Senin, 14 Februari 2011

Menggugat Postulat Neoliberalisme: Meretas Kemakmuran dan Keadilan Melalui Sistem Ekonomi Islam

Disampaikan Dalam Seminar Internasional 
Ekonomi Syariah, Makassar, Desember 2010
oleh
Mustafa Edwin Nasution. Ph.D

Pendahuluan

Muhammad Baqr ash Shadr dalam bukunya Iqtisaduna mengajukan hipotesis yang cukup relevan terkait kegagalan paham Neoliberalisme sebagai instrumen sistem ekonomi dalam menjawab krisis ekonomi dunia. Menurut Shadr, sistem ekonomi Neoliberalisme dan Kapitalisme telah gagal menciptakan kesejahteraan manusia. Lebih dari pada itu, sistem ini telah membentuk kesenjangan yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Lalu apa solusi yang ditawarkan Shadr sebagai pengganti sistem Neoliberalisme?

Muhammad Baqr ash Shadr memberikan argumentasi bahwa hanya Islam yang dapat menjawab gagalnya penciptaan kesejahteraan masyarakat dunia dewasa ini. Pelarangan praktik riba (interest) dalam setiap transaksi perbankan dan jenis transaksi ekonomi lainnya dalam sistem ekonomi Islam dipercaya sebagai solusi alternatif dan kongkrit. Meskipun beberapa ahli ekonomi melihat pandangan Shadr sangat kolot dan tidak ada unsur pembaharuan pemikiran, argumentasi Shadr yang didukung dengan metode riset dan pengalamannya sebagai ekonom sejatinya patut mendapat apresiasi. Pemikiran Shadr menguatkan pemahaman dan pengembangan industri keuangan Islam, dimana dalam praktiknya harus dilandasi oleh keyakinan bahwa bunga (interest) yang bersifat pre-determined telah mengeksploitasi perekonomian. Konsep riba juga telah mengakibatkan terjadinya disalokasi resources dan penumpukan kekayaan serta kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini pada gilirannya berakibat pada ketidakadilan, inefficiency, dan ketidakstabilan perekonomian. 

Pendapat ini sekali lagi menjadi pengejawantahan eksistensi sistem ekonomi Islam sekaligus kritik kepada sistem Marxisme dan Kapitalisme yang terbukti gagal dalam meredam kriris ekonomi dunia yang terus silih berganti. Eksistensi ekonomi Islam yang semakin kuat, khususnya di negara non muslim, membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam tidak hanya sebagai eutopia semata. Sistem ekonomi Islam kini tidak lagi berada dalam ruang hampa yang sifatnya dogmatis. Aplikasi dan implementasi sistem ekonomi Islam kini telah dilakukan di dunia barat seperti Inggris, Jerman, Perancis, AS dan banyak negara lainnya. Gambaran ini tentu saja mengembirakan bagi kita sebagai muslim bahwa sistem ekonomi Islam dapat diterapkan di semua ranah masyarakat dan tidak hanya terkooptasi kepada umat muslim semata sebagai subjek dan objeknya. 

Apa yang disampaikan oleh Shadr sebenarnya selaras dengan apa yang ditanyakan oleh Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul “Bebas dari Neoliberalisme”. Menurut Fakih, kemiskinan yang membelenggu masyarakat dunia saat ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi Neoliberalisme. Pola dominasi barat kepada negara berkembang inilah yang kemudian menciptakan kebijakan sistemik dan ideologi bernama Liberalisasi dan Kapitalisme yang kemudian bertransformasi menjadi fenomena globalisasi. Integrasi sistem dunia di bawah payung globalisasi inilah yang kemudian menjadi fase terkini dari perjalanan pola dominasi para pemilik modal kepada kaum lemah dari abad pertengahan sampai dengan saat ini.

Jika pada masa penjajahan kita mengenal ideologi 3G (Gold, Glory, dan Gospel) melalui merkantilisme dan kolonialisme oleh negara barat kepada negara terjajah, ideologi itu kini telah bertransformasi menjadi paham Liberalisasi dan Neoliberalisme. Tujuan dan motifnya pun hampir sama, yaitu mengeksploitasi sumber daya dari negara lemah yang kaya sumber daya sekaligus menciptakan relasi hubungan yang lebih mengakomodasi kepentingan kaum penjajah. Hal Ini terlihat dari bergantungnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia kepada IMF, Bank Dunia, persekutuan perdagangan internasional seperti WTO dan beberapa lembaga keuangan internasional lainnya dalam hal penanganan krisis ekonomi dan bantuan teknis lainnya. Ketergantungan negara berkembang (lemah) kepada negara maju kini juga tidak lagi terfragmentasi kepada aspek ekonomi semata, secara sosial dan politik ketergantungan itu juga sangat nampak. Melalui sarana demokrasi dan hak asasi manusia, negara barat berusaha menanamkan kebebasan sebagai elemen dasar dalam berkehidupan. Inilah fenomena yang semua orang mengenalnya dengan era globalisasi dimana sekat-sekat antar negara tidak lagi ada.

