Rabu, 26 Mei 2010

Senjakala Politik SBY

Konggres Partai Demokrat yang berlangsung pada tanggal 22-23 mei 2010 memberikan pesan sekaligus pembelajaran dalam dinamika politik nasional. Pesan yang sangat essensial menurut hemat penulis adalah untuk pertama kali dalam sebuah konggres partai politik, unsur teknologi diberikan ruang lebih dalam proses pemungutan suara. Wacana digunakannya finger hand dalam proses pemungutan ketua partai Demokrat menjadi babak baru perjalan proses pembelajaran politik bagi kita semua (khususnya para kader partai), bahwa teknologi dan proses dinamika politik dapat saling bersinergi dan saling melengkapi. Walaupun pada akhirnya pemakaian e-voting ini tidak jadi diselenggarakan, perubahan pola pakem pemungutan suara dari sistem konvensional menuju alih teknologi menjadi value positif ditengah hingar bingar jalannya konggres. Pesan kedua, terpilihnya Anas Urbaningrum menjadi catatan sejarah karena dirinya menjadi anak bangsa termuda yang menduduki ketua partai politik. Banyak pihak inilah sinyalemen kemenangan kader muda dalam meretas kaderisasi partai politik agar lebih komprehensif, sekaligus dewasa. Dewasa dalam artian patron partai politik sebagai kaderisasi politik sekaligus menghasilkan pemimpin muda potensial harus didudukkan dalam koridor yang benar.

Pesan sekaligus pembelajaran berikutnya adalah saat proses pemilihan ketua Partai Demokrat berlangsung. Berbagai jajak pendapat dan argumentasi dari berbagai lembaga survei memberikan sinyalemen Andi Malarangeng akan mulus menjadi ketua Partai Demokrat baru menggantikan Hadi Utomo. Prediksi ini sah-sah saja karena dari jauh hari, tim pemenang yang dibentuk Andi memang sudah menjalankan berbagai strategis dari pemasangan iklan di media cetak, elektronik sampai penggalangan dukungan dari DPC dan DPD se-Indonesia. Inilah yang kita kenal sebagai “politik pencitraan”. Taktik yang sudah dipakai pendahulungan (SBY dan kakaknya Rizal Malarangeng) untuk menjaring massa pendukung. Andi pun dengan percaya diri mengklaim telah didukung dua per tiga lebih jumlah DPC dan DPD Partai Demokrat se Indonesia. Bahkan, sebelum dilaksanakannya konggres, Andi membuat wacana penentuan ketua Partai Demokrat melalui proses aklamasi. Sebuah bentuk kepercayaan diri yang tinggi tentunya. Merapatnya Edie Baskoro Yudhoyono semakin mempertegas bahwa dukungan keluarga Cikeas (dalam pemikiran penulis sebagai artikulasi dukungan SBY) akan mengarah kepada Andi.

Persiapan yang “tampak” biasa saja justru diperlihatkan oleh dua kandidat lain, yaitu Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie. Kedua nya sebenarnya juga sepakat mengklaim telah mendapat dukungan DPC dan DPD dari seluruh Indonesia. Dukungan ini yang kemudian menjadi jualan utama para kandidat calon ketua partai untuk meyakinkan pemilih nantinya di dalam kongres, tak terkecuali Anas.

Setelah Konggres berlangsung semua berakhir antiklimaks. Banyak orang tidak menduga Andi akan kalah telak dalam perebutan kursi ketua partai. Yang lebih menyakitkan, Andi harus angkat kaki pada saat putaran pertama berlangsung. Praktis, putaran kedua menjadi pertarungan antara Marzuki dan Anas. Walau suara Andi kemudian dilimpahkan kepada Marzuki, tidak mampu membendung perolehan suara Anas diakhir proses pemungutan suara. Inilah cermin kekalahan “politik pencitraan” yang berorientasi kepada kekuatan dukungan dana dan waktu yang sempit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kegagalan dukungan keluarga Cikeas kepada Andi sekaligus hasil berantakan strategi “politik pencitraan” yang dilakukan Andi memang menjadi pukulan telak SBY. Pengamat politik senior LIPI Ikrar Nusa Bakti melihat ini sebagai “Senjakala SBY”. Gagalnya SBY dalam mengawal pencalonan Andi untuk merebut kursi pertama di Partai Demokrat serta sikap mencla mencle SBY dalam mengatur posisi Anggito Abimanyu sebagai calon Wakil Menteri Kemenkeu menjadi pukulan telak berikutnya. Belum lagi ketidaktegasan dan keliaran SBY dalam menanggapi posisi Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menjadi bukti lemahnya SBY dalam mengambil sikap tegas dimata publik.

Kemanangan Anas bukan tidak mungkin menjadi pengungkit proses perubahan kaderisasi dari elit lama dan tua untuk digantikan yang muda. Walau partai-partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan telah merampungkan konggres partai untuk memilih ketua partai, setidaknya hal ini menjadi pembelajaran sekaligus angin segar bagi eksistensi parpol sebagai corong perubahan. Sudah saatnya trah keluarga dan bentuk relasi hubungan kesukuan, keluarga dan kekerabatan ditanggalkan oleh semua pihak saat dirinya terjun ke partai politik.

Sekali lagi, inilah senjakala politik SBY yang sangat identik dengan politik pencitraan. Pencitraan yang mengantarkan dirinya duduk sebagai presiden sampai dengan saat ini oleh sebagian kalangan. Paradigma ini tampaknya bukan lagi menjadi jualan yang efektif dalam menjaring masa. Nurani publik sudah mulai dewasa dalam melihat fenomena elit dalam menggerakkan perjalanan bangsa ini. Pembelajaran itu sudah diberikan oleh kader-kader Partai Demokrat yang tidak terikat oleh pakem atau sabda SBY selaku Pembina Partai Demokrat. Semoga Anas menjadi generasi muda yang mampu menempatkan integritas, amanah, dan rendah hati dalam menjalankan fungsi partai sebagai sarana artikulasi politik, agregasi politik, kaderisasi politik dengan santun dan menjunjung tinggi sikap profesionalisme. Selamat berjuang Bung Anas!

Minggu, 23 Mei 2010

Meritrokasi dan Etika Birokrasi: Belajar dari Mbak Ani dan Mas Anggito

Korelasi sosok Sri Mulyani dan proses reformasi birokrasi enam tahun terakhir ini tidak dapat dipisahkan sejak dirinya diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid I sampai pengunduran dirinya dari jabatan prestisus ini di bulan Mei 2010. Red type birokrasi dan budaya birokrasi yang kolot menjadi misi utama reformasi birokrasi ala Mbak Ani untuk diubah menjadi birokrasi yang lebih dinamis, responsif sekaligus tepat guna. Walau masih berkutat pada fase remunerasi, perubahan ini tampak diapresiasi oleh banyak pihak dan dipandang sebagai langkah maju dalam membenahi birokrasi kita. Peremajaan jabatan strategis juga mulai dilakukan sebagai bagian dari semangat perubahan itu. Meritrokasi birokrasi diimplementasikan guna menjaring orang-orang yang berkompeten untuk menunjang fungsi dan responsibilitas birokrasi sebagai mesin Negara. Belum genap sepekan Mbak Ani mundur, publik dikejutkan dengan mundurnya Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Anggito Abimanyu. Apa yang dapat kita petik dari mundurnya kedua tokoh sentral di Kementrian Keuangan ini ditengah proses perbaikan birokrasi kita sedang berjalan?
Satu hal, pengunduran diri keduaya adalah cermin gagalnya proses reabilitas dan visibilitas meritrokasi birokrasi kita. Hal ini kemudian berimplikasi kepada gagalnya penguatan etika birokrasi dalam penyelenggaraan negara. Tidak dapat dipungkiri, kasus Ani dan Anggito menjadi sebuah fase kemunduran bagi proses reformasi birokrasi kita. Dilain pihak, ini adalah kemenangan untuk yang kesekian kalinya bagi kompromi politik. Sebuah proses yang menurut hemat penulis sangat melukai nurani publik sekaligus mencederai semangat perubahan itu sendiri.
Birokrasi dan politik memang memiliki relasi yang kuat karena birokrasi digerakkan dari hasil kompromi politik elit yang terangkum dalam bentuk kebijakan publik. Namun, ketika inkonsistensi elit dalam mengelola birokrasi terjadi, disinilah terjadi dilema antara kepentingan kelompok atau kepentingan rakyat.
Jika berkaca kepada kasus ini, penulis berpendapat mundurnya Ibu Ani dan Pak Anggito sebagai konsekuensi dari kepentingan politik praktis kita. Begitu besarnya pengaruh elit politik ke dalam tataran sistem birokrasi kita, menjadi indikasi birokrasi kita sangat lekat dengan kepentingan politik. Sebuah proses yang selama ini selalu mengedepankan kepentingan yang kelompok, daripada kepentingan orang banyak.
Alasan Anggito mundur karena alasan sikap “profesionalisme”-nya yang merasa terusik memang menjadi pertanyaan publik. Hal ini menjadi jawaban sekaligus menutup proses panjang penunjukkan Anggito sebagai Wakil Kemenkeu yang dijanjikan presiden sejak bulan januari 2010. Rasa kecewa yang berakhir antiklimaks terungkap jelas dari gestur dan pernyataan Anggito kepada publik. Masalah ini sekaligus menjadi preseden buruk bagi proses meritrokasi birokrasi kita. Berkas administrasi yang sudah dipersiapkan sekian lama serta penandatangan pakta integritas yang sudah dilakukan sebagai bagian integral sistem pengangkatan Anggito menjadi Wakil Kemenkeu menjadi terkeberi karena proses kompromi politik. Sri Mulyani melihat fenomena ini sebagai bagian dari aktifitas kartel politik. Sebuah kompromi elit partai yang sangat merecoki proses kerja eksekutif (dalam hal ini Kemenkeu) oleh elit tertentu, dan untuk tujuan tertentu. Di lain pihak, penulis melihat hal ini juga menjadi bentuk kegagalan komunikasi antara atasan (Presiden) dan bawahan (Anggito) dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Ketidaktahuan Anggito perihal ditunjuknya Wakil Menteri baru saat pengganti Sri Mulyani diputuskan presiden menjadi catatan buruk peta masalah komunikasi birokrasi kita. Dampaknya bukan hanya kepentingan publik yang dipertaruhkan, namun disatu sisi juga menyiratkan meritrokasi birokrasi dan kompromi politik dua hal yang bias kepentingan.
Kasus Anggito memang memberikan pelajaran bagi kita, khususnya para pengambil kebijakan, bahwa dalam melakukan meritrokasi birokrasi, selain kapasitas dan integritas yang wajib diperhatikan, juga diperlukan etika birokrasi yang baik pula. Pengambil kebijakan harus mampu memberikan contoh dua hal ini. Kita tidak ingin orang-orang terbaik seperti Mbak Ani dan Mas Anggito kembali hilang. Ruang kompromi politik memang diperlukan dalam menjalan roda birokrasi selama koridor dan aturan main yang jelas menjadi panji utama. Akan tetapi yang tidak kalah penting, terlalu memberikan ruang yang terlalu besar kepada proses politik juga akan berdampak buruk bagi kelangsungan reformasi birokrasi kita, termasuk terjadinya kontraproduktif.
“Value” yang penulis tangkap dari pelajaran kasus ini adalah dibutuhkan etika yang baik dalam mengelola birokrasi kita. Sebuah hal yang selalu dikucilkan disaat kompromi politik begitu kental mewarnai jalannya roda pemerintahan. Menghargai kerja keras dan profesionalitas bawahan dalam bekerja oleh pemimpin adalah hakikat dari etika birokrasi tersebut. Prinsip ini yang hilang dari keseluruhan proses penyelenggaraan negara dimasa sekarang. Terlalu banyak hal birokrasi kita dicampuri, termasuk intimidasi dengan menggunakan kekuatan politik. Konsistensi pemimpin (dalam hal ini presiden sebagai pemimpin birokrasi tertinggi) juga sangat diperlukan dalam memberikan pembelajaran dan pendewasaan learning organization birokrasi kita. Memilih atau dipilih.. Memimpin atau tidak memimpin..Berkuasa atau tidak berkuasa..Bukan itu “maknanya”. Tapi sebenarnya itu adalah “masalahnya”.

Bengawan Solo Kini Tak Seindah Syairnya



“bengawan Solo, riwayatmu kini…sedari dulu jadi perhatian insani…Musim Kemarau tak seberapa airmu…di musim hujan air meluap sampai jauh…”

Pencipta Lagu Keroncong Bengawan Solo itu pun telah pergi. Gesang menutup usia pada umur 90 tahun. Seniman keroncong ini pun meninggalkan duka dikalangan pemujanya. Betapa tidak, lagu-lagi keroncong sepanjang masa kini tidak akan lagi terlahirkan dari intuisinya. Gesang memang terkenal pandai dalam mengekspresikan intuisinya dalam lirik lagu. Lagu keroncong seperti Bengawan Solo dan Jembatan Merah adalah cerminan kegundahan hatinya dalam melihat realitas lingkungan disekitarnya.

Kini, riwayat bengawan Solo tidak seindah syairnya. Bengawan Solo kini menjadi hantu yang menakutkan bagi penduduk desa yang dilaluinya. Banjir yang meluap membawa bencana dan nestapa bagi masyarakat. Sampah yang berserakan di riak aliran sungai serta pekatnya air sungai menambah suram citra Bengawan Solo. Bengawan Solo hanya indah saat kita mendengarkannya dari alunan lagunya. Sebatas itu, orang-orang tidak lagi menginginkan Bengawan Solo kembali menjadi mata air bagi para petani. Orang-orang kini tidak peduli lagi Bengawan Solo menjadi sarana utama kegiatan perniagaan antar wilayah. Lihatlah keadaan Bengawan Solo sekang. Jauh dari keindahan syair lagunya. Ulah manusia yang tidak bertanggung jawab telah mencemari sungai ini tanpa memperhatikan fungsi sungai bagi orang banyak.

Barangkali mangkatnya Gesang akan semakin mematikan nurani manusia untuk menjaga Bengawan Solo agar lebih lestari. Jangan harap banjir yang datang tiap tahun akan berhenti jika kesadaran kita sebagai manusia tidak ikut diubah. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi untuk memfungsikan kembali Bengawan Solo, baik dalam hal rehabilitasi sungai sampai proses rekonstruksinya.

Setali tiga uang dengan bengawan Solo, jembatan merah juga mengalami perlakuan yang sama. Minimnya komitmen pemerintah kota dalam melestarikan jembaran merah sebagai situs sejarah sekaligus simbol perjuangan rakyat menjadi proses kemunduran bangsa ini untuk menghargai budaya dan sejarahnya. Bisa jadi, banyaknya pencurian budaya dan ragam kesenian daerah lainnya oleh negeri tetangga secara tidak langsung karena ulah kita juga.

Hal ini mejadi pelajaran penting untuk kita semua, bahwa keberadaan dan eksistensi Bengawan Solo, termasuk budaya daerah kita akan tetap lestari dan terjaga jika kita merasa memilikinya. Sikap menjaga dan melestarikan itu harus ditumbuhkan kembali melalui media apa saja. Gesang telah memberikan pelajaran kepada kita untuk mencintai Bengawan Solo dapat diletupkan melului gubahan lagu. Beliau menantikan sikap kita untuk Eksistensi Bengawan Solo. Jangan sampai Bengawan Solo dan Jembatan Merah nantinya hanya akan menjadi riwayat dan mengalir jauh meninggalkan kita karena ulah manusia itu sendiri. Gesang terus mengngatkan kita pentingnya Bengawan Solo untuk kita semua melalui syair lagunya. Lirik itu akan mengalun sepanjang masa sampai sungai Bengawan Solo hilang ditelan bumi. Lalu apa kontribusi kita untuk menjaga keberadaan Bengawan Solo? Silahkan memikirkan dan mengimplementasikannya. Selamat berjuang..Selamat jalan Mbah Gesang...

Kamis, 20 Mei 2010

Transisi Dwi Fungsi ABRI dalam Satu Dasawarsa

Tidak terasa penghapusan dwi fungsi ABRI sebagai salah satu tuntutan reformasi telah genap sepuluh tahun pasca tumbangnya orde baru. Sebagai sebuah legitimasi, keberadaan dwi fungsi ABRI memang mengakomodasi peran serta tentara dalam ranah politik. Sesuatu yang pada awal pencetusannya menjadi sebuah tuntutan karena negara memang membutuhkannya pada saat itu (persepsi penulis). Menarik melihat proses reformasi TNI selama selama ini. Bukan hanya memberikan apresiasi kepada TNI untuk merelokasi dirinya sebagai abdi negara dan berpijak kepada kepentingan bangsa semata saja. Namun disisi yang lain, kembalinya prajurit TNI ke barak juga menjadi cacatan manis dari proses reformasi TNI.

Lalu bagaimana peran serta TNI pasca dwi fungsi ABRI di ranah politik? Secara subjektif penulis melihat reformasi TNI memang belum seluruhnya berjalan maksimal. Jika kita menengok relasi hubungan politik praktis dan sepak terjang para purnawirawan TNI, justru muncul simbiosis mutualisma. Sikap teguh institusi TNI tampaknya terlihat mendua karena peran serta purnawirawan dalam kegiatan partai politik masih sangat besar. Tidak jarang eksistensi purnawirawan ini justru terlihat dalam proses transisi negara kita dalam menegakkan nilai-nilai demokratis. Sebuah nilai yang pada jaman orde baru sangat dipasung atas nama kesatuan dan persatuan serta kepentingan rakyat. Kebebasan yang diusung selama 32 tahun pada jaman orde baru adalah kebebasan tabu yang bermuara kepada keinginan penguasa. Di tataran bisnis, keberadaan para purnawirawan sebagtai komisaris dan jabatan simbol lainnya mencerminkan paradoks antara harapan dan realita. Tidak dapat dipungkiri, dengan masuknya para purnawirawan dalam sebuah institusi bisnis, rasa aman dan nyaman secara informal akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan yang menaungi komisaris berlabel jenderal. Fenomena ini tidak dapat dipungkiri menjadi motif utama dalam dunia bisnis. Hal yang sama terjadi ketika TNI pada masa Soeharto banyak mendirikan perusahaan dan sumber pendanaan lainnya bagi kelangsungan organisasi. Pasca penghapusan dwi fungsi ABRI, keberadaan bisnis TNI mulai diatur dan diinventarisir sebagai bagian dari proses reformasi TNI. Lalu bagaimana TNI melakukan survival dalam politik sipil yang semakin mengkerucut kepada inkonsistensi nilai-nilai demokratis?

Peran serta TNI dalam ranah politik saat ini boleh jadi masih sangat strategis. Dalam menyelesaikan persoalan politik seperti Pilkada dan Pemilu, peran serta purnawirawan TNI menjadi sangat penting karena mampu mempengaruhi hasil akhir sebuah proses demokrasi. Apakah ini cermin dari sikap mendua reformasi TNI? atau ini indikasi kegagalan TNI untuk kembali ke barak?

Bisa jadi reorientasi dalam tubuh TNI kembali terjadi. Artinya, peran TNI yang hanya terbatas dalam menjaga penegakan kedaulatan negara akan semakin bosan manakala ada tawaran menarik untuk bermain di lahan yang lain. Yang pasti sepuluh tahun terakhir TNI telah membuktikan dirinya dapat berubah dari abdi kekuasaan, menjadi abdi negara. Jika masih ada yang meragukan kesungguhan TNI untuk mereposisi dirinya, biarlah waktu yang akan menjawabnya. TNI saat proses kelahirannya adalah pengejawantahan pergerakan rakyat. Sejatinya, tugas yang diemban juga harus merepresentasikan tujuan awal itu. Kita tidak ingin TNI terjun ke politik praktis, yang pada akhirnya akan menjadi alat kekuasaan oleh elit partai. dan segelintir kepentingan lainnya. Penulis dan (masyarakat kuas pada umumnya) berharap TNI akan selalu menjadi apa yang telah dicita-citakan oleh para pendirinya, yaitu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.

Salam,
Tri Dharma Eka Karma

Senin, 10 Mei 2010

Refleksi Hari Otonomi Daerah Ke XIV

DAMPAK INVESTASI ASING TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Peringatan Hari Otonomi Daerah ke XIV yang jatuh pada 26 April 2010 diperingati secara khitmat di hampir semua daerah di Indonesia. Momentum ini dijadikan refleksi untuk kita semua bahwa keberadaan otonomi daerah sejatinya diimplementasikan untuk kemaslahan masyarakat. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Kita tingkatkan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menuju Tata Kelola Pemerintahan yah Baik.” Secara umum, peringatan otonomi daerah yang telah masuk tahun ke XIV memberikan pesan bahwasanya otonomi daerah harus digunakan sebagai instrumen peningkatan kualitas pelayanan, sarana pendidikan politik, dan menjadi bingkai dalam menciptakan ketertiban penyelenggaran demokratisasi di level daerah (Pilkada).

Secara faktual, harus diakui penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia menjadi langkah maju dalam mengurangi derajat sentralitas pusat kepada daerah. Otonomi daerah juga memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri memberikan ruang bagi daerah untuk mengkonversi central voice dan choice menjadi local voice dan choice. Realita yang ada, sepanjang perjalanan otonomi daerah sampai saat ini, makna otonomi daerah memang hanya terfragmentasi kepada dua hal, yaitu “Pilkada” dan “Pemekaran Wilayah”. Reorientasi penyelenggaraan otonomi daerah terjadi karena secara empirik banyak permasalahan yang muncul pasca penyelenggaraannya. Bila kita berpedoman kepada hasil monitoring Depdagri tahun 2005 terhadap pembentukan daerah otonom baru, ada beberapa permasalahan utama yang dihadapi daerah. Pertama, masalah administrasi antara daerah induk dan daerah pemekaran belum terselesaikan. Kedua, penataan tapal batas administrasi yang belum jelas. Dua permasalahan ini meninggalkan masalah determinan lain seperti dukungan keuangan yang rendah dari daerah induk ke daerah yang dimekarkan, sulitnya rotasi dan pemindahan pegawai, terjadinya lack of competence rekrutmen pejabat daerah, sampai ketiadaan Rencana Tata Ruang Wilayah bagi daerah pemekaran baru.

Dari sisi pemerataan pembangunan dan kualitas pelayanan, gradasi capaian antar daerah juga mengalami ketimpangan. Ada daerah yang berkembang sangat cepat, namun disisi yang lain ada daerah yang tidak mampu menangkap momentum penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wahana perubahan. Kita sangat bangga melihat Kab Sragen, Kab Purbalingga , Kab Jembrana dan daerah lain mampu mensejahterakan masyarakatnya dengan mengefisienkan pelayanan dari sisi kualitas, harga (murah), jangkauan yang lebih didekatkan kepada pelayanan, serta dukungan political will dan leadership yang kuat. Namun disisi lain, kita juga miris melihat di daerah saat ini hanya memandang konsep otonomi lebih bersifat parsial dan juga momentum bagi elit lokal untuk mendapatkan jabatan baru di daerah yang dimekarkan serta munculnya raja-raja kecil di daerah.

Sejatinya, otonomi daerah harus dipandang sebagai “means” (sarana) dalam Menyediakan pelayanan yang lebih efisien dan efektif; Mengurangi disparitas pembangunan antar daerah; Sebagai instrumen rentang kendali oleh pusat kepada daerah dalam aspek sosial, ekonomi, politik; dan Pertahanan keamanan negara. Otonomi daerah tidak boleh dipandang pragmatis sebagai “tujuan” untuk kepentingan kelompok. Membengkaknya daerah otonomi baru sampai tahun 2009 yang berjumlah 524 (33 Provinsi, 398 Kabupaten, 93 Kota, 5 Kota Administratif, dan 1 Kabupaten Administratif) memberikan sinyalemen bahwa tujuan dari otonomi daerah adalah pemekaran wilayah untuk menjawab permasalahan ketimpangan pemerataan pembangunan. Sejak UU No 22 Tahun 1999 dilaksanakan, telah ada penambahan 205 daerah otonomi baru. Jumlah ini sangat banyak dan terus akan bertambah dimasa datang. Tidak adanya Grand Strategy untuk memformulasikan jumlah ideal daerah otonom di Indonesia serta parameter utama dalam menentukan boleh tidaknya suatu daerah dimekarkan menjadi catatan kelemahan penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia.

Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah pusat karena memberikan ruang yang lebih mudah untuk melakukan pemekaran wilayah akan mengganggu stabilitas politik, ekonomi, sosial, relasi hubungan pusat dan daerah, serta hubungan antar daerah. Solusi jangka pendek yang mengedepankan “pemekaran wilayah” oleh pemerintah pusat untuk menjawab masalah disintegrasi bangsa, bisa jadi malah menjadi isu yang resisten bagi keutuhan NKRI.

Peringatan ke 14 Hari Otonomi Daerah harus dimaknai sebagai sarana reorientasi diri sekaligus koreksi diri bagi kita semua bahwa desentralisasi harus menjadi wahana sekaligus tools dalam menciptakan pemerataan pembangunan, kemudahan akses pelayanan publik, dan pembelajaran politik di daerah. Egoisme pusat dan daerah harus dihilangkan agar proses pendelagasian wewenang dapat berjalan dengan semestinya dan menjadi sarana untuk mewujudkan esensi semangat otonomi daerah itu sendiri. Semoga.

Selasa, 04 Mei 2010

Memaknai “Otonomi Daerah” Secara Komprehensif


Perbincangan mengenai local government dalam konteks otonomi daerah dewasa ini masih sangat dinamis, terutama dari sisi pemahaman secara umum oleh khalayak. Dikatakan dinamis karena artikulasi dan pemahaman otonomi daerah sendiri masih belum seragam dan cenderung keluar dari konteks sesungguhnya. Menyitir dari perbincangan yang berlangsung saat peluncuran buku Prof. Bhenyamin Hoessein yang berjudul “Perubahan Model. Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi”, terungkap jelas bahwa masyarakat awam, terutama aparat birokrasi masih memaknai otonomi sebagai sebuah “tujuan” akhir. Hoessein sendiri menggarisbawahi makna otonomi atau desentralisasi sebagai “means” atau sarana dalam mencapai tujuan-tujuan kemaslahatan masyarakat, terutama di tingkat lokal.

Dewasa ini, makna desentralisasi di Indonesia memang masih berkutat kepada artikulasi kelompok dan golongan yang mengatasnamakan kepentingan dan kemakmuran lokal dalam arti sempit. Pandangan ini tentunya tidak sejalan dengan fungsi penyelenggaraan desentralisasi karena dalam kacamata administrasi publik, keberadaan otonomi daerah bertujuan untuk menjamin fungsi pengaturan pelayanan lebih efektif dan efisien. Otonomi daerah sejatinya harus dijadikan sebagai tools untuk mengkonversi orientasi “central voice” dan “central choice” menjadi “local voice” sekaligus “local choice” dimana otonomi berfungsi sebagai bingkai penyenggaraan pemerintahan sekaligus penguatan peran individu dan lembaga daerah.

Perjalanan otonomi Indonesia yang hampir mendekati satu dasawarsa haluannya tidak begitu kentara ke arah lokalitas, bahkan mengalami disorientasi nilai karena dalam praktiknya benturan kepentingan pusat dan daerah sering mengorbankan aspirasi daerah. Gradasi keberhasilan daerah yang tidak merata menunjukkan bahwa fungsi pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintahan nasional, pengelola aspirasi lokal, sekaligus wadah pendidikan politik masyarakat seperti argumentasi yang disampaikan Kjellberg (1995) tidak berfungsi seluruhnya. Di level pusat, keberadaan Dewan Pertimbangan daerah sebagai legitimasi kepentingan daerah di ranah pusat tidak mampu memainkan perannya dengan semestinya. Pengebirian DPD melalui sistem politik dan undang-undang memfungsikan DPD sebagai simbol artikulasi yang perannya hanya sekedar formalitas saja. DPD dapat menjadi tolak ukur dan buah implikasi belum tertatanya sistem otonomi daerah di negeri ini.

Di beberapa daerah di Indonesia, bingkai otonomi justru dijadikan momentum bagi elit lokal untuk berperan sebagai raja-raja kecil. Katub partisipasi politik masyarakat lokal dalam Pilkada tidak mampu dijadikan wahana utama untuk menyampaikan pendapat dan partisipasi politik terkait masalah publik. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan Pilkada yang masih didominasi oleh peran partai politik sebagai kendaraan politik memberikan ruang intervensi yang lebih besar oleh elit pusat kepada daerah sebagai konsekuensi sistem politik yang kita anut. Di sisi lain, minimnya calon independen yang tidak mampu bersaing dengan “jago parpol” karena masalah aturan main dan ketimpangan sumber daya semakin membenamkan jalur independen sebagai instrumen dalam menghasilkan pemimpin diluar kaderisasi partai politik. Hamdi (2008) menjelaskan otonomi sejatinya dijadikan wadah untuk pendidikan politik masyarakat untuk pengembangan pola peranan, komunikasi, dan kepemimpinan. Di Indonesia, Pilkada tidak mampu menjadi wadah pendidikan politik bagi masyarakat lokal karena orientasinya sarat dengan kepentingan kelompok. Akibatnya, komunikasi yang terbangun juga bersifat satu arah dan cenderung parsial. Egoisme daerah dan value budaya daerah yang menyerahkan kepentingan publik hanya ditangan pemimpin saja memberikan ruang pola ini untuk eksis di beberapa daerah. Tidak adanya akses informasi secara formal dan apatisme masyarakat kita dalam mengkritisi pemerintah lokal semakin menegaskan adanya degradasi value dari penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri.

Fragmentasi Makna Otonomi

I Made Suwandi, memberikan argumentasi bahwa isu utama terkait dengan otonomi daerah saat ini memang hanya terfokus kepada dua hal, yaitu "Pemekaran" dan "Pilkada". Dua hal ini oleh sebagian kalangan dapat mendekatkan pelayanan di daerah sekaligus menjadi alat untuk melakukan redistibusi sumberdaya dan meningkatkan hak dan partisipasi masyarakat lokal untuk membangun daerahnya. Secara normatif, pemekaran dilakukan untuk mengefisienkan dan memberdayakan sumber daya alam dan potensi daerah yang berorientasi kepada kemakmuran masyarakat. Adapun penyelenggaraan Pilkada berorientasi untuk menemukan calon-calon pemimpin putra daerah yang tahu betul daerahnya, baik dari sisi kebutuhan, kelebihan, kekurangan, dan hambatan yang ditemui oleh daerahnya selama ini.

Pandangan ini tidak keliru karena hakikat dari otonomi daerah irisannya memang menyentuh aspek itu. Akan tetapi, masalah yang timbul saat ini ketika daerah dimekarkan sebagian besar justru mengalami kemunduran. Hal ini bukan hanya dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan daerah yang akan dimekarkan dari sisi sumber daya alam dan manusianya semata, dari aspek budaya dan mind-set sebagian masyarakat, terutama elit lokal juga menjadi penyebab gagalnya pemekaran daerah sebagai sebuah solusi. Celakanya, kecenderungan proses pemekaran di Indonesia lebih bermain di gray area. Artinya, wacana disintegrasi selalu menjadi tema utama ketika sebuah pemekaran suatu daerah dilakukan. Pemekaran dijadikan solusi mudah, tidak memerlukan waktu lama, dan cenderung menjadi jembatan dalam menghasilkan “win-win solution” bagi semua pihak tanpa mempertimbangkan efek sosial, politik, dan ekonominya.

Tidak dapat dipungkiri ini terjadi di negara kita. Pemerintah pusat seolah tidak tegas dalam melihat hal ini karena dari sisi produk undang-undang otonomi daerah yang telah dihasilkan oleh negeri ini (termasuk UU No. 32 Tahun 2004) dapat dikatakan “banci” terkait pengelolaan hubungan pusat-daerah. Ketidaktegasan ini muncul karena sistem yang berjalan saat cenderung ambigu, apakah dalam hubungan pusat dan daerah akan ditarik garis kekuasaan sentralisasi secara jelas atau memang dimungkinkan border baru dalam menata hubungan pusat dan daerah menjadi lebih fleksibel.

Reorientasi Semangat Otonomi

Pengamatan Page dan Goldsmith (1987) di beberapa negara Eropa Barat memberikan pandangan sekaligus identifikasi perihal pembentukan daerah otonom. Ada lima faktor penting daerah diotonomkan, yaitu: budaya, agama, sejarah, ukuran atau efisiensi, dan kebutuhan pusat untuk mengontrol wilayah lokalnya. Hamdi (2008) menyarikan kelima faktor ini esensinya terfokus kepada dua hal, yaitu berhubungan dengan kemudahan kontrol dan pengelolaan oleh pemerintah nasional dan yang bertalian dengan pengakuan terhadap keunikan lokalitas. Jika melihat alasan pembentukan otonomi daerah dari struktur pemerintah daerah, Hamdi mengutip Boyne (1992) menjelaskan ada tiga faktor penentu, yaitu: jumlah tingkatan, jumlah unit pada setiap tingkatan, dan distribusi tanggung jawab dalam dan antara tingkatan. Tingkatan di masing-masing negara tentunya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Faktor luas negara, jumlah penduduk, jumlah “basic unit”, dan derajat sentralisasi (Humes dan Martin: 1969).

Di negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan Eropa Barat seperti Inggris dan Jerman, otonomi daerah juga tidak selalu diawali dari kesamaaan historis, budaya dan kesukuan. Aspek “kesamaan kepentingan” menjadi prioritas utama dalam memaksimalkan peran pemerintah daerah dan juga sumber daya yang dimiliki ketika otonomi diimplementasikan. Desentralisasi tidak selalu terfokus kepada tapal batas administrasi yang kaku, walaupun dalam konteks desentralisasi hal itu memang kadang diperlukan. Akan tetapi, wilayah-wilayah di luar garis administrasi idealnya juga dapat melakukan kerjasama dalam memaksimalkan pelayanan publiknya.
Konsep “Megapolitan” yang diwacanakan mantan Gubernur Sutiyoso semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta sebenarnya dapat menjadi embrio dalam mengimplementasikan pakem pendapat ini. Kita ambil contoh masalah pengelolaan sampah. Jakarta lambat laun akan keropotan dalam mengurus masalah sampah jika daerah lain seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok yang fungsinya sebagai kota penyangga tidak mau bekerjasama dengan daerah induknya. Integrasi antar daerah diperlukan dalam memaksimalkan fungsi Pemda sebagai alat untuk memaksimalkan perannya dalam konteks “means” atau sarana. Desentralisasi hanya sebagai sarana karena selanjutnya, Pemda dan segenap komponen lokal lainnya yang akan menentukan keberhasilan otonomi yang telah diberikan pusat. Fleksibilitas kerjasama antar pemerintahan daerah ke depan sangat diperlukan dalam melakukan transfer sumberdaya yang pada akhirnya tercipta public services yang baik.

Di Indonesia, latar belakang semangat suatu daerah akan dimekarkan tidak demikian. Aspek historis, suku, dan budaya serta solusi jangka pendek dalam meredam masalah disintegrasi negara masih sangat kental dalam praktiknya. Fungsi penyelenggaan yang tadinya dapat diefisienkan melalui otonomi daerah tidak semuanya serta merta tercipta. Jika hal ini dibiarkan akan sangat membahayakan untuk kelangsungan proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Resistensi permasalahan pemekaran yang tidak diformulasikan dengan tepat, baik dari sisi urgensi dan indikator yang dipakai dalam mengukur layak tidaknya sebuah daerah dimekarkan telah terjadi. Kasus kematian ketua DPRD Sumatra Utara dalam sengketa pemekaran daerah Tapanulli Utara menjadi indikasi betapa bahayanya proses sebuah pemekaran yang dilakasanakan secara serampangan. Proses Pilkada yang telah berlangsung di daerah juga mencerminkan penguatan konflik horizontal yang bermuara kepada benturan budaya politik, sosial, dan ekonomi sebagai konsekuensi pemahaman aturan main yang minim. Pelaksanaan otonomi daerah yang dalam kemunculannya oleh banyak pihak dianggap masih sangat prematur harus disikapi lebih bijaksana dan mengendepankan kepentingan bersama. Seiring berjalannya waktu, semoga otonomi daerah menjadi solusi tepat dalam mensejahterakan masyarakat untuk lebih baik lagi.