Kamis, 23 Juni 2011

Menyemai Jamur CPNS di Musim Kemarau

Prosesi kelulusan sekolah dan perguruan tinggi mulai ramai ketika bulan Juni tiba. Hiruk pikuk proses wisuda dan kegiatan sejenisnya mulai terlihat di sepanjang jalan. Corat coret baju sekolah sampai kegiatan perpisahan sekolah yang ramai dilakukan oleh pranata pendidikan menandakan fase pengajaran tahun 2010-2011 telah selesai. Kini, fase itu akan dilanjutkan kepada jenjang yang lebih tinggi. Ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi, ada yang sekedar menambah kompetensi dengan mengikuti kursus keahlian sebelum mencari pekerjaan, atau ada juga yang nekat mencari pekerjaan dengan bekal seadanya. Semuanya mencoba merajut asa dengan selembar ijasah dan nilai akademik. Semua berharap akan baik-baik saja. Semua ingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Tapi, tunggu dulu! Semua mimpi indah itu akan menjadi mimpi buruk jika persiapan dan keberuntungan tidak sesuai dengan harapan kita. 

Lalu bagaimana dengan para sarjana baru yang telah siap menempuh perjalanan baru? Dengan banyaknya para sarjana yang ada di Indonesia, ketimpangan jurang pencari kerja dengan lapangan kerja terus melebar. Disparitas ini yang dari dulu sampai dengan sekarang menjadi masalah sosial yang pelik, bahkan akut. Para pencari kerja dari tahun ke tahun semakin meningkat dan memiliki derajat persaingan yang tinggi satu dengan yang lain. Sektor manufaktur, pertambangan, serta sektor UKM selama ini menjadi penopang dalam menyerap tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sektor jasa, khususnya kebutuhan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui mekanisme seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil atau dilazim dikenal dengan  CPNS?

Ritual Seleksi CPNS

CPNS adalah fenomena sosial. peminatnya dari tahun ke tahun terus bertambah. Walau dari sisi kuantitas formasi jabatan yang disediakan tidak mengalami perubahan berarti dari tahun ke tahun, CPNS menjadi surga dan gula yang dicari banyak semut. Banyaknya peminat CPNS barangkali menjadi anomali sulitnya lapangan pekerjaan bagi para sarjana. Sarjana baru, atau yang sudah dianggap sebagai angkatan lama tidak tinggal diam untuk mengadu peruntungan dan nasib untuk menjadi PNS.

Biasanya, para the hunter CPNS yang belum memiliki pengalaman akan mempersiapkan perlengkapan amunisi mengikuti ujian CPNS dengan bekal seadanya. Selain minim pengalaman dan penguasaan medan, faktor menganggap enteng tes soal yang akan diujikan menjadi faktor utama lainnya yang berakibat kepada kegagalan. Namun, tidak demikian bagi mereka yang sudah berkali-kali gagal mengikuti seleksi CPNS. Dengan fasih, mereka yang dapat dikatakan sebagai veteran seleksi CPNS, akan mempersiapkan berkas seperti legalisir ijasah, transkip nilai, fotocopy data diri seperti KTP, Kartu Keluarga, Surat keterangan kesehatan dari instansi negeri setempat (Puskesmas), sampai berbagai perlengkapan korespondensi seperti map, kertas folio untuk menulis lamaran dsb dari jauh-jauh hari. Bahkan, ada yang sampai mengikuti kursus kilat guna mendapatkan tips dan trik menjawab soal-soal seleksi CPNS. Inilah realitanya! Dan jangan heran, para veteran ini mendasarkan semua persiapan yang mereka lakukan dengan penuh hikmat dan niat yang serius.

Setiap tahun, kegiatan pembukaan formasi PNS terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Berbagai formasi dengan klasifikasi pendidikan tertentu ditetapkan untuk menjaring para CPNS untuk mengisi jabatan yang disediakan Kementerian, Pemerintah Daerah, Lembaga Tinggi Negara, dan organisasi pemerintah lainnya. Dengan semakin banyaknya para pencari kerja terdidik di Indonesia, mengikuti Seleksi CPNS menjadi idaman yang tidak pernah padam dari tahun ke tahun. Bahkan, boleh dikatakan peminat CPNS dari tahun ke tahun semakin membludak. 

Akibatnya, tidak jarang kecurangan proses rekruetmen terjadi. Mulai dari kedekatan calon CPNS dengan Panitia rekrutmen, sampai iming-iming kelulusan CPNS dengan tebusan nominal uang tertentu. Ini Indonesia. Dan praktik rent seeking yang tidak terpuji ini menjadi sesuatu yang lumrah dan dinafikkan oleh masyarakat kita. Tidak adanya tempat mengadu sampai mekanisme control yang akuntabel untuk mengawal proses rekruetmen CPNS menjadi alasan masyarakat akan adanya KKN dalam setiap tes yang dilakukan. Memang tidak semua Kementerian atau lembaga tinggi negara berlaku praktik rent seeking. Namun, harus diakui kebanyakan proses seleksi CPNS sangat dekat dengan praktik tidak terpuji semacam itu. 

Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa orang sangat ingin menjadi CPNS? Barangkali hampir semua jawaban yang disampaikan masyarakat sepakat bahwa dengan menjadi CPNS hidupnya akan terjamin. Selain mendapatkan gaji bulanan dan berbagai tunjangan kerja lainnya, menjadi PNS juga identik dengan kenyamanan. Karir yang terus naik karena pengelolaan birokrasi Indonesia masih menganut system “Birokrasi Webberian” . Pola dimana senioritas masih kental terjadi. Pola dimana “red type” birokrasi Webber masih sangat kental. Istilah Asal Bapak Senang (ABS), Ujung Ujungnya Duit (UUD) dan akronim lainnya yang menyudutkan para aparatur birokrasi kita saat ini sudah menjadi trade mark di masyarakat. Pelayanan yang buruk, lama, pilih kasih, sampai minimnya sarana dan prasarana pelayanan publik menjadi masalah pelik yang selalu sumbang ditelinga kita. Tidak dapat dipungkiri, memang demikian adanya. Hampir sebagian besar harapan dan realita birokrasi di Indonesia masih jauh dari harapan. Reward and punishment yang coba diperbaiki oleh Pemeritah melalui “Reformasi Birokrasi” dan Remunerasi sistem penggajian nyatanya juga masih jauh panggang dari api. Yang terjadi justru kebalikannya, korupsi merajalela. Kasus Gayus, skandal proyek Menegpora untuk wisma Atlet SEA GAMES di Palembang, Sumatera Selatan, sampai tertangkapnya salah seorang hakim karena kedapatan menerima suap menjadi fenomena gunung es atas klaim pemerintah yang berhasil mereformasi birokrasi kita. 

Besar Pasak Dari Pada Tiang

Harus diakui, membanjirnya jumlah formasi CPNS yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Daerah secara langsung menyedot anggaran APBN dan APBD. Jika kita melihat data empat tahun terakhir (2007-2011) yang dirilis oleh Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara, belanja gaji pemerintah pusat dalam APBN terus merangkak naik. Pada tahun 2007, persentase beban gaji dalam APBN sebesar 17,91 persen. Pada tahun 2011, persentase tersebut naik menjadi 21,61 persen. Dari rentang empat tahun terakhir, hanya pada tahun 2008 terjadi penurunan persentase beban belanja gaji negara. Selebihnya, pada tahun 2009, 2010, dan 2011, kenaikan beban gaji terus bertambah. Jumlah beban gaji dalam APBN ini belum termasuk akumulasi pengeluaran yang dikeluarkan oleh masing-masing APBD pemerintah daerah dan kota diseluruh Indonesia. Dapat dibayangkan betapa mahalnya beban yang ditanggung negara untuk membiayai belanja gaji PNS. 

Jika dari sisi belanja gaji terus naik, setali tiga uang juga terjadi dari sisi kuantitas jumlah PNS. Pada tahun 2006, jumlah PNS sebanyak 3.725.311. Pada tahun 2010, jumlah ini bertambah menjadi 4.598.100 PNS. Data dari Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara ini memperlihatkan bagaimana mahalnya harga yang harus ditanggung oleh rakyat ketika kenaikan kuantitas PNS tidak dikelola dengan baik. 

Lebih lanjut, Menteri Keuangan menyatakan, beban belanja gaji PNS dalam APBN akan semakin besar ketika Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang mengatur tunjangan hari tua bagi PNS akan disahkan (Media Indonesia, edisi Kamis, 23 Juni 2010). Maksud dari perumusan UU tunjangan hari tua ini memang dibuat atas dasar sinkronisasi dengan program reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah. Konsekuensi dari percepatan reformasi birokrasi yaitu adanya pengelolaan reward yang lebih baik, khususnya di bidang jaminan hari tua.

Belanja Optimal, Kebutuhan Belum

Semakin beratnya beban anggaran untuk pengelolaan birokrasi di Indonesia ternyata belum berkorelasi dengan harapan yang diinginkan oleh semua pihak. Jika kita melakukan pemetaan proporsi jumlah PNS dengan jumlah demografi, Indonesia barangkali menjadi negara dengan tingkat disparitas tertinggi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat. Mendagri Gamawan Fauzi mengakui, jumlah PNS di Indonesia baru mencakup 2,4 persen penduduk. Bandingkan dengan negara di ASEAN dimana jumlah PNS rata-rata 3 persen dari jumlah penduduk. 

Disparitas inilah yang kemudian dijadikan dasar legitimasi oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membuka formasi dari tahun ke tahun. Dengan dalih masih belum idealnya jumlah PNS dengan jumlah penduduk, beban belanja negara dikesampingkan. Padahal, banyak pihak yang mengeluh, khususnya Kementerian Keuangan, yang menyatakan jika masalah ini tidak segera diatasi akan menjadi parasit beban negara yang akut. 

Lalu bagaimana mengurai karut marut persoalan pelik ini? Banyak pihak memberikan solusi ditengah kegamangan pemerintah dan masyarakat dalam mengukur keberhasilan percepatan reformasi birokrasi di Indonesia. Dari mulai me-reset sistem dan instrumen rekruetmen CPNS, perbaikan reward and punishment, sampai penghentian pembukaan formasi CPNS. Semua solusi dirasakan masuk akal dan bermuara kepada arah perbaikan citra dan sistem pengelolaan birokrasi. Namun, yang paling realistis saat ini oleh beberapa kalangan memang harus segera melakukan revitalisasi sumber daya manusia di semua ranah birokrasi. 

Salah satunya dengan cara "pensiun dini". Pemerintah memang dilema dalam menetapkan aturan main yang fair untuk mengelola jenjang kepangkatan PNS. Faktor usia, kompetensi dan skill serta pengalaman yang tidak memadai kadangkala berbenturan dengan masa kerja seorang PNS. Ini yang terjadi di dalam birokrasi kita. Tidak ada managemen yang akuntabel dan resposif untuk menyiasati kelemahan ini. Akibatnya, tidak jarang jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi dipegang oleh PNS yang tidak sesuai atau kurang kompetensinya. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem pola pengangkatan dan kenaikan jabatan yang mengedepankan prinsip “lamanya bekerja”, pengalaman dan “senioritas”. Pola ini secara langsung membunuh kesempatan bagi angkatan CPNS baru yang memiliki skill yang mumpuni untuk menjabat posisi tertentu. hasilnya, dapat kita lihat bagaimana perbaikan dan tambal sulan yang dilakukan pemerintah berakhir kurang maksimal. Selain karena faktor budaya, budaya permisif dan kedekatan satu sama lain mengkooptasi simpul perubahan yang coba diterapkan. Jika demikian, masyarakat tampaknya harus bersabar kembali untuk mendapatkan pelayanan yang murah, cepat, tepat, dan aman. 

Jamur CPNS dari tahun ke tahun tampaknya akan tetap tumbuh walau musim kemarau mulai tiba. Ada harapan, kepastian, kenyamanan, masa depan, sampai jaminan hari tua yang lebih baik bagi mereka yang mengejar mimpi menjadi PNS. Menjadi aparatur negara di era sekarang memang sebuah simbol sosial yang memiliki posisi tawar di tengah masyarakat. Profesi PNS saat ini juga telah bertransformasi dari profesi dengan gaji pas-pasan menjadi profesi yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, walau mengorbankan negara untuk menanggung mahalnya biaya anggaran PNS. Kita berharap, jamur-jamur yang telah tersemai ini tetap akan membawa manfaat yang tinggi dari sisi value dan tanggung jawab moral kepada rakyat. Karena PNS di gaji dengan menggunakan uang rakyat, bertanggung jawab kepada rakyat, dan untuk melayani rakyat.

Senin, 20 Juni 2011

Dunia Pendidikan Indonesia Di Mata Khalayak

Bulan Juni sudah memasuki minggu ketiga. Tidak terasa waktu terus beranjak pergi meninggalkan berbagai cerita dan berita. Bulan Juni identik dengan hingar bingar kelulusan anak-anak sekolah. Dari mulai SD sampai dengan SMU, bulan Juni menjadi awal baru bagi mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada yang berhasil naik kelas, tapi tidak sedikit pula yang tinggal kelas. Bulan Juni oleh beberapa siswa juga menjadi bulan yang sangat sibuk untuk mencari sekolah atau kampus baru. Bulan dimana keberhasilan dan kegagalan dipertaruhkan dalam sebuah ajang yang dinamakan Ujian Nasional.
Ada yang menarik dari berbagai pemberitaan media massa selama Bulan Juni ini. Selain kasus rebut-ribut soal Nazaruddin dengan Partai Demokrat, atau Nunun yang masih dicari-cari oleh KPK dan Interpol Internasional karena kasus cek pelawat pemilihan Calon Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia, hal lain yang lebih esensial justru luput dari pembahasan masyarakat dan pemangku kebijakan. Ya, kasus menyontek massal di salah satu Sekolah Dasar di Surabaya ketika Ujian Nasional siswa SD berlangsung bulan ini menjadi  perbincangan hangat dikalangan pemerhati pendidikan. Menjadi menarik karena untuk kesekian kalinya, contek menyontek yang dilegitimasi oleh Guru sekolah masih terjadi. Target persentase kelulusan para siswa serta menjaga nama baik sekolah dan masa depan anak didik, ditengarai terpaksa dilakukan para guru untuk melegalkan praktik yang tidak terpuji ini. Di satu sisi, kasus seperti ini menjadi cermin kegagalan dunia pendidikan Indonesia, dalam mengukur standar keberhasilan para siswa. Paradigma yang mengedepankan orientasi nilai kuantitatif justru menimbulkan degradasi nilai yang menodai proses pendidikan itu sendiri.
Alhasil, para siswa selama ini dijejali dengan sistem pendidikan yang mengukur sebuah proses keberhasilan pendidikan dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tinggi. Batas minimal kelulusan pun dibatasi pada angka tertentu yang sangat menggelisahkan para siswa. Kita lupa (Pemerintah dan para pendidik), bahwa esensi sejati kebutuhan pendidikan di Indonesia saat ini adalah bagaimana memberikan dan membangun “percaya diri” yang tinggi kepada siswa serta memberikan kesadaran dalam mencapai suatu rencana dan tujuan harus dilakukan dengan suatu proses yang tidak instan serta mengedepankan prinsip kejujuran dan etika. Pendidikan harus dijadikan sebagai sarana untuk memberikan bekal kemandirian bagi para siswa untuk menjadi manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain. Sistem pendidikan kita, khususnya Ujian Nasional telah membentuk karakter siswa kita menjadi “paranoid”, “pemalas” sekaligus menanamkan kepada mereka sebagai calon “koruptor” karena dalam mencapai nilai yang ditetapkan, mereka dididik menghalalkan segala cara seperti mencontek. Lihat pula bagaimana siswa dan mahasiswa kita sejak di bangku sekolah dan kuliah telah berberilaku anarkis seperti tawuran massal dan bentuk kejahatan kriminal lainnya. Citra dunia pendidikan kita dengan narkoba, pemerasan, senioritas, dan perilaku menyimpang lainnya sudah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dan tidak mampu dihilangkan. Jika sudah demikian, masihkah kita menaruh harapan kepada dunia pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara?
Budaya Permisif Yang Salah
Kasus Alif, salah satu siswa Sekolah Dasar di Surabaya yang membeberkan kasus contek massal di sekolahnya sendiri barangkali menjadi indikasi dan cermin bobroknya dunia pendidikan kita. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, seorang Alif yang notabene menjadi murid yang seharusnya mendapat apresiasi dari buah kejujurannya, justru dikucilkan dan dianggap sebagai aib oleh teman-teman dan masyarakat disekitar rumahnya. Apa yang dilakukan oleh Alif dan orangtuanya yang membeberkan kasus ini kepada pihak berwenang dan media massa justru menjadi pesakitan dan dipandang sebagai orang yang “sok suci” oleh semua orang. Kasus pengusiran Alif dan orangtuanya dari rumahnya menjadi klimaks dan cermin budaya permisif yang salah oleh sebagian besar masyarakat kita. Budaya yang mengkompromikan nilai-nilai tidak terpuji untuk mencapai tujuan bersama saat ini terus tumbuh dan eksis di kalangan masyarakat kita. Celakanya, kondisi ini dibiarkan dan menjadi lumrah karena dipandang tidak memberi efek yang signifikan bagi murid di masa mendatang. Yang terpenting, harapan mereka sebagai orang tua adalah agar semua anak-anaknya dapat lulus Ujian Nasional. Namun, harapan luhur ini menjadi salah dan justru menjadi polemik ketika mereka (orang tua dan pendidik) menodai proses pencapaian nilai luhur yang mereka perjuangkan bersama anak-anak mereka. Di sisi lain, pendidik juga gagal dalam mentransformasikan berbagai macam nilai budi pekerti yang sarat ditemui sepanjang proses pengajaran berlangsung ke dalam realita kehidupan para siswa. Barangkali ini pula yang menyebabkan generasi muda Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam tampuk kepemimpinan (elit politik dan kebijakan) selalu berbeda antara ucapan dan perbuatan. Gagalnya trasformasi nilai-nilai etika sebagai landasan dalam berbuat tidak tercermin dalam realitas yang sesungguhnya.
Miskin Infrastruktur, Kaya Target
Harus diakui, struktur geografis Indonesia yang sangat luas serta demografi yang besar menyebabkan ketimpangan sarana dan prasarana pendidikan kita masih jauh dari ideal. Pendidik, dalam hal ini guru dan dosen juga masih terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Akibatnya distribusi pendidik pun menjadi timpang antara pusat dan daerah. Sistem reward and punishment yang diberikan oleh pemerintah kepada para pendidik juga menjadi penyebab tidak maksimalnya sebaran kuantitas dan kualitas para pendidik kita. Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah selama ini pemerintah pusat merasa semua daerah di Indonesia sudah siap melaksanakan sistem pendidikan dengan target tinggi semacam Ujian Nasional yang serentak dilakukan diseluruh Indonesia setiap tahun.
Dengan kualitas pendidik yang tidak sama kompetensinya, sarana infrastruktur, kualitas buku pelajaran yang berbeda satu sekolah dengan sekolah yang lain, termasuk biaya per bulan yang harus dikeluarkan oleh orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya yang berbeda disetiap daerah, akan menjadi faktor determinan dominan yang menghambat para siswa dan pendidik untuk bersaing secara sehat antara satu sekolah dengan sekolah lain. Beban-beban target yang diberikan pemerintah pusat kepada semua sekolah di Indonesia, termasuk target dari kepala daerah sendiri (Gubernur, Bupati, Walikota) justru selama ini ditengarai semakin menciptakan peluang terjadinya kasus-kasus seperti Alif. Siswa-siswa di kawasan perkotaan dengan sarana dan prasarana yang baik serta memiliki pengajar dengan kualitas yang mumpuni tidak akan mampu diimbangi oleh siswa daerah yang hanya mendapatkan sarana dan prasarana serta pengajar yang terbatas. Inilah potret pembangunan dan penyelenggaran sistem pendidikan kita. Kaya akan target yang sifatnya kuantitatif, tapi tidak diimbangi dengan kesetaraan tools (sarana) yang adil bagi semua siswa.
Belajar dari Negara Lain
Menurut survei dari salah satu lembaga pemerhati pendidikan dunia pada tahun 2003, Finlandia dinilai sebagai Negara dengan sistem pendidikan yang terbaik di dunia. Siswa di Finlandia unggul dalam hal kompetensi dan minat membaca. Keunggulan lain yang dimiliki oleh Negara di kawasan Eropa Utara ini adalah beban jam pelajaran yang diberikan kepada siswa juga tidak sebanyak dengan Indonesia dan Negara lain. Pengajar di Finlandia hanya memberikan jam pelajaran selama enam jam per hari, atau tiga puluh jam per minggu. Hal ini jauh dengan beban yang harus ditanggung siswa di Indonesia. Selain itu, beban pekerjaan rumah (PR) bagi para siswa di Finlandia juga tidak sebanyak diberikan oleh pendidik di Indonesia. Lalu apa yang membuat Finlandia berhasil?
Ada dua hal yang melatarbelakangi, Pertama, kesiapan dan kesetaraan infrastruktur pendidikan mereka sudah teruji dengan baik. Terlepas dari kemampuan dana yang diberikan oleh pemerintah dan faktor demografi yang berbeda antara Indonesia dan Finlandia, factor sarana dan prasarana menjadi elemen penting keberhasilan pendidikan di Finlandia. Kedua, terkait dengan kompetensi pendidik (guru). Di sana, guru memiliki kriteria dan kualifikasi yang sangat tinggi. Tidak mudah untuk menjadi guru di Finlandia. Selain harus memiliki kompetensi di atas rata-rata, pola rekruetmen dan standar reward yang diberikan kepada guru juga mempengaruhi kualitas dan kinerja guru di Finlandia. Selain itu, koefisien perbandingan jumlah murid dan guru di Finlandia juga ideal. Artinya, satu guru di Finlandia menangani sepuluh murid. Selain lebih fokus dalam memberikan materi pendidikan kepada siswa, kedekatan antara pendidik dan siswa juga dapat tercipta.
Apa yang terjadi di Finlandia juga hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Singapura. Walaupun tidak memiliki sumber daya alam, Singapura sangat fokus kepada dunia pendidikan yang mereka kembangkan. Walaupun sistem pendidikan mereka hampir sama dengan sistem pendidikan di Indonesia, namun akses lembaga pendidikan diberikan kepada semua warga Negara, disamping juga sarana dan prasarana yang mumpuni dan mencukupi. Jika kita terlalu tinggi untuk membandingkan Indonesia dengan Finlandia dan Singapura, barangkali apa yang dilakukan oleh Kuba dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi Indonesia untuk mencontoh negeri tempat Fidel Castro ini berkuasa. Kuba yang sampai dengan saat ini masih diembargo oleh Amerika justru menjadi salah satu Negara dengan tingkat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di kawasan Amerika Tengah dan Selatan. Di bidang kesehatan, Kuba juga menjadi Negara yang diakui kualitas tamatannya. Kunci keberhasilan Kuba kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan Finlandia dan Singapura. Alhasil, pada siswa dari Kuba kini diakui memiliki kompetensi yang baik dan mampu bersaing dengan siswa Negara lain dalam lingkup global.
Apapun itu, potret keberhasilan Negara lain dalam menyelenggarakan pendidikan harusnya membuat kita iri untuk dapat seperti mereka. Modal amanat konstitusi yang mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN harusnya menjadi momentum yang baik untuk merajut mimpi itu. Penyelenggaraan good governance distribusi dan pengelolaan dana pendidikan dari pusat sampai daerah juga harus diperhatikan karena faktanya, banyak sekali dana bocor dan tidak sampai ke sasaran. Sistem peremajaan dan pola rekruetmen para pendidik kita juga harus diperhatikan, disamping juga pemberian reward and punishment yang adil. Otonomi Daerah harus menjadi alat untuk mendistribusikan para pendidik untuk mencapai tingkat koefisien yang ideal antara jumlah pendidik dan siswa. Kasus alif dan kekerasan di dalam dunia pendidikan kita adalah bukti masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Political will dan dukungan dari masyarakat untuk jujur dan mulai mengartikan penyelenggaran pendidikan tidak hanya sekedar ”berorientasi nilai kuantitatif” harus dilakukan untuk mewujudkan esensi utama manfaat pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus membentuk karakter siswa menjadi “manusia yang utuh”, mampu menghargai setiap proses sebagai bagian penting dari sebuah keberhasilan. Kejujuran dan memaknai kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda harus diresapi sebagai sebuah pedoman untuk bersama-sama membenahi dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Amin.