Tapak Tilas Paham Neoliberalisme

Dalam berbagai literatur sejarah ekonomi dunia, lahirnya paham Neoliberalisme diawali pada periode tahun 1930 an. Adalah Friedrich Von Hayek yang disebut oleh sebagian besar kalangan ekonom sebagai Bapak Neoliberalisme. Pada awal kelahirannya, paham Neoliberalisme masih kalah pamor dengan paham Keynes yang sangat popular pada waktu itu. Atas jasa Keynes, Depresi besar pada tahun 1929-1930 yang dikenal dengan Great Depression dapat diatasi oleh pemerintah AS. Adobsi paham Keynes pada kerangka kebijakan Presiden Roosevelt dengan program "New-Deal" dan “Marshall Plan” semakin melambungkan Keynes sebagai ekonom penting dalam membangun Eropa pasca Perang Dunia II.

Begitu kuatnya paham Keynes sebagai mainstream ekonomi pada masa itu sampai mengidentikkan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF sebagai si kembar Keynesianis karena kebijakan yang mereka ambil sebagan besar berkiblat kepada Keynes. Pada prinsipnya, paham Keynes menitikberatkan campur tangan dan intervensi negara dalam kehidupan ekonomi. Ada dua indikator utama yang digarisbawahi oleh Keynes dalam menilai kebijakan ekonomi, yaitu sejauh mana kebijakan ini mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar perihal kesejahteraan dan sarana public bagi rakyat. 

Berkembangnya paham Keynes pada tahun 1930 an membuat gelisah para pecetus dan pemeluk paham Neoliberalisme. Berbagai langkah dilakukan para ekonom kanan ini untuk menguatkan eksistensi paham Neoliberalisme di dunia akademik dan industri. Salah satu langkah yang paling menonjol adalah berdirinya lembaga bernama Societe du Mont-Pelerin. Ekspansi dan doktrinasi paham Neoliberalisme dimotori melalui lembaga ini, baik di forum internasional serta pertemuan rutin yang mereka selenggarakan. Tidak mau kalah dengan kepopuleran paham Keynes dengan bukunya “The End of Laissez-Faire”, Hayek juga menerbitkan buku yang menjadi panduan bagi pemeluk Neoliberalisme yang berjudul “The Road to Serfdom” sekaligus kritik balik atas pemikiran Keynes. Jika Keynes menitikberatkan adanya campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, Hayek menekankan bahwa kekuatan impersonal pasar adalah jalan bagi perkembangan peradaban. Dengan kita tunduk kepada pasar, secara tidak langsung kita dapat ikut serta setiap hari dalam membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami. 

Penguatan kredo Neoliberalisme semakin nyata ketika Milton Friedman yang tidak lain adalah murid Hayek, mencetuskan paham monetarisme. Melalui bukunya yang berjudul "The Counter Revolutionin Monetary Theory", Friedman mempercayai akan adanya freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim dalam melakukan kegiatan ekonomi. Ekses negatif seperti ketimpangan distribusi pendapatan dan peningkatan modal pada segelintir individu lewat bentuk usaha tertentu adalah konsekuensi logis dari persaingan bebas dan kebebasan memilih individu. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan Keynes dimana efek sosial dan demokrasi ekonomi masih sangat diperhatikan dengan campur tangannya negara dalam mengatur kegiatan ekonomi. 

Puncak pengakuan dunia terhadap paham Neoliberalisme tercermin ketika Bapak Neoliberalisme, Friedrich Von Hayek, dianugrahkan Nobel Ekonomi pada tahun 1974. Menyusul kemudian sang murid Friedmen, dan ekonom Societe du Mont-Pelerin, yaitu Maurice Allais. Pada era tahun 70 sampai 80 an adalah puncak masa keemasan paham Neoliberalisme sekaligus awal kemunduran dari paham Keynes yang telah eksis selama kurun waktu 40 tahun. Lembaga keuangan dan kerjasama multilateral seperti Bank Dunia dan IMF perlahan namun pasti mulai merubah paradigma berpikir dari mainstream ekonomi Keynes menjadi Neoliberal dan Kapitalis dalam memberikan resep kebijakan ekonomi kepada negara berkembang. Eksistensi dan perkembangan Neoliberalisme yang begitu menggurita pada era 70 sampai 80 an juga tidak lepas dari peran dua pemimpin dunia yang paling berpengaruh pada masa itu, yaitu Margaret Thatcher dan Ronald Reagan yang memimpin dua negara adidaya Inggris dan AS. Keduanya adalah murid sekaligus pengikut Hayek dan Friedmen. Lewat Thatcherism dan Reaganomics, Neoliberalisme menjadi mainstream ekonomi utama dunia pada masa itu dan masa kini, sekaligus penantang utama paham Marxisme yang masih dianut negara komunis seperti Uni Soviet dan sekutunya.

Kegagalan Kredo Neoliberalisme Mengatasi Krisis Ekonomi Dunia

Jika kita mencermati sejarah ekonomi dunia sepanjang satu abad terakhir, tidak dapat dipungkiri hegemoni sistem ekonomi Neoliberalisme dan Kapitalisme sangat mendominasi tatanan sistem ekonomi dunia. Namun demikian, sepanjang perjalannya, sistem ekonomi konvensional seperti Liberalisme dan Neoliberalisme juga turut andil dalam menciptakan krisis dan resesi dunia. Menurut Davies dalam “A History of Money from Ancient Time to the Present Day” (1996), sepanjang abad 20 telah terjadi krisis keuangan dunia lebih dari dua puluh kali. Resesi global ini tentu saja membawa konsekuensi utama dan turunan yang semuanya bermuara kepada kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat antara yang kaya dan miskin. Indikator ketimpangan ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya angka kemiskinan serta kesejahteraan yang tidak dapat didistribusikan secara merata. 

Di sektor keuangan, fluktuasi nilai mata uang juga semakin tidak menentu. Resiko investasi dan sektor keuangan yang semakin tajam, inflasi yang semakin tinggi, serta lantai bursa saham yang semakin rentan kepada sentemen negatif dan keluar masuknya arus modal temporer (hot money) menjadi indikasi nyata kegagalan dominasi Neoliberalisme. Resesi sektor keuangan dunia terkini dapat kita lihat pada tahun 2008 ketika krisis financial yang terjadi di AS dengan cepat bertransformasi menjadi krisis global. Saham-saham unggulan (buildcheap) seperti Lehman Brothers dan AIG mengalami kebangkrutan yang berimplikasi kepada ambruknya lantai bursa Wall Street. Inggris sebagai sekutu sekaligus kolega utama AS dan negara barat lainnya juga ikut terkena imbas dari krisis financial di AS. Untuk pertama kali dalam tiga dekade terakhir, Bank of England menyediakan dana emergency untuk melakukan bailout Northern Rock, salah satu bank di Inggris yang mengalami kesulitan likuiditas sejalan dengan kasus subprime yang terjadi di AS. Dari sisi pengelolaan investasi, krisis financial di AS dan kejatuhan Lehman Brothers juga telah meningkatkan persepsi risiko diberbagai Issuer lembaga keuangan dunia dalam rentang waktu tahun 2007 sampai 2009. 

Di sisi yang lain, kepanikan AS dalam menghadapi krisis financial di dalam negeri semakin nyata ketika pemerintah AS menyiapkan dana kurang lebih USD 700 Miliar untuk menyelematkan sektor keuangannya dengan menginjeksi pasar. Langkah pemulihan dan antisipasi ini setidaknya tercermin dari kronologis sepanjang minggu ketiga dan keempat bulan November 2008. Berikut gambaran kronologis keadaan darurat di pasar financial AS setelah kebangkrutan Lehman Brothers. 

 19 September 2008
Pemerintah AS meminta kongres untuk segera menyetujui rencana penyelamatan USD 700 miliar, yang merupakan rencana penyelamatan ala ‘BLBI’ yang terbesar dalam sejarah. The Fed kembali memompakan USD 20 miliar ke pasar kredit. Saham-saham global pun menguat.
 21 September 2008
The Fed mengumumkan Goldman Sachs dan Morgan Stanley — dua bank investasi yang masih tersisa di Wall Street — akhirnya menanggalkan status bank investasi dan menjadi perusahaan holding bank supaya bisa mendapat bantuan likuiditas dari The Fed.

 24 September 2008
Presiden Bush secara nasional memberikan pidato yang menyatakan bahwa perekonomian AS berada dalam bahaya jika kongres tidak memberikan persetujuan atas rencana bailout tersebut. Bush juga mengundang dua Capres: Barrack Obama dan John McCain untuk ikut pertemuan di White House membahas krisis tersebut.

Dalam kerangka tataran kebijakan, pemerintah dan DPR AS juga mengambil langkah-langkah penyelamatan, termasuk menyetujui undang-undang penyelamatan ekonomi. Berikut ini kronologis langkah penyelamatan yang diambil pemerintah dan DPR AS. 

 25 September 2008
Kongres mengumumkan kesepakatan fundamental atas prinsip-prinsip dari rencana penyelamatan tersebut, meski akhirnya pembicaraan mengalami deadlock.

 26 September 2008
Washington Mutual (WAMU), bank terbesar di AS kolaps. JP Morgan Chase selanjutnya membeli sebagian aset WAMU senilai USD 1,9 miliar.

 29 September 2008
DPR AS menolak rencana bailout melalui voting 228-205, dengan Republik paling banyak menolak rencana tersebut. Indeks Dow Jones pun merosot hingga 778 poin, atau terbesar dalam sejarah.

 1 Oktober 2008
Senat menyetujui paket penyelamatan ekonomi darurat, yang termasuk didalamnya adalah pengurangan pajak dan kenaikan penjaminan untuk simpanan bank dari USD 100.000 menjadi USD 4.250.000.

 3 Oktober 208
DPR AS menyetujui UU Penyelamatan Ekonomi melalui bailout dalam voting 263-171. Presiden Bush selanjutnya menandatangani UU tersebut, sementara Menkeu Henry Paulson diminta segera bergerak cepat membeli aset-aset beracun dari sektor finansial. 

Namun demikian, langkah yang diambil pemerintah dan DPR AS tidak menghasilkan dampak positif yang signifikan dalam jangka pendek karena efek domino dari krisis ekonomi dan financial di Amerika telah merambah ke negara-negara di Eropa dan Asia. Pemerintah negara di Eropa dan Asia berusaha mengucurkan dana talangan untuk menyelamatkan lantai bursa, krisis subprime mortgage di dalam negeri, serta ancaman kebangkrutan perusahaan nasional dan multinasionalnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 

Penyelamatan krisis ekonomi Indonesia pada tahun 2008 yang paling fenomenal dan masih menjadi polemik politik sampai dengan saat ini adalah kebijakan bailout Bank Century yang diambil alih oleh LPS pada tanggal 21 November 2008. Hal ini dilakukan untuk meredam issue penarikan uang dalam jumlah besar oleh para nasabah karena kekhawatiran akan terulangnya krisis keuangan dan ekonomi pada tahun 1998. Respon antisipasi juga dilakukan oleh presiden dimana dalam sidang terbatas pada tanggal 28 Oktober 2008, presiden menerbitkan 10 respon kebijakan mengatasi krisis finansial ekonomi Indonesia.

Gambaran krisis tahun 2008 menjadi fase terakhir dari rentetan krisis finansial dan ekonomi dunia selama seratus tahun terakhir. Ketakutan akan terjadinya krisis ekonomi AS di tahun 1929 yang sering disebut Great Depression kembali menghantui perekonomian global. Great Depression tahun 1929 telah memberikan pelajaran yang skala efeknya sangat besar bagi perekonomian AS pada khususnya, dan perekonomian global pada umumnya. Pasca kejatuhan pasar saham pada Oktober 1929, AS membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun untuk memulihkan perekonomian yang turun sepertiga outputnya dengan 25 persen tenaga kerja menjadi pengangguran. 

Krisis yang terjadi pada tahun 1929 dan 2008 memiliki benang merah sekaligus menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi Kapitalis yang dianut negara barat dan mayoritas negara di dunia dewasa ini. Neoliberalisme kini telah berevolusi menjadi sistem perekonomian yang mengutamakan sektor moneter (derivatif) sebagai basis utamanya. Pilar-pilar yang membangun hegemoni Kapitalisme dunia saat ini adalah fiat money, fractional reserve requirement, dan interest yang ketiganya menciptakan transaksi derivatif berbasis portofolio. Ketiganya menciptakan transaksi derivatif di sektor finansial, yakni transaksi berbasis portofolio. Hal inilah yang kemudian menciptakan gelembung ekonomi (bubble economy) yang menimbulkan resistensi krisis keuangan global. Efek domino dari krisis ekonomi dan financial untuk konteks Indonesia pada tahun 2008 tidak hanya berkutat kepada ranah sektor financial dan ekonomi semata, tapi telah menjalar ke sektor politik, hukum, sampai reshuffle kabinet. Ini menandakan dampak krisis telah berubah menjadi permasalahan multidimensi dalam skala nasional dan global serta menjadi pemicu resesi ekonomi jika tidak ada solusi dan alternatif sistem ekonomi selain Neoliberalisme yang terbukti gagal.

Perspektif Shadr dan Ekonom Progresif Menyikapi Kegagalan Neoliberalisme

Silang pendapat dalam menyikapi krisis ekonomi dan keuangan dewasa ini memang semakin menghangat pasca kegagalan paham Neoliberalisme sebagai pemimpin dunia. Di satu sisi, apatisme terhadap sistem Kapitalisme dan Neoliberalisme mulai muncul dari pemikiran para ekonom yang menghendaki adanya perubahan. Salah satunya adalah Muhammad Baqr ash Shadr melalui bukunya Iqtisaduna.¬ Kritik keras Shadr kepada sistem ekonomi barat terkait gagalnya sistem Neoliberalisme dalam menciptakan kesejahteraan dan pengurangan disparitas kemiskinan antara negara kaya dan miskin. Tools utama paham Neoliberalisme seperti mekanisme aturan pasar, pemotongan pengeluaran public untuk penyelenggaraan pelayanan public, deregulasi kebijakan, privatisasi, penghapusan konsep barang publik (public goods) nyatanya tidak dapat menjadi wahana dan solusi bagi negara berkembang dalam menyelesaikan persoalan ekonomi domestiknya. Kesenjangan yang begitu besar dari sisi pendapatan dan kepemilikan alat produksi justru semakin terlihat nyata di negara dunia ketiga dewasa ini.

Sistem moneter (derivatif) yang dibangun oleh negara barat dengan mengedepankan praktik riba (interest) pada sistem perbankannya, menurut Shadr juga menjadi penyebab utama tidak meratanya kesejahteraan dan faktor produksi kepada masyarakat. Dalam persepektif Neoliberalisme, praktik riba (interest) memang menjadi salah satu ciri utama dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, khususnya di sektor financial dan perbankan. Praktik riba (interest) ini semakin berkembang karena didukung adanya jaminan kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi ekonomi. Demokrasi ekonomi tidak lagi menjadi tujuan karena justru menjadi menghambat kemajuan individu itu sendiri. Hal ini setali tiga uang dengan resep yang diberikan oleh IMF dan Bank Dunia kepada negara berkembang, termasuk Indonesia, dimana dalam mengatasi krisis ekonomi pemerintah harus menciptakan pasar bebas untuk perputaran barang dan jasa, modal, dan pergerakan investasi (sektor rill atau portofolio).

Penerapan riba (interest) dalam sistem perbankan inilah yang dikritik oleh Shadr karena pakem lama teori klasik ekonomi yang berasumsi bahwa keseimbangan antara jumlah tabungan dan investasi modal akan sangat dipengaruhi oleh suku bunga nyatanya tidak sepuhnya relevan dilakukan. Disamping itu, pentingnya suku bunga untuk kestabilan ekonomi dan pengembangan investasi modal sehingga keberadaanya harus tetap dipertahankan juga tidak dapat diaplkasikan dan digeneralisasi sebagai solusi dalam menciptakan stabilitas ekonomi. Shadr justru melihat teori klasik yang berpegang teguh kepada bunga uang sebagai instrumen penting kestabilan ekonomi justru telah gagal karena jumlah tabungan tidak selamanya ditentukan oleh besarnya suku bunga.

Kritik terhadap penerapan riba (interest) ini juga datang dari berbagai ekonom progresif lainnya, seperti Gustav Cassel. Menurutnya, jumlah tabungan sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pendapatan (income) yang ditabung seseorang, serta optimalisasi produktifitas melalui investasi modal. Artinya produktifitas akan muncul jika sektor rill gerakkan dan mengesampingkan mekanisme pembungaan uang. Jika kita mundur ke belakang pada tahun 1940 an, kritik terhadap kegagalan penciptakan pemerataan kemakmuran dan berbagai badai krisis yang melanda dunia barat sejak era Kapitalisme dan Neoliberalisme berlangsung juga datang dari ekonom seperti Schumpeter; Bell dan Kristol; Myrdal dsb. Pada prinsipnya mereka khawatir bahwa ternyata mainstream ekonomi modern seperti Kapitalisme dan Neoliberalisme telah memasuki masa krisis dan tidak mampu menjadi solusi untuk mengurangi disparitas kemakmuran dan krisis ekonomi dunia. 

Pada dekade tahun 90 an dan awal millenium, para ekonom progresif semakin nyata mengkritisi kredo Neoliberalisme. Adalah Ormerod dan Stigliz yang melanjutkan estafet kecemasan ekonom sebelumnya kepada keosnya sistem ekonomi barat. Keduanya melihat bahwa dunia saat ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dan moneter. Disamping itu, agent of change (IMF dan Bank Dunia) sebagai lembaga penyebar Neoliberalisme tidak dapat mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga serta mengatasi krisis ekonomi global. Globalisasi yang digunakan oleh Neoliberalisme sebagai wahana perubahan dan doktrinasi, justru menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Kritik pedas Stigliz terhadap pola kebijakan IMF yang sangat pro pasar beserta instrumen turunannya semakin membuktikan keberadaan Neoliberalisme sebagai sebuah manfaat bagi masyarakat dunia bertolak belakang dengan realitanya. Penguatan suara untuk mencari sistem alternatif ekonomi yang baru semakin gencar dilakukan oleh berbagai kalangan yang menginginkan perubahan ekonomi yang lebih adil dan bermartabat, termasuk Stigliz. Dalam fase inilah kemudian muncul wacana sistem ekonomi Islam sebagai sebuah alternatif solusi.

Namun demikian, ekonom yang kontra dengan pendapat para ekonom progresif, sekaligus nada optimisme akan eksistensi sistem ekonomi kapitalis dalam memimpin perekonomian dunia juga muncul. Hal ini setidaknya dikemukakan oleh Profesor James Galbraith dari University of Texas. Galbraith menilai bahwa hegemoni sistem perekonomian yang berbasis kapitalis masih akan tetap eksis bagi kemaslahatan dunia. Dalam rangka menyempurnakan kelemahan dari sistem kapitalis, dan bentuk respon krisis ekonomi yang melanda dunia, ada bebarapa hal yang harus dibenahi. Utamanya, Galbraith menekankan agar negara-negara penganut kapitalis sejati harus lebih berhati-hati dalam menerapkan regulasi di sektor keuangan dan subprime mortgage. Penguatan kebijakan ini dilakukan dalam rangka mencegah berulangnya krisis finansial yang pada akhirnya akan menyebabkan resesi dan depresi ekonomi global yang akut.

Penguatan Postulat Sistem Ekonomi Islam

Argumentasi Muhammad Baqir ash-Shadr yang menekankan sistem ekonomi Islam bukan hanya terfragmentasi kepada aspek teologis dan ‘uncertain experiment’ semata sejatinya menjadi jalan dan wacana memahami konsep ekonomi Islam sebagai realitas oleh kita. Benar apa yang disampaikan oleh Shadr bahwa Islam dalam menyelenggarakan kegiatan ekonomi tidak menggantungkan riba (interest) sebagai sarana mencari keuntungan. Lebih lanjut Shadr melihat sisi kemaslahatan dan pemerataan kesejahteraan justru menjadi tujuan akhir sebagai bentuk penghormatan penerapan humanisme manusia. Aspek humanisme ini tercermin dari mekanisme prinsip mudharabah ketika hubungan lembaga keuangan (bank) dengan masyarakat (peminjam modal) berlangsung. Ada prinsip kepemilikan dan sepenanggungan bersama dalam menyikapi untung dan rugi. 

Implikasi implementasi paham Neoliberalisme juga terlihat dari hasil patologi dan analisis para ahli yang menentangnya. Pertama, ketidakstablan penerapan sistem kapitalis justru menciptakan berbagai resesi krisis dunia. Ongkos penyelesaian permasalahannya pun sangat besar. Resesi dunia pun tidak dapat ditanggulangi karena paradigma ”The in visible hands” ternyata tidak bekerja sempurna melalui mekanisme pasar. Butuh campur tangan negara untuk mengatasi ketidaksempurnaan sistem kapitalis. Jika demikian, kritik yang disampaikan Hayek kepada mainstream ekonomi Keynes tidak sepenuhnya teruji. Kedua, Ketimpangan pendapatan dunia juga tudak seimbang karena lebih dari 80 persen pendapatan dunia dikuasai oleh penduduk negara maju sementara penduduk negara berkembang hanya menguasai sisanya. Ketiga, Stagnasi tingkat kemkmuran dan masalah kemiskinan adalah implikasi nyata kegagalan Kapitalisme. 

Kegelisahan dan pesimisme akan keruntuhan sistem ekonomi barat juga ditegaskan kembali oleh Taylor dimana ia mengatakan bahwa diperlukan sistem alternatif baru yang lebih komprehensif dalam menjawab permasalahan ekonomi dunia. Muhammad Baqir ash-Shadr sekali lagi mengingatkan kepada kita semua bahwa arsitektur ekonomi dan keuangan Islam dewasa ini dapat menjadi solusi alternatif membangun peradaban ekonomi manusia, khususnya umat Islam secara lebih adil dan syariah. Perubahan paradigma ekonomi konvensional ke pakem ekonomi Islam tentu saja bukan hal yang gampang, tapi akan mendapat tantangan yang sangat besar. Namun demikian, menguatnya praktik ekonomi Islam sejak tahun 1970 an, baik dalam ranah kelembagaan dan kajian ilmiah telah membuktikan kepada dunia bahwa sistem ekonomi Islam adalah sebuah realitas dan bukan kredo dogmatis yang tersimpan dalam eutopia agama dan tabu untuk diperbincangkan.

Menguatnya penerapan ekonomi Islam dan maraknya lembaga financial yang mengaplikasikannya di benua Eropa dan Amerika menjadi berita gembira. Hal ini tidak lepas dari momentum “oil shock” atau krisis energi dunia kala itu. Saddi dkk menyebutkan fenomena ini sebagai “oil price boom” yang kemudian di ikuti peningkatan dana di wilayah Timur Tengah. Momentum ini terjadi sampai mendekati akhir dekade 90 an. Sedemikian besarnya dana ini, sehingga ada yang menyatakannya sebagai timbulnya “Oasis Economies”.

“Oasis economies” ini bukan hanya karena besarnya investasi di negara-negara jazirah arab, tetapi juga dilatarbelakangi pesatnya pertumbuhan perkonomian yang berdasar kepada syariah perkonomian Islam. Diawali dengan penerbitan “ijarah sukuk” atau “fixed rate bond” oleh Pemerintah Bahrain, kemudian oleh Dinas Penerbangan Sipil Dubai, sampai akhir-akhir ini penerbitan sukuk oleh Pemerintah Malaysia, telah mendorong tumbuhnya perekonomian dan investasi yang berdasar kepada syariah Islam.

Negara-negara sepanjang jazirah arab yang kaya akan minyak mendadak memiliki dana berlimpah akibat melonjaknya nilai ekspor minyak mentah dunia. Terjadinya surplus dollar di negara-negara pengespor minyak, khususnya di negara Teluk memberikan peluang bagi lembaga keuangan berbasis syariah sebagai katalis sekaligus bentuk respon lahirnya bank-bank Islam. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara muslim saja, di benua Eropa yang notabene yang pada masa itu masih sangat sedikit yang mempraktikkan ekonomi syariah mendadak menjamur praktik ekonomi syariah dalam rangka menangkap pangsa pasar dana surplus dollar oil shock dan fenomena “oasis economies”.

Perbankan syariah pun kini lazim kita temui di Inggris, AS, Kanada, Swiss, Perancis, Rusia, Bahama dan negara eropa lainnya. Kebutuhn akan pentingnya lembaga financial berskala internasional dengan cirri ekonomi Islam kemudian mewacana dalam diskusi dan pertemuan antar negara Islam dunia. Salah satu wujud keberhasilan rekayasa teknokrasi para ekonom dan pelaku ekonomi Islam di tingkat internasional adalah terbentuknya Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Lembaga keuangan internasional ini diharapkan menjadi wahana dan sarana untuk pengembangan ekonomi Islam ke depan, khususnya negara anggota yang notabene adalah negara muslim. Kini, perkembangan ekonomi finansial Islam semakin maju, baik dari sisi kuantitas dana maupun aplikasi sistem dalam lembaga keuangan (bank). Industri keuangan Islam kini telah mencapai volume aset USD 200 Milyar, pada akhir tahun 2007 dan terus bertumbuh dengan pesat karena semakin banyak negara yang mengesahkan bahkan mendorong keberadaannya.

Di Indonesia kebangkitan ekonomi Islam dimulai pada saat berdirinya Bank Syariah pertama pada tahun 1992. Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah buah kerja keras Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai lembaga bank Islam pertama di Indonesia untuk menghadirkan lembaga perbankan yan berbasis ekonomi Islam. Bank Muamalat Indonesia kemudian menginspirasi bentuk kelembagaan financial Islam lainnya seperti Baitul mal wat-Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan instrument financial portofolio seperti Sukuk. Di sisi yang lain, bank-bank konvensional berplat merah seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan beberapa bank swasta ikut mendirikan unit bank syariah demi menarik pangsa pasar syariah yang sangat besar di masyarakat. Industri perbankan syariah Indonesia pada tahun 2008 tumbuh relatif pesat sebesar 64 persen. Selama empat tahun terakhir, dibandingkan dengan laju pertumbuhan industri keuangan syariah internasional yg dicatat dalam kisaran 15 persen-20 persen, pertumbuhan perbankan syariah Indonesia justru lebih tinggi dari pertumbuhan keuangan syariah dunia. Indikasi ini sejalan dengan menguatnya Aset lembaga keuangan non perbankan di Indonesia selama kurun waktu tahun 2004 sampai tahun 2008. Pertumbuhan filantropi Islam pun lambat laun mulai ikut naik. Wakaf dan zakat menjadi instrumen dana sosial masyarakat untuk mensupport pelayanan sektor publik yang tidak dapat didanai seluruhnya oleh negara.

Kesimpulan

Gagalnya paham Neoliberalisme sebagai sistem ekonomi dan keuangan dunia dewasa ini semakin mencemaskan para ahli ekonomi. Kecemasan ini muncul karena dalam tataran praktiknya tidak seindah teorinya. Kesenjangan kemiskinan antara yang kaya dan yang lemah serta gradasi disparitas kemakmuran yang semakin besar menjadi cermin kegagalan sistem ekonomi pasar. Kritik implementasi sistem moneter dengan instrument riba (interest) yang disampaikan oleh Shadr dalam bukunya Iqtisaduna masih sangat relevan dengan kecemasan masyarakat dunia dalam memandang sistem ekonomi global yang semakin rentan akan krisis dan resesi. Konsep riba memang telah menempatkan kaum lemah dan miskin semakin sengsara. Lebih dari pada itu, laporan World Bank mengenai mekanisme kredit telah membelenggu negara berkembang karena terus menanggung hutang (debt trap) adalah bentuk kegagalan dunia barat mengatasi ketimpangan ekonomi dan harus dicarikan solusinya.

Oleh karena itu, momentum reformasi sistem perbankan dan keuangan yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia dewasa ini harus menjadi sarana bagi kita umat muslim untuk memperkenalkan sekaligus mengaplikasikan sistem ekonomi Islam sebagai jalan baru mencari kemakmuran dan keadilan. Sudah saatnya perekonomian dunia dipimpin oleh sistem ekonomi yang tidak hanya mementingkan keuntungan semata, namun juga menghormati humanisme dan nilai-nilai manusia sebagai makhluk sosial. Tantangan ke depan yang harus dihadapi ekonom Islam adalah bagaimana menyelaraskan unsur kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility) sebagai entitas utama ekonomi syariah dengan norma dan nilai Islam. Penghapusan riba adalah salah satu bentuk langkah konkritnya. Riba (interest) telah memunculkan fenomena yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Riba adalah afiliasi kelahiran Neoliberalisme dimana nilai–nilai kemanusiaan dikesampingkan atas nama kebebasan. Dalam konteks ekonomi, nilai-nilai kebebasan ini bertransformasi menjadi apa yang oleh Adam Smith dinamakan “homo oeconomicus”. Tujuan ekonomi Islam tidak demikian, karena pada prinsipnya keberadaan ekonomi Islam adalah mewujudkan sosial ekonomi yang lebih adil dan bermartabat serta tidak menjadi penghalang bagi kemajuan peradaban. Semoga.

Referensi


[1] Dalam beberapa literatur, pandangan Baqr ash Shadr sepaham dengan argumentasi yang disampakan oleh ahli-ahli hukum Islam pada masa jaman pertengahan. Adapun mainstream ekonomi Islam yang disepakati pada masa itu  bahwa setiap jenis bunga uang adalah terlarang. Lihat dalam Mustatho, Resensi buku “Buku Induk Ekonomi Islam” karangan Muhammad Baqir ash-Shadr. 2008.
[2] Tarek El- Diwany,“The Problem with Interest”, 2005.
[3] Dominasi negara maju kepada negara berkembang dalam kesepakatan WTO mencakup empat aspek utama, termasuk pengelolaan hak kekayaan intelektual (HAKI). Tarik menarik kepentingan mengenai HAKI telah dimulai sejak kesepakatan Kongres Wina dan Paris Treaty, Konvensi Berne, World Intellectual Property Organization (WIPO), sampai Persetujuan Trade-Related Aspek Intellectual Property Rights (TRIPs). Ratifikasi undang-undang HAKI di Indonesia sejak awal tahun 2000 an juga tidak lepas keanggotaan Indonesia dalam WTO dimana kesepakatan RI dan Microsoft dinilai oleh kalangan  merugikan masyarakat.
[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang  Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
[5] Ibid, Setiawan.
[6] Friedman dan Schwartz (1963) juga menjelasan ambruknya perbankan dan jatuhnya uang beredar sebagai penyebab terpenting Great Depression pada tahun 1929.
[7] Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global Finance, Pluto Press, 1999, hlm. 178-182; dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-39.Lihat juga dalam Setiawan, 2006.
[8] Op.Cit, Setiawan,  2006.
[9] Ibid, Setiawan, 2006.
[10]  Bahan Presentasi Mirza Adityaswara, Ekonon, Analis Perbankan dan Pasar Modal, Krisis Keuangan 2008 dan Penyelamatan Bank Century, disampaikan dalam Serial Dialog Masyarakat Transparansi Indonesia, Desember 2009.
[11] Global Justice Update, Edisi Khusus November 2008, lihat juga dalam Adityaswara, Krisis Keuangan 2008 dan Penyelamatan Bank Century.
[12]   Beberapa analisis mengenai great depression 1929; Keynes (1936)  menekankan pada faktor permintaan agregat, Fisher (1935, 1937) menyatakan bahwa “esensi depresi” adalah jatuhnya uang bank dari $22 milyar pada 1929 menjadi $14 milyar pada 1933 dan “esensi pemulihan” antara 1933-1937 adalah ekspansi uang bank menjadi $23 milyar. Penjelasan ambruknya perbankan dan jatuhnya uang beredar sebagai penyebab terpenting great depression dikuatkan Friedman dan Schwartz (1963). Hampir 70 tahun kemudian, Stiglitz dan Greenwald (2003) mempertegas hal ini bahwa yang mempengaruhi aktivitas ekonomi adalah terms of credit dan quantity of credit, bukan quantity of money
[13] Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberalism?”, Third World Resurgence No. 99/1998,
hlm. 7-8. Lihat juga dalam Setiawan, 2006.
[14] Gustav Cassel adalah seorang ekonom Yahudi, penulis buku Nature and Necessity of Interest (1974)
[15] Paul Ormerod adalah penulis buku The Death of Economics (1994)
[16] Joseph E.Stigliz adalah peraih hadiah Nobel  ekonomi pada tahun 2001. Stigliz juga menjabat sebagai Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Kritik kepada Kapitalisme ia kemukakan dalam bukunya“Globalization and Descontents”. Dalam bukunya “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”, Stigliz juga mengemukakan kritik kepada sistem moneter konvensional dan perlunya paradigma baru dalam sistem moneter.
[17] Pernyataan Galbraith ini diperkuat oleh James S. Henry dalam bukunya "The Blood Bankers”.
[18] Lihat kronologis penanggulangan krisis tahun 2008 oleh pemerintah dan DPR AS pasca kejatuhan Lehman Brothers, Adityaswara, 2009.
[19] Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia, 2008, hlm 45-47
[20] Menurut Bank Dunia, dampak krisis ekonomi dan financial Tahun 2008 telah menambah jumlah orang miskin di dunia sebesar 50 juta penduduk. 
[21] Dan Taylor adalah Head of banking at BDO Stoy Hayward sekaligus penasihat dan pengamat keuangan yang cukup berpengaruh di Eropa.
[22] Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Karachi pada medio Februari 1973, secara resmi mengumandangkan gagasan tentang perlunya perbankan bersistem Islam sebagai lembaga pendanaan yang punya peran strategis dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan negara Islam. Lihat juga dalam Mustatho, 2008.
[23] Joe Saddi, Karim Sabbagh & Richard Shediac, Oasis Economies, Booz Allen Hamilton, 2008
[24] Hjh Salma Bee Hj Noor Mohamed Abdul Latif & Dr. Abul Hassan, Issuance of Sukuk Landmark Towards Islamic Capital Market in Brunei Darussalam, Borneo Bulletin, November 16, 2005
[25] The 10 Years Masterplan of International IFSI, 2007
[26] Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar