Sabtu, 02 Juli 2011

Simalakama Commuter Line

Hari masih pagi ketika laju kereta bernama Commuter Line untuk pertama kali berhenti  di stasiun Bojong Gede. Sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok dari fisik kereta yang dalam dua bulan terakhir ramai diperbicangan oleh para KRL Mania dan blow up di media massa. Dalam benak saya, armada kereta yang dipakai oleh PT KAI untuk mendukung single operation yang dimulai pada tanggal 2 Juli 2011 sama dengan armada kereta hari-hari yang lalu. 
Selepas kereta Commuter Line beranjak pergi meninggalkan stasiun Bojong Gede, pemandangan yang saya dapati pagi ini juga sama dengan pagi-pagi yang lalu. Penumpang masih berjubel alias penuh sesak! Bahkan terlihat lebih bingung dan sibuk melihat jam dinding stasiun dan jadwal baru yang dipasang di papan informasi. Yang lebih miris lagi, kereta berpendingin AC bernama Commuter Line itu pun harus rela ditelanjangi para penumpang karena pintu otomatis yang ada disetiap gerbongnya “di ganjal” oleh ulah penumpang yang tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi ketika kereta masih berhenti di stasiun. Setelah beranjak berangkat, pintu yang tidak dapat tertutup hampir terlihat disetiap gerbong kereta. Alasan para penumpang “jail” ini klasik, selain untuk mengurangi desak-desakan di dalam gerbong, tidak berfungsinya AC dengan maksimal membuat gerbong terasa panas dan pengap. Untuk mensiasatinya, para penumpang mengganjal pintu agar angin dapat masuk ke dalam gerbong. Jendela di sisi kiri dan kanan gerbong kereta pun tidak luput dari incaran para penumpang. Semua dibuka dengan harapan angin dapat masuk sebanyak mungkin! Kereta yang dibanderol dengan harga karcis Rp 7000 itu pun tak ubahnya seperti ekonomi biasa.
Singkat cerita, pemandangan hari-hari sebelum kereta Commuter Line menggantikan kereta ekonomi AC, masih saja terlihat pasca diterapkannya single operation yang baru ini. Lalu, apakah ini bentuk kegagalan dari persiapan dan pengambilan kebijakan yang prematur, asal-asalan dan reaktif? Entahlah, bisa ya…bisa tidak. Banyak orang memiliki persepsi yang berbeda. Tapi buat saya, sistem baru ini adalah bentuk kebijakan yang pragmatis, dilakukan asal-asalan, tidak dipersiapkan dengan matang, bahkan hanya menambah masalah baru dari sekian masalah yang sudah menumpuk, bahkan akut! Langkah dan niat baik yang coba dilakukan oleh PT KAI untuk saya pribadi terasa kurang maksimal karena tingkat kenyamanan dan keamanan yang seharusnya menjadi outcome dari kebijakan baru ini, justru tidak dapat dinikmati oleh para pengguna kereta. Keterlambatan kereta, tidak berfungsinya AC dalam gerbong, penumpukan penumpang disetiap stasiun, sampai jarak tempuh yang tidak dapat diprediksi karena faktor-faktor teknis dan non teknis justru menjadi masalah utama penghambat efektifitas sistem baru ini. Inilah anomali kebijakan transportasi perkeretaapian Indonesia. Sangat reaktif, pragmatis, asal-asalan, dan “semau dewe”! Niatnya mungkin baik, tapi cara berpikir dan implementasinya tidak sejalan dengan niat baik yang ingin dicapai. Alhasil, lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban.
Antara Setuju dan Tidak Setuju
Di sepanjang sudut stasiun, para calon penumpang sibuk memperbincangkan pergantian sistem baru ini. Ada yang menyambut sistem baru ini dengan senang karena mereka memiliki pilihan kereta Commuter Line atau  kereta Ekonomi AC dengan  frekuensi  yang lebih banyak. Selain itu, bagi pihak yang pro, mereka juga dapat berhenti di setiap stasiun. Hal yang mana tidak mereka dapatkan ketika  keretaPakuan Ekspres masih diberlakukan.
Bagi mereka  yang menolak, sebagian besar adalah kalangan pengguna kereta pakuan ekspres. Mereka merasa dengan adanya sistem baru ini, praktis semua jadwal kereta pakuan ekspres dihapuskan dan digantikan kereta Commuter Line. Selain jarak tempuh kereta Commuter Line lebih lama daripada kereta Pakuan Ekspres, factor kenyamanan juga menjadi alasan penolakan. Memang, pemberlakuan sistem baru ini membuat setiap kereta, baik Commuter Line maupun ekonomi dipadati penumpang. Ini sebagai konsekuensi berhentinya kereta disepanjang stasiun yang dilewati.
Jika jarak yang ditempuh dari stasiun Bogor ke stasiun Manggarai biasa ditempuh setengah jam dengan menggunakan Pakuan Ekspres, pasca sistem single operation yang baru ini para penumpang harus menempuh waktu satu sampai satu setengah jam. Hal ini yang dikeluhkan para calon penumpang kereta yang membutuhkan mobilitas dan kecepatan waktu. Singkat cerita, tawaran sistem baru yang disodorkan PT KAI tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan permintaan bagi masyarakat yang kontra. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan jika harga tiket Pakuan Ekspres dinaikkan asalkan tidak dihapuskan. Hal ini menjadi indikasikan bahwa jarak tempuh yang lebih cepat disamping juga tingkat kenyamanan menjadi prioritas para calon penumpang walaupun itu harus dibayar dengan harga yang lebih mahal.
Kereta yang saya tunggu akhirnya datang juga. Tidak sampai setengah menit, ruangan disetiap gerbong kereta ekonomi ini sudah penuh sesak. Panas dan sempit sudah dirasakan para penumpang. Setelah kereta berhenti di stasiun terdekat, gerbong bertambah kian sempit karena penumpang yang naik semakin banyak. Di sudut pintu salah satu gerbong kereta api ekonomi yang saya naiki, sekolompok penumpang yang bergerombol berkelakar mengenai diberlakukannya sistem single operation yang baru saja diberlakukan. Sebagian besar mereka sepakat sistem baru ini memberatkan mereka. Selain menggerus kuantitas dan jadwal keberangkatan kereta ekonomi, harga baru untuk karcis kereta Commuter Line sebesar Rp 7.000 dirasakan lebih mahal dibandingkan dengan kereta ekonomi AC sebesar Rp 5.500. Kalkulasi salah satu penumpang tiba pada satu kesimpulan ongkos yang ia keluarkan dari kantongnya akan semakin bertambah. Bankan tombok! Selain lebih mahal, gerombolan penumpang ini  juga merasakan harga yang harus mereka tanggung tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh operator. Selain masih sering terlambat dan tidak taat jadwal, operasionalisasi perkeretaapian selama ini masih dirasakan belum memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna. Belum lagi seringnya kereta yang mogok di tengah jalan.
Keberpihakan Setengah Hati
Apapun bentuk kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang transportasi public di negeri ini sepertinya belum memberikan hasil yang maksimal. Tengok saja karut marut ide Busway di DKI Jakarta. Walau dirasakan ada manfaat yang diberikan, permasalahan yang ditimbulkan juga tidak sedikit, bahkan memiliki multiplier effect permasalahan yang signifikan. Mulai dari pencaplokan setengah badan jalan, jalur hijau dan pedestrian untuk pejalan kaki, masalah kecukupan bahan bakar gas yang sudah mulai dipakai beberapa armada Busway juga masih ada masalah dari sisi kecukupan supplay. Selain gagal mengurai kemacetan di Ibukota, Busway juga tidak mampu melokalisir pengguna mobil pribadi untuk beralih ke moda transportasi umum seperti Busway. Selain tidak mampu menyediakan kenyamanan dan keamanan yang minta oleh para pengguna mobil pribadi, efektifitas Busway justru masih kalah jauh dengan kereta api (KRL) Jabodetabek.
Berkaca kepada pengoperasian single operation baru untuk penglolaan KRL Jabodetabek tampaknya akan sama dengan kebijakan pendahulunya. Selain  memang tidak didesain dan disosialisasikan dengan maksimal oleh PT KAI. Keberanian PT KAI sebagai operator memberlakukan sistem single operation dengan masa uji coba hanya dua hari sangat dipertanyakan banyak pihak. Alhasil, banyak jadwal kereta kacau balau saat sistem baru resmi diberlakukan pada tanggal 02 Juli 2011. Selain itu, minimnya informasi disetiap stasiun membuat para penumpang banyak yang tidak memperoleh informasi yang komprehensif mengenai jadwal kereta, ketepatan jam pemberangkatan, sampai kepastian kereta berhenti di stasiun tempat calon penumpang menunggu. Selebaran dan bentuk informasi sosialisasi sistem baru melalui pamflet, poster, dan bentuk sosialiasi lainnya dirasakan oleh sebagian masyarakat masih kurang. Belum lagi keterbatasan jumlah pegawai operator yang berada di lapangan. Minimnya informasi dari petugas stasiun  sepanjang jalur kereta Jakarta-Bogor ikut menambah karut marut operasionalisasi pelayanan kepada para calon penumpang.
Jika sudah begini, apakah PT KAI akan tetap ngotot memberlakukan single operation ini? Atau mereka akan terus berdalih ini hanya sementara waktu karena pihak managemen operator sedang merumuskan dan beradabtasi dengan sistem baru ini? Apapun itu, kebijakan publik yang bijak dan memperhatikan kepentingan bersama adalah tuntutan yang wajar dan mutlah harus dipenuhi. PT KAI tidak dapat memberikan jaminan dengan berhentinya kereta disetiap stasiun akan meningkatkan pelayanan dan kenyamanan. Sistem single operation baru ini bukan tanpa masalah. Padatnya traffic lalu lintas kereta diperlintasan kereta menyebabkan kemacetan yang panjang bagi para pengguna jalan raya. Hal ini karena jarak satu kereta dengan kereta yang lain berdekatan. Tidak ada jeda waktu yang cukup untuk mengurai simpul kemacetan dan antrean disetiap perlintasan pintu kereta. Jika ini tidak dipikirkan, bukan tidak mungkin efek dominonya akan kian besar.
Di sisi yang lain, kabar kurang sedap juga berhembus dikalangan masyarakat pengguna kereta. Kabarnya, diberlakukannya sistem single operation ini akan mempercepat masa depresiasi pakai kereta. Hal ini disebabkan akan semakin banyaknya kereta yang rusak akibat intensitas jadwal dan perilaku pengguna kereta yang tidak bersahabat. Dengan cepatnya depresiasi armada kereta KRL otomatis menambah kuota pengadaan kereta. Selama ini Indonesia menjadi surga bangkai kereta dari Jepang dan Korea. Bahkan, dua Negara ini harus membayar sampah keretanya ke Indonesia. Negara kita sebenarnya memiliki dua keuntungan dari hal ini, selain mendapatkan kompensasi dari masuknya kereta-kereta yang sudah tidak layak pakai di Jepang dan Korea, sampah kereta yang kita import masih dapat kita manfaatkan sebagai armada kereta.
Nah, ada indikasi sistem baru ini akan mempercepat kerusakan armada kereta yang digunakan oleh PT KAI untuk melayani jalur KRL Jabodetabek. Dengan melihat situasi dan kondisi yang ada sekarang ini, saya tidak heran jika masa pakai kereta yang digunakan untuk jadwal kereta Commuter Line akan jauh lebih cepat rusaknya dibandingkan saat digunakan untuk Pakuan Ekspress. Selain mengangkut penumpang lebih banyak, single operation ini juga membutuhkan armada kereta import dari Jepang dan Korea untuk mengkonversi atau mengurani kereta ekonomi biasa. Permintaan armada kereta pun akan bertambah dari sisi kuantitas. Dengan banyaknya impor kereta yang masuk, kompensasi yang diterima PT KAI juga akan semakin besar. Saat ini, rasio antara kereta Commuter Line dengan kereta Ekonomi Biasa  4 berbanding satu. Ke depan, kereta ekonomi biasa akan dihapuskan dan diganti semuanya dengan kereta Commuter Line.
Apapun itu, kita semua berharap tujuan yang tidak terpuji dari pihak-pihak yanhg tidak bertanggung jawab tidak terjadi ketika diimplementasi sistem baru ini berjalan. Kita hanya berharap niat baik yang dilakukan oleh PT KAI akan sama baiknya dengan kenyataan di lapangan. Sudah saatnya konversi fokus kebijakan dilakukan untuk moda transporatasi kereta api. Selain lebih bersahabat dengan lingkungan dan tidak menimbulkan polusi udara, dari sisi efektifitas kecepatan mengangkut penumpang komuter sangat efektif. Sudah saatnya pemerintah membangun moda transportasi massal yang efisien dan murah. Kereta api (KRL) adalah salah satu solusi dalam mengurai simpul kemacetan di Jakarta. Saya pribadi adalah pengguna kereta dan sangat bergantung dengan kereta. Saya, dan termasuk pengguna kereta KRL lain hanya berharap sistem pelayanan kereta Jabodetabek semakin baik sehingga rasa aman dan nyaman semakin dapat dirasakan oleh masyarakat.  Moda transportasi ini saat ini menjadi pilihan utama masyarakat komuter sekiratr Jakarta terutama dari sisi waktu. Langkah kebijakan baru dari PT KAI seperti penyediaan gerbong khusus wanita disetiap rangkaian kereta menjadi langkah positif untuk memberikan kenyamanan bagi penumpang perempuan. Namun, kenyamanan ini juga harus diterapkan secara adil. Selama ini rangkaian khusus wanita "agak" berlaku efektif untuk rangkaian Commuter Line tapi tidakk untuk ekonomi biasa. Ketimpangan dan perlakuan yang berbeda inilah yang tidak kita harapkan karena bagaimanapun, keadilan pelayanan umum harus diperlakukan sama  bagi penerima layanan. Semoga sistem single operation baru ini akan mendatangkan manfaat yang baik bagi kita semua tanpa meimbulkan kontroversi dan permasalahan lanjutan. Selamat berdesak-desakan di atas deru kereta.
Sumber foto: www.vivanews.com

1 komentar: