Kamis, 22 Desember 2011

Dahlan Iskan Untuk RI 1 Tahun 2014

Udara dan langit Kota Bogor pagi ini (Jumat, 23 Desember 2011) terasa hangat dan cerah. Kereta ekonomi yang saya naiki berjalan cepat karena keterlambatan jadwal dari biasanya. Suasana tampak biasa saat saya tiba di stasiun Bogor. Dengan langkah kaki agak cepat, saya langsung mencari angkot menuju Terminal Barangnangsiang. Sampai di Istana Bogor, dari kaca angkot saya mendapati kesibukan di sekitar istana. Para penjaga dan pegawai tambak sibuk mempersiapkan hajatan besar hari ini. Singkat cerita, ternyata hari ini Pak SBY akan mengadakan rapat Kabinet.

Sampai di Terminal Baranangsiang, hiruk pikuk terasa berbeda dari biasa. Pak Polisi jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Disepanjang jalan Padjajaran Bogor, Pak Polisi dengan rompi warna hijau bermotif garis putih sibuk meniup peluit agar jalan raya lancar. Bersama dengan petugas DLLAJ Kota Bogor, para pelayan masyarakat ini tidak henti-hentinya mengatur kendaraan agar jalanan tidak macet.

Puncaknya, ketika iring-iringan rombongan menteri mulai memasuki jalan raya menuju istana Bogor, semua jalan disterilkan. Tidak terkecuali lalu lintas keluar masuk bus di terminal Baranangsiang. Para supir dan penumpang mulai gelisah karena mereka tertahan cukup lama di dalam terminal. Pak Supir tidak berani menerobos karena Pak Polisi belum memberikan ijin keluar bagi bus yang saya naiki.

Para penumpang mulai melihat jam tangannya masing-masing. Sumpah serapah dan tarikan nafas panjang mulai terdengar dari penumpang disamping saya. Rombongan menteri tidak kunjung tiba walau penumpukan bus yang akan keluar dari terminal mulai mengular. Selang beberapa lama, rombongan itu pun melewati terminal. Dengan bangga iring-iringan ini “ngacir” tanpa hambatan. Layaknya juragan, mobil Toyota Camri warna hitam itupun menghilang selang seperempat menit.

Hanya memastikan mereka hadir tepat waktu di Istana Bogor, rombongan para menteri ini mengorbankan kepentingan masyarakat luas. Apalagi jika Pak SBY melewati bus yang saya naiki, bisa telat sampai kantor saya dan penumpang lain. Dan benar saja, selang beberapa menit ketika bus yang saya naiki sudah memasuki gerbang tol Ciawi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden terlihat mengular. Sirine dan beberapa mobil pengawal berada di depan, samping, dan belakang sang Presiden. Jalan raya Padjajaran pun pastinya kembali ditutup karena yang lewat bukan lagi menteri, tapi bosnya menteri alias Presiden.

Apa yang saya ceritakan ini hanya sebuah reaksi dari betapa eksklusifnya para pejabat di negeri ini. Protokoler kenegaraan, khususnya pengaman, seringkali mengorbankan kepentingan banyak orang. Celakanya, tabiat “para penggede” ini terus dilakukan dan menular kepada pejabat daerah. Memang kita tidak dapat menyamakan semua pejabat di negeri ini memili tabiat untuk dilayani dari pada melayani. Namun, kenyataannya demikian. Contoh lain ketika Pak SBY menikahkan putranya dengan kolega menterinya di Istana Cipanas. Kemacetan dan rentetan masalah timbul sangat banyak. Mulai dari penutupan tol Ciawi, penutupan sekolah dasar, kemacetan dsb. Inilah potret penggede negeri ini.

Mereka harus selalu rapi, keren, kaku, seremonial, protokoler hanya untuk melakukan rapat di Istana Bogor! Entah apa yang dirapatkan hari ini, namun buat saya, dan masyarakat pada umumnya, pejabat penggede ini jangan membuat masalah baru lagi ketika mereka belum mampu menyelesaikan masalah besar dan mendasar negeri ini.

Pastinya, kita butuh pemimpin yang mau merasakan apa yang kita rasakan. Kita ingin pemimpin yang mau berpanas-panasan di dalam gerbong kereta untuk bersama-sama menuju kantor kita masing-masing. Kita ingin menteri yang ikut menikmati kemacetan yang semakin lama semakin mengular. Dan pagi ini kita mendapati satu teladan dari pemimpin Ini. 

Di salah satu portal berita, Bapak Dahlan Iskan diwartakan naik kereta commuter line ketika hendak ke Istana Bogor. Ketika para menteri lain dengan gaya “penggedenya” naik mobil mewah dan menimbulkan masalah disepanjang perjalanan, dengan santai menteri BUMN ini menggunakan moda transportasi kereta rel listrik. Ketika para pejabat PT KAI tidak pernah  kita temui di lorong gerbong kereka ekonomi yang selalu penuh setiap hari, Pak Dahlan sudah mencoba untuk berinteraksi dengan para penumpang dan masyarakat, walaupun kali ini yang dinaiki adalah kereta perpendingin AC. Walau hanya dengan senyuman dan tegur sapa, hal ini bentuk keseriusan dari beliau untuk mengabdi tanpa embel-embel protokoler.

Sebagai menteri, Pak Dahlan juga tidak ragu untuk "jajan" sarapan di pinggir stasiun Bogor. Mie kuning menjadi santapan favorit Pak Dahlan untuk mengisi perutnya sebelum rapat kabinet dimulai. Dalam warta berita, Pak Dahlan bahkan sempat meracik sendiri Mie Soto Kuning pesanannya. Karena enaknya, beliau sampai nambah dua mangkuk Mie Soto Kuning. Lapar ya Pak?

Kita bangga dan patut mengapresiasi gaya kepemimpinan beliau. Inilah bentuk kepekaan seorang pemimpin untuk memastikan apa yang sudah mereka capai dan apa yang mesti diperbaiki. Kesimpulannya, dengan menaiki kereta commuter line, kita berharap Pak Dahlan bisa menyentil para direksi PT KAI agar kelayakan dan kenyamanan commuter line ditingkatkan lagi.

Memang kalau kita lihat, apa yang dilakukan Pak Dahlan sebenarnya biasa saja. Menjadi luar biasa karena mungkin ini pertama kali seorang menteri pergi sendirian dengan menggunakan kereta rel listrik tanpa didampingi ajudan dan pengawal seperti di televisi. Dan tujuannya tidak tanggung-tanggung, rapat kabinet dengan Pak SBY dan kolega teman menteri lainnya. Inilah bentuk contoh kepemimpinan yang kita cari di tengah degradasi kesantunan dan ketulusan para elit dan pemangku kebijakan negeri ini. Bosan! kata itu yang selalu menghinggapi mata dan telinga masyarakat ketika disuguhkan berbagai berita korupsi, penyalahgunaan jabatan, money politic, hedonisme para wakil rakyat, persekongkolan elit politik tingkat tinggi, sampai perselingkuhan asmara wakil rakyat. 

Kita berharap, suatu hari akan ada Dahlan Iskan lain yang selalu memberikan senyum kepada para penumpang kereta. Kita berharap, ada Dahlan Iskan lain yang berjalan sendiri, serta mengecek permasalahan di lapangan tanpa ada bisikan dari para ajudannya. Jika menteri lain ikut turun lapangan dan merasakan apa yang masyarakat rasakan, saya yakin mereka melakukan yang terbaik untuk kenyamanan dan pelayanan kepada masyarakat. Sayang, pagi ini saya tidak bertemu Pak Dahlan di kereta atau di stasiun Bogor. Meski demikian, berita tentang beliau pagi ini membuat saya terkejut dengan gaya kepemimpinan beliau. Rekomendasi dari saya, jika Pak Dahlan Iskan ikut mencalonkan diri menjadi Presiden tahun 2014, saya tidak ragu untuk memilih beliau. Terus semangat Pak! Benahi negeri ini dengan ketulusan dan keseriusan mengabdi untuk masyarakat. 

Selasa, 06 September 2011

Parsel (Masalah) Lebaran Untuk Jakarta


Pasca hajatan besar bernama “mudik lebaran”, Kota Jakarta kembali menggeliat. Sejak senin kemarin (05 September 2011) masyarakat mulai kembali beraktifitas pasca libur cuti bersama hari raya idul fitri berakhir. Banyak cerita terjadi selama mudik tahun ini berlangsung. Mulai dari masih masalah minimnya sarana transportasi publik  yang memadai, aman, dan nyaman; Atensi yang semakin tinggi dari masyarakat Jakarta untuk mudik juga membawa permasalahan pelik. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor yang digunakan sebagai sarana mudik. Akibatnya, moda transportasi kereta api menurun penggunaannya dibanding tahun lalu. Hal yang sama juga dikeluhkan oleh para supir bus Antar Kota Antar Propinsi yang merasakan adanya penurunan penumpang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Peralihan moda transportasi ini penulis melihat sebagai buntut dari gagalnya pemerintah dalam menciptakan transportasi massal yang memadai. Akibatnya, kenyamanan dan keamanan dibenak sebagian besar pemudik tercipta ketika mereka menggunakan kendaraan pribadi. Selain jauh dari desak-desakan dan antri untuk mendapatkan tiket mudik, pulang kampong dengan menggunakan kendaraan pribadi juga menjadi simbol keberhasilan seorang perantau ketika pulang ke kampung halaman.

Pemakain kendaraan pribadi yang semakin meningkat memberikan konsekuensi karena banyaknya tingkat kecelakaan dan korban tewas selama mudik lebaran tahun 2011. Di sisi yang lain, selain karena faktor human error, prasarana seperti jalan dan minimnya marga jalan ikut menyumbang potensi kecelakaan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri semakin banyaknya kuantitas volume kendaraan pribadi membuat beban jalan tidak mampu lagi menampung para pemudik. Kemacetan pun tidak dapat teralakkan. Apalagi, ditambah dengan masih banyaknya jalan tol maupun perbaikan jalan yang belum rampung oleh dinas terkait semakin menambah masalah di jalan.

PNS Bolos Kerja Rame-Rame

Cerita yang tidak kalah heboh dalam hajatan mudik adalah masalah yang timbul pasca mudik. Proses urbanisasi tidak dapat dibendung karena para pemudik biasanya mengajak sanak saudara untuk mengadu nasib di Jakarta. Walaupun penurunan tren urbanisasi terus menurun ketika mudik berlangsung, masalah Yustisia ini menjadi agenda tahunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk mensterilkan wilayahnya dari para penduduk illegal. Inilah bentuk resistensi hajatan mudik sepanjang tahun. Kemilau dan keberhasilan para pemudik di kampong halaman telah menarik perhatian penduduk desa untuk mengadu nasib di Ibukota. Iming-iming hidup lebih baik daripada di kampong menjadi alasan klasik dari kaum urban ini. Di samping itu, kemiskinan yang akut di daerah juga menjadi penyebab larinya para penduduk kampung ke kota-kota besar dalam mendapatkan “kue kemakmuran” dari yang namanya pertumbuhan ekonomi.

Yang tidak kalah heboh, sepanjang tahun, pasca lebaran juga dihisasi dengan adanya virus sakit bersama bagi kalangan Pegawai Negeri Sipil di Ibu Kota. Media cetak dan elektronik pada hari senin tanggal 05 September 2011 banyak menurunkan headlines para PNS yang bolos kerja. Bahkan, ada adegan inspeksi mendadak oleh para gubernur, bupati, dan kepala dinas. Dari sekian banyak pemberitaan, penulis tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Walikota Surabaya dan Bupati Tasikmalaya. Ibu Walikota Kota Surabaya mendadak melakukan inspeksi mendadak disalah satu kelurahan. Karena Walikota tidak mendapati Sang Lurah tidak ada ditempat, dengan marah dia menyuruh pegawai kelurahan mencari sang lurah sampai ketemu. Setelah sampai di kantor, sang lurah dimarahi dan dinasihati oleh Ibu Walikota karena perbuatannya. Para jurnalis, pegawai kelurahan, dan masyarakat asyik menikmati hiburan gratis dari pembicaraan atasan dan bawahan ini. Selain menanggung malu, muka sang lurah tentu saja pucat padam mendengar “omelan” Ibu Walikota.

Yang lebih heboh dilakukan oleh Bupati Tasikmalaya. Ketika mendapati banyak Absensi yang ada tanda tangannnya tapi orangnya tidak ada, Sang Bupati lantas menyuruh para PNS yang masuk untuk memanggil PNS yang mangkir. Tanpa ampun, bupati juga merobek absensi yang dia periksa di depan para bawahannya. Tidak itu saja, PNS yang mangkir dan bolos kerja juga disuruh berjemur di lapangan dan melakukan push up saat terik matahari. Adegan ini tentu saja cukup mengocok perut bagi masyarakat yang menontonnya sekaligus shock terapy bagi para PNS yang mangkir dalam bekerja.   

Di Jakarta, PNS yang mangkit pun tidak sedikit. Dari berbagai Kementerian yanga ada, hampir semuanya didapati ada PNS yang tidak masuk tanpa alasan yang jelas. Setali tiga uang dengan sebagian PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, PNS yang mangkir kerja juga banyak ditemukan ketika inspeksi mendadak dilakukan.

Jika demikian adanya, apakah ini artinya moratorium PNS sudah tepat dilakukan untuk mengatasi permasalahan buruknya para aparatur kita? Atau adanya moratorium PNS justru menghambat proses kaderisasi SDM dengan semangat baru untuk menggantikan SDM yang sudah usang, tua, tidak ada gairah kerja, dan cenderung apatis? Entahlah! Moratorium adalah dua mata uang yang saling memberi konsekuensi baik dan buruk.

Yang jelas, parsel (masalah) lebaran ini tidak hanya hadir tahun ini saja. Jauh hari sebelumnya, parsel lebaran ini sudah diterima oleh masyarakat Jakarta. Inilah potret Jakarta. Semuanya tampak indah ketika dari jauh dilihat, tapi busuk ketika kita mendekat. Dan sudah selayaknya semua pihak, termasuk kita sebagai masyarakat Jakarta membuang jauh-jauh parsel (masalah) lebaran sebagai suguhan di hari yang fitri. Semoga!

Jumat, 02 September 2011

Kembali Ke Fitri


Hari raya Idul Fitri 1432 hijriah menjadi penutup rangkaian bulan suci ramadhan selama satu bulan penuh. Selama satu bulan penuh berpuasa di bulan suci ramadhan, umat muslim di seluruh dunia kembali merayakan kemenangan. Lalu, apakah kemenangan itu akan sama dengan kemenangan tahun lalu? Dimanakah perbedaan kemenangan masa kini dan masa lalu bagi diri kita masing-masing agar kita menjadi seseorang yang kembali fitrah?

Pertanyaan itu masih menggelayuti benak saya saat menulis catatan ini. Namun, kemenangan kali ini menurut saya di lebaran tahun ini menjadi sangat berarti karena untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia semakin dewasa memahami dan menyikapi sebuah perbedaan. Penetapan tanggal dan hari jatuhnya Idul Fitri tahun ini yang berbeda di kalangan masyarakat; khususnya warga Muhammdiyah dengan warga yang merayakan Idul Fitri dengan berpegang kepada keputusan pemerintah; tidak mengurangi sedikitpun khitmat dari kemenangan itu sendiri. Tidak terkecuali dengan keluarga saya dimana ayah saya dan saya berbeda pandangan dalam menentukan jatuhnya hari taya Idul Fitri tidak menyulut riak pertengkaran dan amarah. Inilah bentuk toleransi dan kemajemukan bangsa kita. Sebuah nilai budaya agama yang masih mampu dijaga untuk terus memperat tali persaudaraan, perdamaian, dan toleransi sesama umat muslim. Jauh dari kesan yang kita tangkap dari kelakukan para elit pemangku kebijakan.

Makna Mudik

Seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran tahun ini menjadi tradisi sebagian besar warga Jakarta untuk melakukan mudik ke kampong halaman masih terjaga. Sejak hari cuti bersama dimulai, warga Jakarta kembali ke daerah masing-masing. Jalan protokol ibukota yang saban hari dipadati kendaraan kini tampak lengang dan sepi. Ada alasan bagi mereka untuk kembali dan bertemu dengan orang tua dan sanak keluarga di kampung halaman. Bagi masyarakat Jawa, mudik menjadi suatu keharusan karena memiliki dimensi nilai budaya yang sakral. Bertemu langsung dan melakukan sungkeman kepada orangtua merupakan wujud rasa cinta dan hormat anak kepada orangtua. Dalam berbagai candaan cerita, prosesi sungkeman oleh sebagian masyarakat Jawa dimaknai sebagai simbol proses kehidupan dimana orangtua ketika merawat anaknya dilakukan hanya dengan “modal dengkul”. Oleh karena itu, proses sungkeman itu sendiri jika kita amati dilakukan oleh anak kepada orangtuanya lazimnya mencium dan menempatkan kedua telapak tangan sang anak di dengkul ayah dan ibu. Ini adalah bentuk gambaran penghormatan yang tinggi oleh anak kepada orangtua yang telah mendidik dan membesarkan mereka dengan “modal dengkul”. Jadi, mudik merupakan refleksi kerinduan anak kepada orangtua atau sebaliknya untuk selalu menghargai jerih payah pengorbanan dalam mendidik dan membesarkan sebuah keluarga. Ada ikatan emosional yang kembali dibangun setiap setahun sekali dari sebuah pertalian darah dari apa yang dinamakan pranata “keluarga”.

Mudik dalam perspektif sosialogis juga memiliki makna tersendiri. Dalam budaya Minang misalnya, orang yang berani mudik atau pulang kampung ketika hari raya Idul Fitri adalah orang yang sudah berhasil di perantauan. Mungkin hal ini terlalu naïf bagi sebagian kalangan. Namun, budaya Minang dalam pandangan penulis memang membentuk karakter masyarakat minang demikian adanya. Rasa bangga dan berhasil itu harus lebih dahulu melewati sikap pantang menyerah dan berani mengambil resiko sebesar apapun karena mereka merantau berbekal percaya diri dan kemauan ulet untuk bekerja. Fragmen iklan salah satu perusahaan minyak BUMN Nasional di layar kaca belakangan ini tampak menggambarkan anak minang yang menolak kemauan ayahnya untuk meneruskan usaha keluarganya. Kemauan sang anak yang bertentangan dengan ayahnya kemudian mengharuskan sang anak merantau menjadi pengusaha rumah makan minang di kota besar. Akhir dari dwilogi pariwara itu menggambarkan pada saat hari raya idul fitri tiba anak laki-laki itu pulang ke kampungnya dengan perasaan bangga karena telah berhasil di tanah rantau. Ada pembuktian jati diri dari sang anak kepada orangtua tanpa diselimuti sikap sombong. Dengan mata berkaca-kaca dan ditambahkan dengan setting suasana lebaran khas minang, sang ayah menyambut kedatangan sang anak dengan adegan yang mengharukan. Inilah potret realitas dari sebagian masyarakat kita dimana momentum mudik dijadikan refleksi menyambung silaturahmi serta penunjukkan jati diri dari seorang anak kampung yang telah berhasil di tanah rantau. Keberhasilan seseorang ini notabene juga menjadi semangat pelecut bagi masyarakat di kampungnya untuk ikut mengadu nasib di tanah rantau. Ada sisi positif dan negatif dari hal ini. Namun demikian, kenyataan ini tidak dapat dibantah sebagai motif utama dari proses mudik serta permasalahan turunan yang ditimbulkan pasca mudik berlangsung.

Dari sisi ekonomi, mudik juga menjadi momentum untuk merelokasi perputaran uang dari kota ke desa. Selama mudik, proses kegiatan ekonomi jual beli di daerah sangat besar karena masyarakat yang mudik akan membelanjakan uangnya di desa. Secara langsung, perputaran ekonomi sektor rill di daerah akan bertambah, terutama dari sisi omset jenis usaha turunan yang terkait dengan makanan, pakaian, jasa, dsb. Sebuah momentum yang seharusnya terus berlangsung secara berkesinambungan karena ketimpangan pembangunan antara kota dan desa dewasa ini sudah semakin akut. Tidak lupa, selama mudik jalan-jalan lintas daerah juga tampak mulus karena sarana dan prasarana juga ikut diperbaiki oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menunjang kelancaran mudik. Walau sifatnya parsial dan tambal sulam setiap tahunnya, prosesi mudik secara langsung menggerakkan semua aparatur negara untuk melayani masyarakat. Sebuah hal yang tidak kita dapatkan setiap hari ketika masyarakat justru melayani aparatur Negara di semua ranah birokrasi. Mudik setiap tahun juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk menjadi raja sesaat bagi negara karena semua aparatur negara (polisi dan TNI), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pehubungan, dan aparatur terkait sibuk melayani masyarakat untuk sampai dan kembali dari kampung halaman. Ada keinginan dan kewajiban dari Negara untuk memuluskan hajatan besar ini berlangsung lancar dan aman.  

Pekerjaan Rumah

Meskipun mudik selalu berlangsung setiap tahun, permasalahan yang dihadapi pemerintah sebenarnya sama saja. Minimnya sarana transportasi yang memadai dan nyaman, pengerjaan jalan darat yang tambal sulam, tingginya angka kecelakaan dan kematian selama mudik, kemacetan yang semakin akut, praktik percaloan, kenyamanan penumpang di terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan yang tidak memadai, sampai permasalahan pasca mudik seperti arus urbanisasi yang semakin tinggi menjadi pekerjaan rumah yang tidak tuntas. Pola kebijkan yang pragmatis dan tentatif mengakibatkan tidak ada pola kebijakan yang komprehensif dan integratif. Akibatnya, hanya kesan reaktif saja yang selama ini dilakukan pemerintah. Tidak ada langkah antisipatif untuk mengurai atau menanggulangi masalah yang ada. Jika masyarakat rela untuk antri dan berdesak-desakan di bus, kereta api, kapal laut itu karena mereka memaknai proses mudik sebagai kewajiban. Dan sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi dan menyediakan sarana dan prasarana mudik dengan maksimal.

Mudik sejatinya menjadi refleksi untuk kita bersama dalam rangka memperbaiki negeri ini. Dengan minimnya sarana dan prasarana serta kemacetan yang semakin menggila di sepanjang jalan, masyarakat kita masih dapat mentaati peraturan lalu lintas agar waktu perjalanan semakin cepat. Ada hal besar yang ingin mereka capai ketika mereka rela bersusah-susah disepanjang perjalanan untuk bertemu dengan keluarga. Yaitu, sebuah kemenangan dan penghormatan yang tinggi kepada keluarga yang telah merawat dan membesarkan mereka menjadi manusia yang dewasa dan dihormati.

Ada satu pembahasan yang sangat menarik disampaikan oleh Prof Komaruddin Hidayat. Kata “pulang” dalam termenologi agama maupun budaya mengandung makna yang luar biasa. Kata “pulang” menjadi sangat bermakna karena mengandung arti kerinduan dan kita ingin cepat sampai ke rumah kita. Kata “pulang” juga dapat diartikan sebagai kata “fitrah” dimana kita menempatkan diri kita kembali suci setelah sekian lama kita melanglang dunia kefanaan selama satu tahun.

Kita dapat belajar dari budaya mudik untuk mentertibkan perangkat dan aturan hukum di negeri ini menjadi lebih manusiawi ditengah ketidakpercayaan publik yang semakin besar kepada pemangku kebijakan. Kita ingin, kebijakan ekonomi, politik, dan social pemangku kebijakan “pulang” ke fitrahnya untuk kemaslahatan bersama, bukan perseorangan, kelompok, atau elit tertentu. Semoga hari raya idul fitri 1432 H menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk “pulang” ke haluan yang sebenarnya, yaitu merdeka dari semua penjajahan masa kini. 

Selamat Idul Fitri 1432 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin. 

Minggu, 31 Juli 2011

Kopaja Rasa Busway

Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan panasnya naik bus kota di Jakarta. Selain panas, penuh sesak dan kotor, bus kota selama ini juga identik dengan ugal-ugalan. Apalagi jika bus yang kita naiki adalah bus non AC. Diantara nama-nama bis yang lalu lalang di Jakarta, nama bus KOPAJA tentu sudah tidak asing lagi bagi para pengguna kendaraan umum. Bersama dengan saudara tuanya METRO MINI, KOPAJA adalah bus yang melayani berbagai rute di Jakarta. KOPAJA selama ini tidak ubahnya seperti stigma masyarakat yang saya telah sampaikan sebelumnya. Nah, di bulan Puasa yang akan kita songsong esok hari ternyata memberi berkah bagi para para penumpang bus kota. Koperasi Angkutan Jakarta (KOPAJA) hari ini resmi meluncurkan program peremajaan armada mereka untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Jakarta. Angkutan yang akan diluncurkan tanggal 3 Agustus 2011 ini adalah bus Kopaja yang dilengkapi dengan AC dan tempat duduk yang nyaman. Selain itu, untuk keluar masuk bus, para penumpang juga akan diatur dengan three pot barrier yang biasa kita lihat di selter busway. Selain lebih disiplin, alat ini juga untuk membatas jumlah penumpang maksimal dalam bus. Intinya, inilah berita segar nan sejuk yang pantas kita syukuri ditengah semakin riuhnya jalanan ibukota Jakarta. 

Keberadaan KOPAJA rasa Busway ini tentu saja menjadi alternaif angkutan kota yang mumpuni dalam menjawab kebutuhan transportasi publik yang nyaman dan aman. Selain itu, bus ini nantinya dapat menjadi alternative bagi para penumpang kendaran pribadi untuk beralih ke kendaraan umum. Kita tentu miris melihat semakin padatnya kendaraan yang lalu lalang di Jakarta. Apalagi minat masyarakat Indonesia untuk memiliki mobil pribadi juga tidak kunjung padam. Lihat saja data yang dirilis oleh para produsen mobil dalam acara Jakarta International Motor Show yang baru saja berakhir. Selain meningkatnya transaksi penjualan mobil dari masing-masing agen ATPM, kenaikan penjualan ini tentu saja akan semakin menggerus kapastitas jalan yang ada di Jakarta. Nah, dengan adanya transportasi bus KOPAJA rasa busway ini, diharapkan akan mengurangi minat masyarakat untuk memiliki mobil.

Untuk sementara, masyarakat yang akan menikmati KOPAJA AC ini adalah mereka yang biasa menempuh rute Ragunan-Slipi. Jumlah armada KOPAJA AC dengan Nomor S13 ini sementara waktu juga belum banyak, yaitu 20 bus dengan kapasitas 35 penumpang. Untuk mereka yang akan tetap berdiri di dalam bus juga masih mendapatkan kenyamanan karena dibatasi maksimal hanya 10 orang  yang diijinkan untuk berdiri. Dari sisi ongkos harga, masyarakat juga tidak perlu khawatir karena harganya sama dengan bus KOPAJA lainnya yaitu Rp 2000. Namun demikian, harga ini tentunya akan dikaji setelah percobaan operasionalisasi ini selesai dilakukan. 

Menurut Koperasi Angkutan Jakarta, untuk ke depan armada KOPAJA AC ini akan ditambah dari sisi kuantitas bus. Kita juga berharap, rute yang akan dilayani juga akan ditambah. Jadi, bagi para KOPAJA Mania tunggu saja Bus KOPAJA AC ini mengantarkan kalian ke tempat tujuan. Langkah peremajaan transportasi ini patut kita acungi jempol. Kita juga berharap, gebrakan kebijakan seperti ini juga diikuti oleh operator lain seperti METRO MINI dan bus lainnya.  

Dari sisi manajemen operasionalisasi KOPAJA AC ini juga berbeda dengan yang lama. Dari sisi perawatan mesin, pihak koperasi telah menyediakan bengkel, baik sarana maupun montirnya. Pada supir yang akan mengemudikan KOPAJA AC ini juga tidak lagi memakai sistem setoran karena mereka akan mendapatkan gaji bulanan sebagaimana diterapkan untuk sopir bus Transjakarta. Hal ini tentunya juga meminimalisir aksi ugal-ugalan para pengendara KOPAJA selama ini. Semoga saja keberadaan KOPAJA AC ini akan membawa pesan positif tersendiri bagi masyarakat Jakarta. Selain mendapatkan keamanan dan kenyamanan, para penumpang untuk sementara waktu juga tidak perlu takut ongkosnya terkuras. Selamat datang KOPAJA rasa Busway.

sumber foto: http://www.tribunnews.com

Senin, 11 Juli 2011

Sejuta Makna Sang Presiden

Akhir-akhir ini, mungkin sebagian dari kita sudah jengah melihat tingkah polah kepemimpinan elit politik negeri ini, tidak terkecuali Presiden Yudhoyono. Selain dinilai sangat lambat dalam mengambil kebijakan, aspek pencitraan yang begitu kuat dalam setiap kebijakan yang diambil sang Presiden boleh jadi membuat kita semakin gelisah memikirkan masa depan bangsa ini. Lihat saja bagaimana cara Presiden Yudhoyono menangani kasus penanganan TKI yang beritanya marak sebulan terakhir ini. Tamparan yang begitu keras di pipi sang Presiden alih-alih dengan lantang Ia menyuarakan hak-hak tenaga kerja asing di hadapan siding ILO PBB, seminggu berikutnya ada TKI kita yang dipancung di Arab Saudi. Ironis dan miris! Lalu sampai kapan kita bersabar? 

Sejatinya, Presiden ditakdirkan menjadi pemimpin. Ia harus mampu mendikte setiap situasi dalam negeri dengan legitimasi yang dimilikinya. Namun, lihat yang terjadi dengan Presiden kita. Hanya dengan pesan BBM dan SMS dari tempat antah barantah, seorang Nazaruddin yang notabene hanya Kader Muda Partai Demokrat mampu menjungkalkan wibawa, sekaligus mendikte Yudhoyono. Konferensi Pers yang dilakukan Ketua Pembina Partai Demokrat tadi malam (11/7/2011) menjadi bukti kegundahan hati sang Presiden mengenai situasi yang kian pelik. Sebagai Pembina, boleh dikatakan Yudhoyono gagal dalam mengeliminasi konflik internal di tubuh Partai Demokrat. Faksi yang ada dalam tubuh partai berogo bintang Mercy itu pun semakin terlihat dan saling menyerang. 

Efek domino 

Dua bulan terakhir mungkin media massa, terutama televisi mengangkat issue keretakan Partai Demokrat sebagai headlines yang menarik sekaligus menjual. Selain gampang membuat judul berita dengan pesan singkat Nazaruddin, Media juga berhasil meramaikan kekisruhan antar kader Partai Demokrat dalam berbagai panggung talk show dan berita. Alhasil, dua bulan ini rakyat terus disuguhi pepesan kosong para elit partai. Belum lagi masalah kaburnya Nunun pasca ditetapkan sebagai tersangka kasus Pemilihan Dewan Gubernur BI yang ikut menyeret Miranda Goeltom semakin membuat jemu mata dan telinga kita. 

Yang tidak kalah pelik, efek domino kekisruhan para elit pemimpin kita kian melebar ketika Andi Nurpati yang notabene juga menjadi bagian dari elit Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan kasus Mafia Pemilu karena disangka memalsukan surat putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan salah satu Bakal Calon Anggota Legislatif RI Periode Tahun 2009-2014. Yang tidak kalah gawat dan penting, peringatan dini dari pernyataan Wakil Presiden Boediono agar harga komoditas pangan harus dijaga agar tidak menimbulkan efek turunan seperti inflasi, kerawanan pangan hingga yang lebih kompleks lagi mengganggu stabilitas politik nasional tentunya semakin membuat gusar akan kelangsungan bangsa kita. 

Inilah wajah Indonesia sekarang ini. Disaat negara lain sudah memikirkan bagaimana caranya mengatasi keterbatasan energi fosil dan resistensi dari semakin tingginya efek rumah kaca dunia saat ini, kita masih berkutat kepada hal prinsipil yang bias dikatakan “penting tidak penting”. Kita terlalu manja dan bangga dengan capaian kuantitatif makro. Kurs rupiah yang stabil, cadangan nasional Indonesia yang terus naik, atau barangkali persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, tidak akan nada gunanya jika dalam realitanya semua itu tidak mampu mengungkit pertumbuhan dan pemerataan kemakmuran.

Presiden Yudhoyono boleh dikatakan kini tidak fokus mengurus negara. Serangan yang bertubi-tubi kepada partai binaannya (Partai Demokrat) semakin membuatnya lelah dan “sensi”. Begitu sensinya sang Presiden sehingga media pun dijadikan kambing hitam dalam kasus Nazaruddin. Dengarlah apa yang disampaikan kepada rakyat dalam konferensi pers mengenai kasus Nazaruddin! Kita tidak melihat pesan yang substantif dari sang Presiden. Aspek korupsi, pelanggaran etika, pelanggaran kode etik sebagai anggota legislatif yang tidak masuk ke kantor, sampai banyaknya kader Partai Demokrat yang ditengarai ikut menerima uang “bancakan” proyek Wisma Atlit SEA GAMES di Palembang, justru tidak disinggung. Rakyat tidak peduli dengan issue ada pendongkelan Ketua Pembina yang digalang oleh Anas Urbaningrum cs. Rakyat juga tidak peduli ketika pesan BBM dan SMS Nazaruddin dijadikan komoditas berita oleh media massa. Pun jikalau sang Presiden lengser pun pasti diaminin oleh rakyat jika langkah itu membawa perubahan yang lebih baik.

Jadilah seperti Obama

Pak Presiden kita tampaknya memang letih. Selain sering curhat kepada rakyatnya akan keletihannya, raut mata dan gestur tubuh yang formal ikut memperkuat persepsi publik akan hal itu. Coba sekali-sekali Pak Presiden melihat gaya berinteraksi Obama dengan orang lain. Dengan sangat lugas dia menyapa dan menepuk pundak kolega atau bawahannya dengan sangat humanis. Tidak ada kesan jaim, formal, atau protokoler karena apa yang dia lakukan semata-mata karena manusia sejatinya memang demikian. Tanpa ada pura-pura dan citra. Lihat juga gaya berpakaian Obama. Tanpa canggung dan tidak menimbulkan kesan menjaga citra, Obama menggulung kemeja lengannya ketika berkunjung ke negara bagian yang terkena banjir. Kita memerlukan Presiden yang bukan hanya tampak sederhana, tapi memang apa adanya, tidak dibuat-buat dalam berlaku dan bertutur, dan tentu saja jujur!

Kita merindukan juga Presiden yang tidak “jaim”. Tengok saja Bung Karno! Dengan gaya nyeleneh, dia dapat memimpin rapat atau sekedar memberikan instruksi kepada bawahannya dengan memakai piyama (baju tidur). Tidak perlu rapat berjam-jam dengan para menterinya untuk membicarakan hal yang sebenarnya bisa dikomunikasikan lewat telepon atau memanggil saja langsung menterinya. Apa yang kita saksikan melihat Presiden kita saat ini selalu dilingkupi formalitas. Baik itu rapat kerja, rapat partai, konferensi pers, bahkan seremonial kenegaraan lainnya. 

Kita merindukan Presiden Yudhoyono dalam kesempatan tertentu dapat pula bercanda dengan rakyat dan bawahannya, termasuk membicarakan hal yang jorok (Sek atau kiasan yang menjurus ke arah itu) seperti apa yang dilakukan Bung Karno. Senyum yang lepas yang diperlukan rakyat dari Presidennya. Bukan senyum simpul yang justru menimbulkan kesan dan pertanyaan baru bagi mereka yang melihatnya.

Rangkap Jabatan dan Bunker Koruptor

Keletihan amat sangat yang dialami Presiden Yudhoyono barangkali tidak lepas dari sistem pengelolaan kepartaian di Indonesia. Selama ini, banyak para pemimpin elit yang berkuasa menjadi pemimpin partai atau embel-embel sebagai Pembina partai seperti yang dilakukan oleh Presiden Yudhoyono. Lihat pula peran Pak Hatta Rajasa sebagai ketua Partai Amanat Nasional. Lihat Pula peran Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar yang merangkap sebagai Menteri Agama dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sekaligus sebagai Ketua Partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Para Pembina dan ketua partai ini notabene tergabung dalam koalisi besar dan menamakan elit penguasa. 

Koalisi besar ini menjadi tameng dan kadangkala menjadi bunker bagi para koruptor dan pencari rente (rent seeker). Dengan bergabung menjadi Partai sekaligus menjadi elit penguasa, mereka akan leluasa mengintervensi dan melakukan bargaining power antar elit sesuai dengan kapasitas dan strategisnya jabatan yang dipegang oleh elit partai. Contohnya banyak sekali. Kasus Nazaruddin, Kasus Lumpur Lapindo, Kasus Penyelundupan Blackberry dua kontainer yang diindikasikan dilakukan oleh para wakil rakyat DPR RI, Kasus Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Kasus Gayus Tambunan, sampai kasus-kasus tingkat lokal yang melibatkan elit daerah. Jika sudah begini apa yang dapat kita harapkan dari negara ini? Atau kita menginginkan keosnya negara kita untuk kembali menemukan pemimpin yang kita nilai adil dan jauh dari kerakusan kekuasaan dan kepentingan kelompok? Lalu jika itu yang harus kembali kita ambil, berapa lagi ongkos yang harus kita tebus? Dan apakah demokrasi itu masih relevan dengan konteks permasalahan bangsa kita dewasa ini? Coba anda camkan dan renungkan!

sumber foto: http://www.gerejani.com

Sabtu, 02 Juli 2011

Simalakama Commuter Line

Hari masih pagi ketika laju kereta bernama Commuter Line untuk pertama kali berhenti  di stasiun Bojong Gede. Sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok dari fisik kereta yang dalam dua bulan terakhir ramai diperbicangan oleh para KRL Mania dan blow up di media massa. Dalam benak saya, armada kereta yang dipakai oleh PT KAI untuk mendukung single operation yang dimulai pada tanggal 2 Juli 2011 sama dengan armada kereta hari-hari yang lalu. 
Selepas kereta Commuter Line beranjak pergi meninggalkan stasiun Bojong Gede, pemandangan yang saya dapati pagi ini juga sama dengan pagi-pagi yang lalu. Penumpang masih berjubel alias penuh sesak! Bahkan terlihat lebih bingung dan sibuk melihat jam dinding stasiun dan jadwal baru yang dipasang di papan informasi. Yang lebih miris lagi, kereta berpendingin AC bernama Commuter Line itu pun harus rela ditelanjangi para penumpang karena pintu otomatis yang ada disetiap gerbongnya “di ganjal” oleh ulah penumpang yang tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi ketika kereta masih berhenti di stasiun. Setelah beranjak berangkat, pintu yang tidak dapat tertutup hampir terlihat disetiap gerbong kereta. Alasan para penumpang “jail” ini klasik, selain untuk mengurangi desak-desakan di dalam gerbong, tidak berfungsinya AC dengan maksimal membuat gerbong terasa panas dan pengap. Untuk mensiasatinya, para penumpang mengganjal pintu agar angin dapat masuk ke dalam gerbong. Jendela di sisi kiri dan kanan gerbong kereta pun tidak luput dari incaran para penumpang. Semua dibuka dengan harapan angin dapat masuk sebanyak mungkin! Kereta yang dibanderol dengan harga karcis Rp 7000 itu pun tak ubahnya seperti ekonomi biasa.
Singkat cerita, pemandangan hari-hari sebelum kereta Commuter Line menggantikan kereta ekonomi AC, masih saja terlihat pasca diterapkannya single operation yang baru ini. Lalu, apakah ini bentuk kegagalan dari persiapan dan pengambilan kebijakan yang prematur, asal-asalan dan reaktif? Entahlah, bisa ya…bisa tidak. Banyak orang memiliki persepsi yang berbeda. Tapi buat saya, sistem baru ini adalah bentuk kebijakan yang pragmatis, dilakukan asal-asalan, tidak dipersiapkan dengan matang, bahkan hanya menambah masalah baru dari sekian masalah yang sudah menumpuk, bahkan akut! Langkah dan niat baik yang coba dilakukan oleh PT KAI untuk saya pribadi terasa kurang maksimal karena tingkat kenyamanan dan keamanan yang seharusnya menjadi outcome dari kebijakan baru ini, justru tidak dapat dinikmati oleh para pengguna kereta. Keterlambatan kereta, tidak berfungsinya AC dalam gerbong, penumpukan penumpang disetiap stasiun, sampai jarak tempuh yang tidak dapat diprediksi karena faktor-faktor teknis dan non teknis justru menjadi masalah utama penghambat efektifitas sistem baru ini. Inilah anomali kebijakan transportasi perkeretaapian Indonesia. Sangat reaktif, pragmatis, asal-asalan, dan “semau dewe”! Niatnya mungkin baik, tapi cara berpikir dan implementasinya tidak sejalan dengan niat baik yang ingin dicapai. Alhasil, lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban.
Antara Setuju dan Tidak Setuju
Di sepanjang sudut stasiun, para calon penumpang sibuk memperbincangkan pergantian sistem baru ini. Ada yang menyambut sistem baru ini dengan senang karena mereka memiliki pilihan kereta Commuter Line atau  kereta Ekonomi AC dengan  frekuensi  yang lebih banyak. Selain itu, bagi pihak yang pro, mereka juga dapat berhenti di setiap stasiun. Hal yang mana tidak mereka dapatkan ketika  keretaPakuan Ekspres masih diberlakukan.
Bagi mereka  yang menolak, sebagian besar adalah kalangan pengguna kereta pakuan ekspres. Mereka merasa dengan adanya sistem baru ini, praktis semua jadwal kereta pakuan ekspres dihapuskan dan digantikan kereta Commuter Line. Selain jarak tempuh kereta Commuter Line lebih lama daripada kereta Pakuan Ekspres, factor kenyamanan juga menjadi alasan penolakan. Memang, pemberlakuan sistem baru ini membuat setiap kereta, baik Commuter Line maupun ekonomi dipadati penumpang. Ini sebagai konsekuensi berhentinya kereta disepanjang stasiun yang dilewati.
Jika jarak yang ditempuh dari stasiun Bogor ke stasiun Manggarai biasa ditempuh setengah jam dengan menggunakan Pakuan Ekspres, pasca sistem single operation yang baru ini para penumpang harus menempuh waktu satu sampai satu setengah jam. Hal ini yang dikeluhkan para calon penumpang kereta yang membutuhkan mobilitas dan kecepatan waktu. Singkat cerita, tawaran sistem baru yang disodorkan PT KAI tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan permintaan bagi masyarakat yang kontra. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan jika harga tiket Pakuan Ekspres dinaikkan asalkan tidak dihapuskan. Hal ini menjadi indikasikan bahwa jarak tempuh yang lebih cepat disamping juga tingkat kenyamanan menjadi prioritas para calon penumpang walaupun itu harus dibayar dengan harga yang lebih mahal.
Kereta yang saya tunggu akhirnya datang juga. Tidak sampai setengah menit, ruangan disetiap gerbong kereta ekonomi ini sudah penuh sesak. Panas dan sempit sudah dirasakan para penumpang. Setelah kereta berhenti di stasiun terdekat, gerbong bertambah kian sempit karena penumpang yang naik semakin banyak. Di sudut pintu salah satu gerbong kereta api ekonomi yang saya naiki, sekolompok penumpang yang bergerombol berkelakar mengenai diberlakukannya sistem single operation yang baru saja diberlakukan. Sebagian besar mereka sepakat sistem baru ini memberatkan mereka. Selain menggerus kuantitas dan jadwal keberangkatan kereta ekonomi, harga baru untuk karcis kereta Commuter Line sebesar Rp 7.000 dirasakan lebih mahal dibandingkan dengan kereta ekonomi AC sebesar Rp 5.500. Kalkulasi salah satu penumpang tiba pada satu kesimpulan ongkos yang ia keluarkan dari kantongnya akan semakin bertambah. Bankan tombok! Selain lebih mahal, gerombolan penumpang ini  juga merasakan harga yang harus mereka tanggung tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh operator. Selain masih sering terlambat dan tidak taat jadwal, operasionalisasi perkeretaapian selama ini masih dirasakan belum memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna. Belum lagi seringnya kereta yang mogok di tengah jalan.
Keberpihakan Setengah Hati
Apapun bentuk kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang transportasi public di negeri ini sepertinya belum memberikan hasil yang maksimal. Tengok saja karut marut ide Busway di DKI Jakarta. Walau dirasakan ada manfaat yang diberikan, permasalahan yang ditimbulkan juga tidak sedikit, bahkan memiliki multiplier effect permasalahan yang signifikan. Mulai dari pencaplokan setengah badan jalan, jalur hijau dan pedestrian untuk pejalan kaki, masalah kecukupan bahan bakar gas yang sudah mulai dipakai beberapa armada Busway juga masih ada masalah dari sisi kecukupan supplay. Selain gagal mengurai kemacetan di Ibukota, Busway juga tidak mampu melokalisir pengguna mobil pribadi untuk beralih ke moda transportasi umum seperti Busway. Selain tidak mampu menyediakan kenyamanan dan keamanan yang minta oleh para pengguna mobil pribadi, efektifitas Busway justru masih kalah jauh dengan kereta api (KRL) Jabodetabek.
Berkaca kepada pengoperasian single operation baru untuk penglolaan KRL Jabodetabek tampaknya akan sama dengan kebijakan pendahulunya. Selain  memang tidak didesain dan disosialisasikan dengan maksimal oleh PT KAI. Keberanian PT KAI sebagai operator memberlakukan sistem single operation dengan masa uji coba hanya dua hari sangat dipertanyakan banyak pihak. Alhasil, banyak jadwal kereta kacau balau saat sistem baru resmi diberlakukan pada tanggal 02 Juli 2011. Selain itu, minimnya informasi disetiap stasiun membuat para penumpang banyak yang tidak memperoleh informasi yang komprehensif mengenai jadwal kereta, ketepatan jam pemberangkatan, sampai kepastian kereta berhenti di stasiun tempat calon penumpang menunggu. Selebaran dan bentuk informasi sosialisasi sistem baru melalui pamflet, poster, dan bentuk sosialiasi lainnya dirasakan oleh sebagian masyarakat masih kurang. Belum lagi keterbatasan jumlah pegawai operator yang berada di lapangan. Minimnya informasi dari petugas stasiun  sepanjang jalur kereta Jakarta-Bogor ikut menambah karut marut operasionalisasi pelayanan kepada para calon penumpang.
Jika sudah begini, apakah PT KAI akan tetap ngotot memberlakukan single operation ini? Atau mereka akan terus berdalih ini hanya sementara waktu karena pihak managemen operator sedang merumuskan dan beradabtasi dengan sistem baru ini? Apapun itu, kebijakan publik yang bijak dan memperhatikan kepentingan bersama adalah tuntutan yang wajar dan mutlah harus dipenuhi. PT KAI tidak dapat memberikan jaminan dengan berhentinya kereta disetiap stasiun akan meningkatkan pelayanan dan kenyamanan. Sistem single operation baru ini bukan tanpa masalah. Padatnya traffic lalu lintas kereta diperlintasan kereta menyebabkan kemacetan yang panjang bagi para pengguna jalan raya. Hal ini karena jarak satu kereta dengan kereta yang lain berdekatan. Tidak ada jeda waktu yang cukup untuk mengurai simpul kemacetan dan antrean disetiap perlintasan pintu kereta. Jika ini tidak dipikirkan, bukan tidak mungkin efek dominonya akan kian besar.
Di sisi yang lain, kabar kurang sedap juga berhembus dikalangan masyarakat pengguna kereta. Kabarnya, diberlakukannya sistem single operation ini akan mempercepat masa depresiasi pakai kereta. Hal ini disebabkan akan semakin banyaknya kereta yang rusak akibat intensitas jadwal dan perilaku pengguna kereta yang tidak bersahabat. Dengan cepatnya depresiasi armada kereta KRL otomatis menambah kuota pengadaan kereta. Selama ini Indonesia menjadi surga bangkai kereta dari Jepang dan Korea. Bahkan, dua Negara ini harus membayar sampah keretanya ke Indonesia. Negara kita sebenarnya memiliki dua keuntungan dari hal ini, selain mendapatkan kompensasi dari masuknya kereta-kereta yang sudah tidak layak pakai di Jepang dan Korea, sampah kereta yang kita import masih dapat kita manfaatkan sebagai armada kereta.
Nah, ada indikasi sistem baru ini akan mempercepat kerusakan armada kereta yang digunakan oleh PT KAI untuk melayani jalur KRL Jabodetabek. Dengan melihat situasi dan kondisi yang ada sekarang ini, saya tidak heran jika masa pakai kereta yang digunakan untuk jadwal kereta Commuter Line akan jauh lebih cepat rusaknya dibandingkan saat digunakan untuk Pakuan Ekspress. Selain mengangkut penumpang lebih banyak, single operation ini juga membutuhkan armada kereta import dari Jepang dan Korea untuk mengkonversi atau mengurani kereta ekonomi biasa. Permintaan armada kereta pun akan bertambah dari sisi kuantitas. Dengan banyaknya impor kereta yang masuk, kompensasi yang diterima PT KAI juga akan semakin besar. Saat ini, rasio antara kereta Commuter Line dengan kereta Ekonomi Biasa  4 berbanding satu. Ke depan, kereta ekonomi biasa akan dihapuskan dan diganti semuanya dengan kereta Commuter Line.
Apapun itu, kita semua berharap tujuan yang tidak terpuji dari pihak-pihak yanhg tidak bertanggung jawab tidak terjadi ketika diimplementasi sistem baru ini berjalan. Kita hanya berharap niat baik yang dilakukan oleh PT KAI akan sama baiknya dengan kenyataan di lapangan. Sudah saatnya konversi fokus kebijakan dilakukan untuk moda transporatasi kereta api. Selain lebih bersahabat dengan lingkungan dan tidak menimbulkan polusi udara, dari sisi efektifitas kecepatan mengangkut penumpang komuter sangat efektif. Sudah saatnya pemerintah membangun moda transportasi massal yang efisien dan murah. Kereta api (KRL) adalah salah satu solusi dalam mengurai simpul kemacetan di Jakarta. Saya pribadi adalah pengguna kereta dan sangat bergantung dengan kereta. Saya, dan termasuk pengguna kereta KRL lain hanya berharap sistem pelayanan kereta Jabodetabek semakin baik sehingga rasa aman dan nyaman semakin dapat dirasakan oleh masyarakat.  Moda transportasi ini saat ini menjadi pilihan utama masyarakat komuter sekiratr Jakarta terutama dari sisi waktu. Langkah kebijakan baru dari PT KAI seperti penyediaan gerbong khusus wanita disetiap rangkaian kereta menjadi langkah positif untuk memberikan kenyamanan bagi penumpang perempuan. Namun, kenyamanan ini juga harus diterapkan secara adil. Selama ini rangkaian khusus wanita "agak" berlaku efektif untuk rangkaian Commuter Line tapi tidakk untuk ekonomi biasa. Ketimpangan dan perlakuan yang berbeda inilah yang tidak kita harapkan karena bagaimanapun, keadilan pelayanan umum harus diperlakukan sama  bagi penerima layanan. Semoga sistem single operation baru ini akan mendatangkan manfaat yang baik bagi kita semua tanpa meimbulkan kontroversi dan permasalahan lanjutan. Selamat berdesak-desakan di atas deru kereta.
Sumber foto: www.vivanews.com

Kamis, 23 Juni 2011

Menyemai Jamur CPNS di Musim Kemarau

Prosesi kelulusan sekolah dan perguruan tinggi mulai ramai ketika bulan Juni tiba. Hiruk pikuk proses wisuda dan kegiatan sejenisnya mulai terlihat di sepanjang jalan. Corat coret baju sekolah sampai kegiatan perpisahan sekolah yang ramai dilakukan oleh pranata pendidikan menandakan fase pengajaran tahun 2010-2011 telah selesai. Kini, fase itu akan dilanjutkan kepada jenjang yang lebih tinggi. Ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi, ada yang sekedar menambah kompetensi dengan mengikuti kursus keahlian sebelum mencari pekerjaan, atau ada juga yang nekat mencari pekerjaan dengan bekal seadanya. Semuanya mencoba merajut asa dengan selembar ijasah dan nilai akademik. Semua berharap akan baik-baik saja. Semua ingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Tapi, tunggu dulu! Semua mimpi indah itu akan menjadi mimpi buruk jika persiapan dan keberuntungan tidak sesuai dengan harapan kita. 

Lalu bagaimana dengan para sarjana baru yang telah siap menempuh perjalanan baru? Dengan banyaknya para sarjana yang ada di Indonesia, ketimpangan jurang pencari kerja dengan lapangan kerja terus melebar. Disparitas ini yang dari dulu sampai dengan sekarang menjadi masalah sosial yang pelik, bahkan akut. Para pencari kerja dari tahun ke tahun semakin meningkat dan memiliki derajat persaingan yang tinggi satu dengan yang lain. Sektor manufaktur, pertambangan, serta sektor UKM selama ini menjadi penopang dalam menyerap tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sektor jasa, khususnya kebutuhan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui mekanisme seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil atau dilazim dikenal dengan  CPNS?

Ritual Seleksi CPNS

CPNS adalah fenomena sosial. peminatnya dari tahun ke tahun terus bertambah. Walau dari sisi kuantitas formasi jabatan yang disediakan tidak mengalami perubahan berarti dari tahun ke tahun, CPNS menjadi surga dan gula yang dicari banyak semut. Banyaknya peminat CPNS barangkali menjadi anomali sulitnya lapangan pekerjaan bagi para sarjana. Sarjana baru, atau yang sudah dianggap sebagai angkatan lama tidak tinggal diam untuk mengadu peruntungan dan nasib untuk menjadi PNS.

Biasanya, para the hunter CPNS yang belum memiliki pengalaman akan mempersiapkan perlengkapan amunisi mengikuti ujian CPNS dengan bekal seadanya. Selain minim pengalaman dan penguasaan medan, faktor menganggap enteng tes soal yang akan diujikan menjadi faktor utama lainnya yang berakibat kepada kegagalan. Namun, tidak demikian bagi mereka yang sudah berkali-kali gagal mengikuti seleksi CPNS. Dengan fasih, mereka yang dapat dikatakan sebagai veteran seleksi CPNS, akan mempersiapkan berkas seperti legalisir ijasah, transkip nilai, fotocopy data diri seperti KTP, Kartu Keluarga, Surat keterangan kesehatan dari instansi negeri setempat (Puskesmas), sampai berbagai perlengkapan korespondensi seperti map, kertas folio untuk menulis lamaran dsb dari jauh-jauh hari. Bahkan, ada yang sampai mengikuti kursus kilat guna mendapatkan tips dan trik menjawab soal-soal seleksi CPNS. Inilah realitanya! Dan jangan heran, para veteran ini mendasarkan semua persiapan yang mereka lakukan dengan penuh hikmat dan niat yang serius.

Setiap tahun, kegiatan pembukaan formasi PNS terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Berbagai formasi dengan klasifikasi pendidikan tertentu ditetapkan untuk menjaring para CPNS untuk mengisi jabatan yang disediakan Kementerian, Pemerintah Daerah, Lembaga Tinggi Negara, dan organisasi pemerintah lainnya. Dengan semakin banyaknya para pencari kerja terdidik di Indonesia, mengikuti Seleksi CPNS menjadi idaman yang tidak pernah padam dari tahun ke tahun. Bahkan, boleh dikatakan peminat CPNS dari tahun ke tahun semakin membludak. 

Akibatnya, tidak jarang kecurangan proses rekruetmen terjadi. Mulai dari kedekatan calon CPNS dengan Panitia rekrutmen, sampai iming-iming kelulusan CPNS dengan tebusan nominal uang tertentu. Ini Indonesia. Dan praktik rent seeking yang tidak terpuji ini menjadi sesuatu yang lumrah dan dinafikkan oleh masyarakat kita. Tidak adanya tempat mengadu sampai mekanisme control yang akuntabel untuk mengawal proses rekruetmen CPNS menjadi alasan masyarakat akan adanya KKN dalam setiap tes yang dilakukan. Memang tidak semua Kementerian atau lembaga tinggi negara berlaku praktik rent seeking. Namun, harus diakui kebanyakan proses seleksi CPNS sangat dekat dengan praktik tidak terpuji semacam itu. 

Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa orang sangat ingin menjadi CPNS? Barangkali hampir semua jawaban yang disampaikan masyarakat sepakat bahwa dengan menjadi CPNS hidupnya akan terjamin. Selain mendapatkan gaji bulanan dan berbagai tunjangan kerja lainnya, menjadi PNS juga identik dengan kenyamanan. Karir yang terus naik karena pengelolaan birokrasi Indonesia masih menganut system “Birokrasi Webberian” . Pola dimana senioritas masih kental terjadi. Pola dimana “red type” birokrasi Webber masih sangat kental. Istilah Asal Bapak Senang (ABS), Ujung Ujungnya Duit (UUD) dan akronim lainnya yang menyudutkan para aparatur birokrasi kita saat ini sudah menjadi trade mark di masyarakat. Pelayanan yang buruk, lama, pilih kasih, sampai minimnya sarana dan prasarana pelayanan publik menjadi masalah pelik yang selalu sumbang ditelinga kita. Tidak dapat dipungkiri, memang demikian adanya. Hampir sebagian besar harapan dan realita birokrasi di Indonesia masih jauh dari harapan. Reward and punishment yang coba diperbaiki oleh Pemeritah melalui “Reformasi Birokrasi” dan Remunerasi sistem penggajian nyatanya juga masih jauh panggang dari api. Yang terjadi justru kebalikannya, korupsi merajalela. Kasus Gayus, skandal proyek Menegpora untuk wisma Atlet SEA GAMES di Palembang, Sumatera Selatan, sampai tertangkapnya salah seorang hakim karena kedapatan menerima suap menjadi fenomena gunung es atas klaim pemerintah yang berhasil mereformasi birokrasi kita. 

Besar Pasak Dari Pada Tiang

Harus diakui, membanjirnya jumlah formasi CPNS yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Daerah secara langsung menyedot anggaran APBN dan APBD. Jika kita melihat data empat tahun terakhir (2007-2011) yang dirilis oleh Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara, belanja gaji pemerintah pusat dalam APBN terus merangkak naik. Pada tahun 2007, persentase beban gaji dalam APBN sebesar 17,91 persen. Pada tahun 2011, persentase tersebut naik menjadi 21,61 persen. Dari rentang empat tahun terakhir, hanya pada tahun 2008 terjadi penurunan persentase beban belanja gaji negara. Selebihnya, pada tahun 2009, 2010, dan 2011, kenaikan beban gaji terus bertambah. Jumlah beban gaji dalam APBN ini belum termasuk akumulasi pengeluaran yang dikeluarkan oleh masing-masing APBD pemerintah daerah dan kota diseluruh Indonesia. Dapat dibayangkan betapa mahalnya beban yang ditanggung negara untuk membiayai belanja gaji PNS. 

Jika dari sisi belanja gaji terus naik, setali tiga uang juga terjadi dari sisi kuantitas jumlah PNS. Pada tahun 2006, jumlah PNS sebanyak 3.725.311. Pada tahun 2010, jumlah ini bertambah menjadi 4.598.100 PNS. Data dari Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara ini memperlihatkan bagaimana mahalnya harga yang harus ditanggung oleh rakyat ketika kenaikan kuantitas PNS tidak dikelola dengan baik. 

Lebih lanjut, Menteri Keuangan menyatakan, beban belanja gaji PNS dalam APBN akan semakin besar ketika Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang mengatur tunjangan hari tua bagi PNS akan disahkan (Media Indonesia, edisi Kamis, 23 Juni 2010). Maksud dari perumusan UU tunjangan hari tua ini memang dibuat atas dasar sinkronisasi dengan program reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah. Konsekuensi dari percepatan reformasi birokrasi yaitu adanya pengelolaan reward yang lebih baik, khususnya di bidang jaminan hari tua.

Belanja Optimal, Kebutuhan Belum

Semakin beratnya beban anggaran untuk pengelolaan birokrasi di Indonesia ternyata belum berkorelasi dengan harapan yang diinginkan oleh semua pihak. Jika kita melakukan pemetaan proporsi jumlah PNS dengan jumlah demografi, Indonesia barangkali menjadi negara dengan tingkat disparitas tertinggi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat. Mendagri Gamawan Fauzi mengakui, jumlah PNS di Indonesia baru mencakup 2,4 persen penduduk. Bandingkan dengan negara di ASEAN dimana jumlah PNS rata-rata 3 persen dari jumlah penduduk. 

Disparitas inilah yang kemudian dijadikan dasar legitimasi oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membuka formasi dari tahun ke tahun. Dengan dalih masih belum idealnya jumlah PNS dengan jumlah penduduk, beban belanja negara dikesampingkan. Padahal, banyak pihak yang mengeluh, khususnya Kementerian Keuangan, yang menyatakan jika masalah ini tidak segera diatasi akan menjadi parasit beban negara yang akut. 

Lalu bagaimana mengurai karut marut persoalan pelik ini? Banyak pihak memberikan solusi ditengah kegamangan pemerintah dan masyarakat dalam mengukur keberhasilan percepatan reformasi birokrasi di Indonesia. Dari mulai me-reset sistem dan instrumen rekruetmen CPNS, perbaikan reward and punishment, sampai penghentian pembukaan formasi CPNS. Semua solusi dirasakan masuk akal dan bermuara kepada arah perbaikan citra dan sistem pengelolaan birokrasi. Namun, yang paling realistis saat ini oleh beberapa kalangan memang harus segera melakukan revitalisasi sumber daya manusia di semua ranah birokrasi. 

Salah satunya dengan cara "pensiun dini". Pemerintah memang dilema dalam menetapkan aturan main yang fair untuk mengelola jenjang kepangkatan PNS. Faktor usia, kompetensi dan skill serta pengalaman yang tidak memadai kadangkala berbenturan dengan masa kerja seorang PNS. Ini yang terjadi di dalam birokrasi kita. Tidak ada managemen yang akuntabel dan resposif untuk menyiasati kelemahan ini. Akibatnya, tidak jarang jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi dipegang oleh PNS yang tidak sesuai atau kurang kompetensinya. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem pola pengangkatan dan kenaikan jabatan yang mengedepankan prinsip “lamanya bekerja”, pengalaman dan “senioritas”. Pola ini secara langsung membunuh kesempatan bagi angkatan CPNS baru yang memiliki skill yang mumpuni untuk menjabat posisi tertentu. hasilnya, dapat kita lihat bagaimana perbaikan dan tambal sulan yang dilakukan pemerintah berakhir kurang maksimal. Selain karena faktor budaya, budaya permisif dan kedekatan satu sama lain mengkooptasi simpul perubahan yang coba diterapkan. Jika demikian, masyarakat tampaknya harus bersabar kembali untuk mendapatkan pelayanan yang murah, cepat, tepat, dan aman. 

Jamur CPNS dari tahun ke tahun tampaknya akan tetap tumbuh walau musim kemarau mulai tiba. Ada harapan, kepastian, kenyamanan, masa depan, sampai jaminan hari tua yang lebih baik bagi mereka yang mengejar mimpi menjadi PNS. Menjadi aparatur negara di era sekarang memang sebuah simbol sosial yang memiliki posisi tawar di tengah masyarakat. Profesi PNS saat ini juga telah bertransformasi dari profesi dengan gaji pas-pasan menjadi profesi yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, walau mengorbankan negara untuk menanggung mahalnya biaya anggaran PNS. Kita berharap, jamur-jamur yang telah tersemai ini tetap akan membawa manfaat yang tinggi dari sisi value dan tanggung jawab moral kepada rakyat. Karena PNS di gaji dengan menggunakan uang rakyat, bertanggung jawab kepada rakyat, dan untuk melayani rakyat.

Senin, 20 Juni 2011

Dunia Pendidikan Indonesia Di Mata Khalayak

Bulan Juni sudah memasuki minggu ketiga. Tidak terasa waktu terus beranjak pergi meninggalkan berbagai cerita dan berita. Bulan Juni identik dengan hingar bingar kelulusan anak-anak sekolah. Dari mulai SD sampai dengan SMU, bulan Juni menjadi awal baru bagi mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada yang berhasil naik kelas, tapi tidak sedikit pula yang tinggal kelas. Bulan Juni oleh beberapa siswa juga menjadi bulan yang sangat sibuk untuk mencari sekolah atau kampus baru. Bulan dimana keberhasilan dan kegagalan dipertaruhkan dalam sebuah ajang yang dinamakan Ujian Nasional.
Ada yang menarik dari berbagai pemberitaan media massa selama Bulan Juni ini. Selain kasus rebut-ribut soal Nazaruddin dengan Partai Demokrat, atau Nunun yang masih dicari-cari oleh KPK dan Interpol Internasional karena kasus cek pelawat pemilihan Calon Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia, hal lain yang lebih esensial justru luput dari pembahasan masyarakat dan pemangku kebijakan. Ya, kasus menyontek massal di salah satu Sekolah Dasar di Surabaya ketika Ujian Nasional siswa SD berlangsung bulan ini menjadi  perbincangan hangat dikalangan pemerhati pendidikan. Menjadi menarik karena untuk kesekian kalinya, contek menyontek yang dilegitimasi oleh Guru sekolah masih terjadi. Target persentase kelulusan para siswa serta menjaga nama baik sekolah dan masa depan anak didik, ditengarai terpaksa dilakukan para guru untuk melegalkan praktik yang tidak terpuji ini. Di satu sisi, kasus seperti ini menjadi cermin kegagalan dunia pendidikan Indonesia, dalam mengukur standar keberhasilan para siswa. Paradigma yang mengedepankan orientasi nilai kuantitatif justru menimbulkan degradasi nilai yang menodai proses pendidikan itu sendiri.
Alhasil, para siswa selama ini dijejali dengan sistem pendidikan yang mengukur sebuah proses keberhasilan pendidikan dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tinggi. Batas minimal kelulusan pun dibatasi pada angka tertentu yang sangat menggelisahkan para siswa. Kita lupa (Pemerintah dan para pendidik), bahwa esensi sejati kebutuhan pendidikan di Indonesia saat ini adalah bagaimana memberikan dan membangun “percaya diri” yang tinggi kepada siswa serta memberikan kesadaran dalam mencapai suatu rencana dan tujuan harus dilakukan dengan suatu proses yang tidak instan serta mengedepankan prinsip kejujuran dan etika. Pendidikan harus dijadikan sebagai sarana untuk memberikan bekal kemandirian bagi para siswa untuk menjadi manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain. Sistem pendidikan kita, khususnya Ujian Nasional telah membentuk karakter siswa kita menjadi “paranoid”, “pemalas” sekaligus menanamkan kepada mereka sebagai calon “koruptor” karena dalam mencapai nilai yang ditetapkan, mereka dididik menghalalkan segala cara seperti mencontek. Lihat pula bagaimana siswa dan mahasiswa kita sejak di bangku sekolah dan kuliah telah berberilaku anarkis seperti tawuran massal dan bentuk kejahatan kriminal lainnya. Citra dunia pendidikan kita dengan narkoba, pemerasan, senioritas, dan perilaku menyimpang lainnya sudah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dan tidak mampu dihilangkan. Jika sudah demikian, masihkah kita menaruh harapan kepada dunia pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara?
Budaya Permisif Yang Salah
Kasus Alif, salah satu siswa Sekolah Dasar di Surabaya yang membeberkan kasus contek massal di sekolahnya sendiri barangkali menjadi indikasi dan cermin bobroknya dunia pendidikan kita. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, seorang Alif yang notabene menjadi murid yang seharusnya mendapat apresiasi dari buah kejujurannya, justru dikucilkan dan dianggap sebagai aib oleh teman-teman dan masyarakat disekitar rumahnya. Apa yang dilakukan oleh Alif dan orangtuanya yang membeberkan kasus ini kepada pihak berwenang dan media massa justru menjadi pesakitan dan dipandang sebagai orang yang “sok suci” oleh semua orang. Kasus pengusiran Alif dan orangtuanya dari rumahnya menjadi klimaks dan cermin budaya permisif yang salah oleh sebagian besar masyarakat kita. Budaya yang mengkompromikan nilai-nilai tidak terpuji untuk mencapai tujuan bersama saat ini terus tumbuh dan eksis di kalangan masyarakat kita. Celakanya, kondisi ini dibiarkan dan menjadi lumrah karena dipandang tidak memberi efek yang signifikan bagi murid di masa mendatang. Yang terpenting, harapan mereka sebagai orang tua adalah agar semua anak-anaknya dapat lulus Ujian Nasional. Namun, harapan luhur ini menjadi salah dan justru menjadi polemik ketika mereka (orang tua dan pendidik) menodai proses pencapaian nilai luhur yang mereka perjuangkan bersama anak-anak mereka. Di sisi lain, pendidik juga gagal dalam mentransformasikan berbagai macam nilai budi pekerti yang sarat ditemui sepanjang proses pengajaran berlangsung ke dalam realita kehidupan para siswa. Barangkali ini pula yang menyebabkan generasi muda Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam tampuk kepemimpinan (elit politik dan kebijakan) selalu berbeda antara ucapan dan perbuatan. Gagalnya trasformasi nilai-nilai etika sebagai landasan dalam berbuat tidak tercermin dalam realitas yang sesungguhnya.
Miskin Infrastruktur, Kaya Target
Harus diakui, struktur geografis Indonesia yang sangat luas serta demografi yang besar menyebabkan ketimpangan sarana dan prasarana pendidikan kita masih jauh dari ideal. Pendidik, dalam hal ini guru dan dosen juga masih terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Akibatnya distribusi pendidik pun menjadi timpang antara pusat dan daerah. Sistem reward and punishment yang diberikan oleh pemerintah kepada para pendidik juga menjadi penyebab tidak maksimalnya sebaran kuantitas dan kualitas para pendidik kita. Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah selama ini pemerintah pusat merasa semua daerah di Indonesia sudah siap melaksanakan sistem pendidikan dengan target tinggi semacam Ujian Nasional yang serentak dilakukan diseluruh Indonesia setiap tahun.
Dengan kualitas pendidik yang tidak sama kompetensinya, sarana infrastruktur, kualitas buku pelajaran yang berbeda satu sekolah dengan sekolah yang lain, termasuk biaya per bulan yang harus dikeluarkan oleh orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya yang berbeda disetiap daerah, akan menjadi faktor determinan dominan yang menghambat para siswa dan pendidik untuk bersaing secara sehat antara satu sekolah dengan sekolah lain. Beban-beban target yang diberikan pemerintah pusat kepada semua sekolah di Indonesia, termasuk target dari kepala daerah sendiri (Gubernur, Bupati, Walikota) justru selama ini ditengarai semakin menciptakan peluang terjadinya kasus-kasus seperti Alif. Siswa-siswa di kawasan perkotaan dengan sarana dan prasarana yang baik serta memiliki pengajar dengan kualitas yang mumpuni tidak akan mampu diimbangi oleh siswa daerah yang hanya mendapatkan sarana dan prasarana serta pengajar yang terbatas. Inilah potret pembangunan dan penyelenggaran sistem pendidikan kita. Kaya akan target yang sifatnya kuantitatif, tapi tidak diimbangi dengan kesetaraan tools (sarana) yang adil bagi semua siswa.
Belajar dari Negara Lain
Menurut survei dari salah satu lembaga pemerhati pendidikan dunia pada tahun 2003, Finlandia dinilai sebagai Negara dengan sistem pendidikan yang terbaik di dunia. Siswa di Finlandia unggul dalam hal kompetensi dan minat membaca. Keunggulan lain yang dimiliki oleh Negara di kawasan Eropa Utara ini adalah beban jam pelajaran yang diberikan kepada siswa juga tidak sebanyak dengan Indonesia dan Negara lain. Pengajar di Finlandia hanya memberikan jam pelajaran selama enam jam per hari, atau tiga puluh jam per minggu. Hal ini jauh dengan beban yang harus ditanggung siswa di Indonesia. Selain itu, beban pekerjaan rumah (PR) bagi para siswa di Finlandia juga tidak sebanyak diberikan oleh pendidik di Indonesia. Lalu apa yang membuat Finlandia berhasil?
Ada dua hal yang melatarbelakangi, Pertama, kesiapan dan kesetaraan infrastruktur pendidikan mereka sudah teruji dengan baik. Terlepas dari kemampuan dana yang diberikan oleh pemerintah dan faktor demografi yang berbeda antara Indonesia dan Finlandia, factor sarana dan prasarana menjadi elemen penting keberhasilan pendidikan di Finlandia. Kedua, terkait dengan kompetensi pendidik (guru). Di sana, guru memiliki kriteria dan kualifikasi yang sangat tinggi. Tidak mudah untuk menjadi guru di Finlandia. Selain harus memiliki kompetensi di atas rata-rata, pola rekruetmen dan standar reward yang diberikan kepada guru juga mempengaruhi kualitas dan kinerja guru di Finlandia. Selain itu, koefisien perbandingan jumlah murid dan guru di Finlandia juga ideal. Artinya, satu guru di Finlandia menangani sepuluh murid. Selain lebih fokus dalam memberikan materi pendidikan kepada siswa, kedekatan antara pendidik dan siswa juga dapat tercipta.
Apa yang terjadi di Finlandia juga hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Singapura. Walaupun tidak memiliki sumber daya alam, Singapura sangat fokus kepada dunia pendidikan yang mereka kembangkan. Walaupun sistem pendidikan mereka hampir sama dengan sistem pendidikan di Indonesia, namun akses lembaga pendidikan diberikan kepada semua warga Negara, disamping juga sarana dan prasarana yang mumpuni dan mencukupi. Jika kita terlalu tinggi untuk membandingkan Indonesia dengan Finlandia dan Singapura, barangkali apa yang dilakukan oleh Kuba dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi Indonesia untuk mencontoh negeri tempat Fidel Castro ini berkuasa. Kuba yang sampai dengan saat ini masih diembargo oleh Amerika justru menjadi salah satu Negara dengan tingkat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di kawasan Amerika Tengah dan Selatan. Di bidang kesehatan, Kuba juga menjadi Negara yang diakui kualitas tamatannya. Kunci keberhasilan Kuba kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan Finlandia dan Singapura. Alhasil, pada siswa dari Kuba kini diakui memiliki kompetensi yang baik dan mampu bersaing dengan siswa Negara lain dalam lingkup global.
Apapun itu, potret keberhasilan Negara lain dalam menyelenggarakan pendidikan harusnya membuat kita iri untuk dapat seperti mereka. Modal amanat konstitusi yang mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN harusnya menjadi momentum yang baik untuk merajut mimpi itu. Penyelenggaraan good governance distribusi dan pengelolaan dana pendidikan dari pusat sampai daerah juga harus diperhatikan karena faktanya, banyak sekali dana bocor dan tidak sampai ke sasaran. Sistem peremajaan dan pola rekruetmen para pendidik kita juga harus diperhatikan, disamping juga pemberian reward and punishment yang adil. Otonomi Daerah harus menjadi alat untuk mendistribusikan para pendidik untuk mencapai tingkat koefisien yang ideal antara jumlah pendidik dan siswa. Kasus alif dan kekerasan di dalam dunia pendidikan kita adalah bukti masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Political will dan dukungan dari masyarakat untuk jujur dan mulai mengartikan penyelenggaran pendidikan tidak hanya sekedar ”berorientasi nilai kuantitatif” harus dilakukan untuk mewujudkan esensi utama manfaat pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus membentuk karakter siswa menjadi “manusia yang utuh”, mampu menghargai setiap proses sebagai bagian penting dari sebuah keberhasilan. Kejujuran dan memaknai kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda harus diresapi sebagai sebuah pedoman untuk bersama-sama membenahi dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Amin.