? Apakah ini peralihan issue nasional? Atau ini fenomena degradasi moral dan tata hubungan antarumat yang mulai terkikis?
Penyerangan sekelompok massa kepada jemaat pemeluk agama lain di Pandeglang dan Temanggung memang cermin kegagalan negara dalam memberikan perlindungan, sekaligus penyelesaikan yang komprehensif. Pernyataan Presiden yang reaktif hanya akan menimbulkan persolan baru. Pemecahan persoalan-persoalan sensitif seperti konflik agama dan etnis tidak relevan lagi diselesaikan dengan citra. Harus ada ketegasan, baik peraturan dan peran aparat penegak hukum di lapangan.
Apapun itu, permasalahan penyerangan dan pengerusakan tempat ibadah yang berakibat kepada kematian tidak dibenarkan. Dalam semangat UUD 1945 dan falsafah Pancasila, perbuatan ini bertentangan dengan nila—nilai karsa dan rasa bangsa ini. Reformasi dalam hal tertentu memberikan kebebesan tanpa batas seperti peran Pers. Namun, reformasi juga merenggut martabat negeri ini yang semakin hari semakin larut dengan kebebasan tanpa aturan. Ketiadaan aturan ini yang kemudian menanggalkan nilai dan norma tidak tertulis di masyarakat kita. Norma dan etika yang pada jaman Orde Baru sangat didoktrinasi dalam berbaga kesempatan dan jenjang pendidikan. Keberhasilan Pak Harto dalam memajemukkan masyarakat antar umat dan kepercayaan tetap dalam koridor kebhinekaan menjadi nilai lebih sekaligus dirindukan oleh banyak pihak. Kerinduan ini yang tidak kita dapat dari pemerintahan saat ini.
Dalam banyak kasus, negara ini sejatinya telah gagal. Gagal dalam mengelaborasi dan mengkonversi sebagain hak negara yang dititipkan kepada pranata bernama “negara”. Gagal karena hak dasar sebagian masyarakart (minoritas) terkebiri oleh sekat hukum positif dan hukum rimba. Lalu kemanakah masyarakat ini akan berlindung ketika induk semangnya tidak mampu memberikan jaminan perlindungan? Apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang kerdil untuk memaksakan kehendak melalui atribut agama? Atau kita menghakimi kepercayaan seorang individu yang dalam praktiknya, mustahil kita intervensi dengan pemaksaan hukum formil sekalipun.
Kedewasaan individu tumbuh ketika pertarungan setan dan malaikat memunculkan pemenang di pihak kebaikan. Keburukan dan kebaikan dalam diri manusia akan terus berkecamuk dalam banyak hal, termasuk mempedebatkan agama. Kebaikan dan pemahaman agama memang ditempatkan pada absolutime. Tapi bagi sebagian jemaat agama lain, absolutisme agama yang kita anut belum tenru berlaku kepada diri mereka. Oleh karena itu, kemajemukan dan kedewasaan dalam memahami perbedaan dan ketidaksamaan keyakinan harus ditempatkan substansi yang membangun, bukan merusak kemudian keos. Progresif peradaban dan kebudayaan manusia pada masa kini dan akan datang akan lebih memperdebatkan hal-hal yang substansi. Kedewasaan itu terlihat ketika perdebatan hukum positif ditempatkan pada ranah logika dan menghasilkan solusi. Bukan perdebatan yang berkutat pada tataran wacana tanpa menghasilkan solusi.
Indonesia memang masih berbangsa satu, berbahasa satu, bertanah air satu. Namun dalam memaknai falsafah Bhinneka Tunggal Ika, bangsa ini mulai memaknai “berbeda-beda namun tetap satu”, yaitu “satu” pendapat yang hanya dapat diterima dan dijadikan legitimasi untuk menghakimi yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar