Kamis, 23 Juni 2011

Menyemai Jamur CPNS di Musim Kemarau

Prosesi kelulusan sekolah dan perguruan tinggi mulai ramai ketika bulan Juni tiba. Hiruk pikuk proses wisuda dan kegiatan sejenisnya mulai terlihat di sepanjang jalan. Corat coret baju sekolah sampai kegiatan perpisahan sekolah yang ramai dilakukan oleh pranata pendidikan menandakan fase pengajaran tahun 2010-2011 telah selesai. Kini, fase itu akan dilanjutkan kepada jenjang yang lebih tinggi. Ada yang melanjutkan ke perguruan tinggi, ada yang sekedar menambah kompetensi dengan mengikuti kursus keahlian sebelum mencari pekerjaan, atau ada juga yang nekat mencari pekerjaan dengan bekal seadanya. Semuanya mencoba merajut asa dengan selembar ijasah dan nilai akademik. Semua berharap akan baik-baik saja. Semua ingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Tapi, tunggu dulu! Semua mimpi indah itu akan menjadi mimpi buruk jika persiapan dan keberuntungan tidak sesuai dengan harapan kita. 

Lalu bagaimana dengan para sarjana baru yang telah siap menempuh perjalanan baru? Dengan banyaknya para sarjana yang ada di Indonesia, ketimpangan jurang pencari kerja dengan lapangan kerja terus melebar. Disparitas ini yang dari dulu sampai dengan sekarang menjadi masalah sosial yang pelik, bahkan akut. Para pencari kerja dari tahun ke tahun semakin meningkat dan memiliki derajat persaingan yang tinggi satu dengan yang lain. Sektor manufaktur, pertambangan, serta sektor UKM selama ini menjadi penopang dalam menyerap tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sektor jasa, khususnya kebutuhan aparatur pemerintah yang dilakukan melalui mekanisme seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil atau dilazim dikenal dengan  CPNS?

Ritual Seleksi CPNS

CPNS adalah fenomena sosial. peminatnya dari tahun ke tahun terus bertambah. Walau dari sisi kuantitas formasi jabatan yang disediakan tidak mengalami perubahan berarti dari tahun ke tahun, CPNS menjadi surga dan gula yang dicari banyak semut. Banyaknya peminat CPNS barangkali menjadi anomali sulitnya lapangan pekerjaan bagi para sarjana. Sarjana baru, atau yang sudah dianggap sebagai angkatan lama tidak tinggal diam untuk mengadu peruntungan dan nasib untuk menjadi PNS.

Biasanya, para the hunter CPNS yang belum memiliki pengalaman akan mempersiapkan perlengkapan amunisi mengikuti ujian CPNS dengan bekal seadanya. Selain minim pengalaman dan penguasaan medan, faktor menganggap enteng tes soal yang akan diujikan menjadi faktor utama lainnya yang berakibat kepada kegagalan. Namun, tidak demikian bagi mereka yang sudah berkali-kali gagal mengikuti seleksi CPNS. Dengan fasih, mereka yang dapat dikatakan sebagai veteran seleksi CPNS, akan mempersiapkan berkas seperti legalisir ijasah, transkip nilai, fotocopy data diri seperti KTP, Kartu Keluarga, Surat keterangan kesehatan dari instansi negeri setempat (Puskesmas), sampai berbagai perlengkapan korespondensi seperti map, kertas folio untuk menulis lamaran dsb dari jauh-jauh hari. Bahkan, ada yang sampai mengikuti kursus kilat guna mendapatkan tips dan trik menjawab soal-soal seleksi CPNS. Inilah realitanya! Dan jangan heran, para veteran ini mendasarkan semua persiapan yang mereka lakukan dengan penuh hikmat dan niat yang serius.

Setiap tahun, kegiatan pembukaan formasi PNS terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Berbagai formasi dengan klasifikasi pendidikan tertentu ditetapkan untuk menjaring para CPNS untuk mengisi jabatan yang disediakan Kementerian, Pemerintah Daerah, Lembaga Tinggi Negara, dan organisasi pemerintah lainnya. Dengan semakin banyaknya para pencari kerja terdidik di Indonesia, mengikuti Seleksi CPNS menjadi idaman yang tidak pernah padam dari tahun ke tahun. Bahkan, boleh dikatakan peminat CPNS dari tahun ke tahun semakin membludak. 

Akibatnya, tidak jarang kecurangan proses rekruetmen terjadi. Mulai dari kedekatan calon CPNS dengan Panitia rekrutmen, sampai iming-iming kelulusan CPNS dengan tebusan nominal uang tertentu. Ini Indonesia. Dan praktik rent seeking yang tidak terpuji ini menjadi sesuatu yang lumrah dan dinafikkan oleh masyarakat kita. Tidak adanya tempat mengadu sampai mekanisme control yang akuntabel untuk mengawal proses rekruetmen CPNS menjadi alasan masyarakat akan adanya KKN dalam setiap tes yang dilakukan. Memang tidak semua Kementerian atau lembaga tinggi negara berlaku praktik rent seeking. Namun, harus diakui kebanyakan proses seleksi CPNS sangat dekat dengan praktik tidak terpuji semacam itu. 

Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa orang sangat ingin menjadi CPNS? Barangkali hampir semua jawaban yang disampaikan masyarakat sepakat bahwa dengan menjadi CPNS hidupnya akan terjamin. Selain mendapatkan gaji bulanan dan berbagai tunjangan kerja lainnya, menjadi PNS juga identik dengan kenyamanan. Karir yang terus naik karena pengelolaan birokrasi Indonesia masih menganut system “Birokrasi Webberian” . Pola dimana senioritas masih kental terjadi. Pola dimana “red type” birokrasi Webber masih sangat kental. Istilah Asal Bapak Senang (ABS), Ujung Ujungnya Duit (UUD) dan akronim lainnya yang menyudutkan para aparatur birokrasi kita saat ini sudah menjadi trade mark di masyarakat. Pelayanan yang buruk, lama, pilih kasih, sampai minimnya sarana dan prasarana pelayanan publik menjadi masalah pelik yang selalu sumbang ditelinga kita. Tidak dapat dipungkiri, memang demikian adanya. Hampir sebagian besar harapan dan realita birokrasi di Indonesia masih jauh dari harapan. Reward and punishment yang coba diperbaiki oleh Pemeritah melalui “Reformasi Birokrasi” dan Remunerasi sistem penggajian nyatanya juga masih jauh panggang dari api. Yang terjadi justru kebalikannya, korupsi merajalela. Kasus Gayus, skandal proyek Menegpora untuk wisma Atlet SEA GAMES di Palembang, Sumatera Selatan, sampai tertangkapnya salah seorang hakim karena kedapatan menerima suap menjadi fenomena gunung es atas klaim pemerintah yang berhasil mereformasi birokrasi kita. 

Besar Pasak Dari Pada Tiang

Harus diakui, membanjirnya jumlah formasi CPNS yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Daerah secara langsung menyedot anggaran APBN dan APBD. Jika kita melihat data empat tahun terakhir (2007-2011) yang dirilis oleh Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara, belanja gaji pemerintah pusat dalam APBN terus merangkak naik. Pada tahun 2007, persentase beban gaji dalam APBN sebesar 17,91 persen. Pada tahun 2011, persentase tersebut naik menjadi 21,61 persen. Dari rentang empat tahun terakhir, hanya pada tahun 2008 terjadi penurunan persentase beban belanja gaji negara. Selebihnya, pada tahun 2009, 2010, dan 2011, kenaikan beban gaji terus bertambah. Jumlah beban gaji dalam APBN ini belum termasuk akumulasi pengeluaran yang dikeluarkan oleh masing-masing APBD pemerintah daerah dan kota diseluruh Indonesia. Dapat dibayangkan betapa mahalnya beban yang ditanggung negara untuk membiayai belanja gaji PNS. 

Jika dari sisi belanja gaji terus naik, setali tiga uang juga terjadi dari sisi kuantitas jumlah PNS. Pada tahun 2006, jumlah PNS sebanyak 3.725.311. Pada tahun 2010, jumlah ini bertambah menjadi 4.598.100 PNS. Data dari Dirjen Anggaran Badan Keuangan Negara ini memperlihatkan bagaimana mahalnya harga yang harus ditanggung oleh rakyat ketika kenaikan kuantitas PNS tidak dikelola dengan baik. 

Lebih lanjut, Menteri Keuangan menyatakan, beban belanja gaji PNS dalam APBN akan semakin besar ketika Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang mengatur tunjangan hari tua bagi PNS akan disahkan (Media Indonesia, edisi Kamis, 23 Juni 2010). Maksud dari perumusan UU tunjangan hari tua ini memang dibuat atas dasar sinkronisasi dengan program reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah. Konsekuensi dari percepatan reformasi birokrasi yaitu adanya pengelolaan reward yang lebih baik, khususnya di bidang jaminan hari tua.

Belanja Optimal, Kebutuhan Belum

Semakin beratnya beban anggaran untuk pengelolaan birokrasi di Indonesia ternyata belum berkorelasi dengan harapan yang diinginkan oleh semua pihak. Jika kita melakukan pemetaan proporsi jumlah PNS dengan jumlah demografi, Indonesia barangkali menjadi negara dengan tingkat disparitas tertinggi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat. Mendagri Gamawan Fauzi mengakui, jumlah PNS di Indonesia baru mencakup 2,4 persen penduduk. Bandingkan dengan negara di ASEAN dimana jumlah PNS rata-rata 3 persen dari jumlah penduduk. 

Disparitas inilah yang kemudian dijadikan dasar legitimasi oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membuka formasi dari tahun ke tahun. Dengan dalih masih belum idealnya jumlah PNS dengan jumlah penduduk, beban belanja negara dikesampingkan. Padahal, banyak pihak yang mengeluh, khususnya Kementerian Keuangan, yang menyatakan jika masalah ini tidak segera diatasi akan menjadi parasit beban negara yang akut. 

Lalu bagaimana mengurai karut marut persoalan pelik ini? Banyak pihak memberikan solusi ditengah kegamangan pemerintah dan masyarakat dalam mengukur keberhasilan percepatan reformasi birokrasi di Indonesia. Dari mulai me-reset sistem dan instrumen rekruetmen CPNS, perbaikan reward and punishment, sampai penghentian pembukaan formasi CPNS. Semua solusi dirasakan masuk akal dan bermuara kepada arah perbaikan citra dan sistem pengelolaan birokrasi. Namun, yang paling realistis saat ini oleh beberapa kalangan memang harus segera melakukan revitalisasi sumber daya manusia di semua ranah birokrasi. 

Salah satunya dengan cara "pensiun dini". Pemerintah memang dilema dalam menetapkan aturan main yang fair untuk mengelola jenjang kepangkatan PNS. Faktor usia, kompetensi dan skill serta pengalaman yang tidak memadai kadangkala berbenturan dengan masa kerja seorang PNS. Ini yang terjadi di dalam birokrasi kita. Tidak ada managemen yang akuntabel dan resposif untuk menyiasati kelemahan ini. Akibatnya, tidak jarang jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi dipegang oleh PNS yang tidak sesuai atau kurang kompetensinya. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem pola pengangkatan dan kenaikan jabatan yang mengedepankan prinsip “lamanya bekerja”, pengalaman dan “senioritas”. Pola ini secara langsung membunuh kesempatan bagi angkatan CPNS baru yang memiliki skill yang mumpuni untuk menjabat posisi tertentu. hasilnya, dapat kita lihat bagaimana perbaikan dan tambal sulan yang dilakukan pemerintah berakhir kurang maksimal. Selain karena faktor budaya, budaya permisif dan kedekatan satu sama lain mengkooptasi simpul perubahan yang coba diterapkan. Jika demikian, masyarakat tampaknya harus bersabar kembali untuk mendapatkan pelayanan yang murah, cepat, tepat, dan aman. 

Jamur CPNS dari tahun ke tahun tampaknya akan tetap tumbuh walau musim kemarau mulai tiba. Ada harapan, kepastian, kenyamanan, masa depan, sampai jaminan hari tua yang lebih baik bagi mereka yang mengejar mimpi menjadi PNS. Menjadi aparatur negara di era sekarang memang sebuah simbol sosial yang memiliki posisi tawar di tengah masyarakat. Profesi PNS saat ini juga telah bertransformasi dari profesi dengan gaji pas-pasan menjadi profesi yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, walau mengorbankan negara untuk menanggung mahalnya biaya anggaran PNS. Kita berharap, jamur-jamur yang telah tersemai ini tetap akan membawa manfaat yang tinggi dari sisi value dan tanggung jawab moral kepada rakyat. Karena PNS di gaji dengan menggunakan uang rakyat, bertanggung jawab kepada rakyat, dan untuk melayani rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar