Kamis, 10 Februari 2011

Selamat Hari Pers Ke 65

Media atau Pers pada masa kini tidak lagi sekedar menyampaikan berita. Media telah bertransformasi menjadi pelindung sekaligus pengebiri demokrasi itu sendiri. Tidak dapat disangkal, media kini dipersimpangan jalan. Pertarungan media dengan dirinya sendiri memberikan implikasi kepada terjadinya subjektifitas konten dan isi berita yang disampaikan. Kemandirian dan indepensi media kini diuji. Media dapat menjadi pedang bermata dua karena dalam praktiknya, media telah dijadikan “media” oleh rente kekuasaan. Rente yang kadang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya. 

Dua bulan terakhir ini media memainkan peran signifikan dalam mewacanakan demokrasi di Timur tengah. Media pula yang menggulingkan para tirani pengecut yang berlindung pada kekuatan militer dan kekuasaan absolute. Di tanah air, media pasca pergerakan reformasi menemukan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Sepanjang perjalanan satu dasawarsa terakhir ini, media telah memberikan pengaruh bagi proses berdemokrasi di Indonesia. Media turut berperan serta dalam fase pertama bangsa ini mengenal demokrasi. Walau menurut pendapat penulis, proses berdemokrasi di negeri ini kadung gagal dan kelewat mahal, media memiliki ruang sendiri untuk berperan meminimalisir kegagalan itu. 

Tak dinyana, media pula yang kini membingungkan kita sebagai public dalam menyikapi dan menelaah masalah-masalah pelik di negeri kita. Pajak, Kebebasan Beragama, Hukum, sampai Sekedar artis ingin memandikan anjing peliharaan menghiasi layar televisi dan Koran. Kita pun bertanya, apakah ini bentuk kebebasan atau kebablasan dari Pers kita? Apakah kini media kelewat gampang menyampaikan berita tanpa ada unsur ontology dan tanggung jawab profesi? Atau media kita terlanjur nyaman dengan rating dan oplah yang membuat mereka mengesampingkan etika jurnalistis? Beragam pertanyaan silih berganti muncul di ruang public, dan sekejap pula pertanyaan itu hilang terganti dengan pertanyaan baru yang kadang kontennya sama tapi diimbuhi sudut pandang yang berbeda. 

Lalu, apakah Pers kita kelewat bebas atau kebablasan? Penulis melihat keduanya ada benarnya. Dalam banyak kasus, ada media yang tetap memainkan perannya dengan independen, namun tidak sedikit media yang menjadi agen kepentingan dengan menempatkan kepentingan di bawah fakta actual. Banyak kasus telah kita lihat, banyak wicara kita dengar, dan banyak narasi mereka ucap untuk melegitimasi diri mereka (media) sebagai orang yang paling benar.
Menyambut hari Pers Nasional ke 65 ini, sudah sejatinya media menjadi alat yang berguna dalam segala sisi. Alat yang selalu jujur dengan apa yang diperbuatnya. Media diharapkan menjadi cermin yang selalu memantulkan kebenaran bagi siapa saja yang melihatnya. Tranformasi bentuk media yang semain kompleks, terutama media jejaring social harus disikapi dan diatur dengan norma dan etika yang benar. Bukan agen rente yang selalu mengikuti para perlente kapitalis dan pengemplang hak orang lain. Lebih lanjut, media dapat dijadikan pencitraan, namun berbobot dan berarti bagi banyak orang. Memberikan inspirasi dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan keputusasaan. 

Kita tidak menginginkan media selalu mengumbar kenestapaan dan keputusasaan para pemangku kebijakan dan penegak keadilan dalam mencari apa itu kebenaran yang sejati. Lebih-lebih memberikan informasi sampah yang kadang tidak perlu disampaikan. Kita tidak ingin media berkonfrontasi perihal konten berita yang layak untuk mereka tayangkan atau tidak. Kita tidak ingin media memilih narasumber atau sekedar sindirian jenaka demi mengakomdasi maksud dankepentingan mereka agar dipahami public. Kita menginginkan media ikut serta menjadi sumber referensi yang valid dan kredibel untuk mereka yang haus akan informasi. Karena media adalah mata publik sekaligus agen perubahan dan peradaban. Selamat Hari Pers Nasional ke 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar