Senin, 11 Juli 2011

Sejuta Makna Sang Presiden

Akhir-akhir ini, mungkin sebagian dari kita sudah jengah melihat tingkah polah kepemimpinan elit politik negeri ini, tidak terkecuali Presiden Yudhoyono. Selain dinilai sangat lambat dalam mengambil kebijakan, aspek pencitraan yang begitu kuat dalam setiap kebijakan yang diambil sang Presiden boleh jadi membuat kita semakin gelisah memikirkan masa depan bangsa ini. Lihat saja bagaimana cara Presiden Yudhoyono menangani kasus penanganan TKI yang beritanya marak sebulan terakhir ini. Tamparan yang begitu keras di pipi sang Presiden alih-alih dengan lantang Ia menyuarakan hak-hak tenaga kerja asing di hadapan siding ILO PBB, seminggu berikutnya ada TKI kita yang dipancung di Arab Saudi. Ironis dan miris! Lalu sampai kapan kita bersabar? 

Sejatinya, Presiden ditakdirkan menjadi pemimpin. Ia harus mampu mendikte setiap situasi dalam negeri dengan legitimasi yang dimilikinya. Namun, lihat yang terjadi dengan Presiden kita. Hanya dengan pesan BBM dan SMS dari tempat antah barantah, seorang Nazaruddin yang notabene hanya Kader Muda Partai Demokrat mampu menjungkalkan wibawa, sekaligus mendikte Yudhoyono. Konferensi Pers yang dilakukan Ketua Pembina Partai Demokrat tadi malam (11/7/2011) menjadi bukti kegundahan hati sang Presiden mengenai situasi yang kian pelik. Sebagai Pembina, boleh dikatakan Yudhoyono gagal dalam mengeliminasi konflik internal di tubuh Partai Demokrat. Faksi yang ada dalam tubuh partai berogo bintang Mercy itu pun semakin terlihat dan saling menyerang. 

Efek domino 

Dua bulan terakhir mungkin media massa, terutama televisi mengangkat issue keretakan Partai Demokrat sebagai headlines yang menarik sekaligus menjual. Selain gampang membuat judul berita dengan pesan singkat Nazaruddin, Media juga berhasil meramaikan kekisruhan antar kader Partai Demokrat dalam berbagai panggung talk show dan berita. Alhasil, dua bulan ini rakyat terus disuguhi pepesan kosong para elit partai. Belum lagi masalah kaburnya Nunun pasca ditetapkan sebagai tersangka kasus Pemilihan Dewan Gubernur BI yang ikut menyeret Miranda Goeltom semakin membuat jemu mata dan telinga kita. 

Yang tidak kalah pelik, efek domino kekisruhan para elit pemimpin kita kian melebar ketika Andi Nurpati yang notabene juga menjadi bagian dari elit Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan kasus Mafia Pemilu karena disangka memalsukan surat putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan salah satu Bakal Calon Anggota Legislatif RI Periode Tahun 2009-2014. Yang tidak kalah gawat dan penting, peringatan dini dari pernyataan Wakil Presiden Boediono agar harga komoditas pangan harus dijaga agar tidak menimbulkan efek turunan seperti inflasi, kerawanan pangan hingga yang lebih kompleks lagi mengganggu stabilitas politik nasional tentunya semakin membuat gusar akan kelangsungan bangsa kita. 

Inilah wajah Indonesia sekarang ini. Disaat negara lain sudah memikirkan bagaimana caranya mengatasi keterbatasan energi fosil dan resistensi dari semakin tingginya efek rumah kaca dunia saat ini, kita masih berkutat kepada hal prinsipil yang bias dikatakan “penting tidak penting”. Kita terlalu manja dan bangga dengan capaian kuantitatif makro. Kurs rupiah yang stabil, cadangan nasional Indonesia yang terus naik, atau barangkali persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, tidak akan nada gunanya jika dalam realitanya semua itu tidak mampu mengungkit pertumbuhan dan pemerataan kemakmuran.

Presiden Yudhoyono boleh dikatakan kini tidak fokus mengurus negara. Serangan yang bertubi-tubi kepada partai binaannya (Partai Demokrat) semakin membuatnya lelah dan “sensi”. Begitu sensinya sang Presiden sehingga media pun dijadikan kambing hitam dalam kasus Nazaruddin. Dengarlah apa yang disampaikan kepada rakyat dalam konferensi pers mengenai kasus Nazaruddin! Kita tidak melihat pesan yang substantif dari sang Presiden. Aspek korupsi, pelanggaran etika, pelanggaran kode etik sebagai anggota legislatif yang tidak masuk ke kantor, sampai banyaknya kader Partai Demokrat yang ditengarai ikut menerima uang “bancakan” proyek Wisma Atlit SEA GAMES di Palembang, justru tidak disinggung. Rakyat tidak peduli dengan issue ada pendongkelan Ketua Pembina yang digalang oleh Anas Urbaningrum cs. Rakyat juga tidak peduli ketika pesan BBM dan SMS Nazaruddin dijadikan komoditas berita oleh media massa. Pun jikalau sang Presiden lengser pun pasti diaminin oleh rakyat jika langkah itu membawa perubahan yang lebih baik.

Jadilah seperti Obama

Pak Presiden kita tampaknya memang letih. Selain sering curhat kepada rakyatnya akan keletihannya, raut mata dan gestur tubuh yang formal ikut memperkuat persepsi publik akan hal itu. Coba sekali-sekali Pak Presiden melihat gaya berinteraksi Obama dengan orang lain. Dengan sangat lugas dia menyapa dan menepuk pundak kolega atau bawahannya dengan sangat humanis. Tidak ada kesan jaim, formal, atau protokoler karena apa yang dia lakukan semata-mata karena manusia sejatinya memang demikian. Tanpa ada pura-pura dan citra. Lihat juga gaya berpakaian Obama. Tanpa canggung dan tidak menimbulkan kesan menjaga citra, Obama menggulung kemeja lengannya ketika berkunjung ke negara bagian yang terkena banjir. Kita memerlukan Presiden yang bukan hanya tampak sederhana, tapi memang apa adanya, tidak dibuat-buat dalam berlaku dan bertutur, dan tentu saja jujur!

Kita merindukan juga Presiden yang tidak “jaim”. Tengok saja Bung Karno! Dengan gaya nyeleneh, dia dapat memimpin rapat atau sekedar memberikan instruksi kepada bawahannya dengan memakai piyama (baju tidur). Tidak perlu rapat berjam-jam dengan para menterinya untuk membicarakan hal yang sebenarnya bisa dikomunikasikan lewat telepon atau memanggil saja langsung menterinya. Apa yang kita saksikan melihat Presiden kita saat ini selalu dilingkupi formalitas. Baik itu rapat kerja, rapat partai, konferensi pers, bahkan seremonial kenegaraan lainnya. 

Kita merindukan Presiden Yudhoyono dalam kesempatan tertentu dapat pula bercanda dengan rakyat dan bawahannya, termasuk membicarakan hal yang jorok (Sek atau kiasan yang menjurus ke arah itu) seperti apa yang dilakukan Bung Karno. Senyum yang lepas yang diperlukan rakyat dari Presidennya. Bukan senyum simpul yang justru menimbulkan kesan dan pertanyaan baru bagi mereka yang melihatnya.

Rangkap Jabatan dan Bunker Koruptor

Keletihan amat sangat yang dialami Presiden Yudhoyono barangkali tidak lepas dari sistem pengelolaan kepartaian di Indonesia. Selama ini, banyak para pemimpin elit yang berkuasa menjadi pemimpin partai atau embel-embel sebagai Pembina partai seperti yang dilakukan oleh Presiden Yudhoyono. Lihat pula peran Pak Hatta Rajasa sebagai ketua Partai Amanat Nasional. Lihat Pula peran Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar yang merangkap sebagai Menteri Agama dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sekaligus sebagai Ketua Partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Para Pembina dan ketua partai ini notabene tergabung dalam koalisi besar dan menamakan elit penguasa. 

Koalisi besar ini menjadi tameng dan kadangkala menjadi bunker bagi para koruptor dan pencari rente (rent seeker). Dengan bergabung menjadi Partai sekaligus menjadi elit penguasa, mereka akan leluasa mengintervensi dan melakukan bargaining power antar elit sesuai dengan kapasitas dan strategisnya jabatan yang dipegang oleh elit partai. Contohnya banyak sekali. Kasus Nazaruddin, Kasus Lumpur Lapindo, Kasus Penyelundupan Blackberry dua kontainer yang diindikasikan dilakukan oleh para wakil rakyat DPR RI, Kasus Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Kasus Gayus Tambunan, sampai kasus-kasus tingkat lokal yang melibatkan elit daerah. Jika sudah begini apa yang dapat kita harapkan dari negara ini? Atau kita menginginkan keosnya negara kita untuk kembali menemukan pemimpin yang kita nilai adil dan jauh dari kerakusan kekuasaan dan kepentingan kelompok? Lalu jika itu yang harus kembali kita ambil, berapa lagi ongkos yang harus kita tebus? Dan apakah demokrasi itu masih relevan dengan konteks permasalahan bangsa kita dewasa ini? Coba anda camkan dan renungkan!

sumber foto: http://www.gerejani.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar