Senin, 20 Juni 2011

Dunia Pendidikan Indonesia Di Mata Khalayak

Bulan Juni sudah memasuki minggu ketiga. Tidak terasa waktu terus beranjak pergi meninggalkan berbagai cerita dan berita. Bulan Juni identik dengan hingar bingar kelulusan anak-anak sekolah. Dari mulai SD sampai dengan SMU, bulan Juni menjadi awal baru bagi mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada yang berhasil naik kelas, tapi tidak sedikit pula yang tinggal kelas. Bulan Juni oleh beberapa siswa juga menjadi bulan yang sangat sibuk untuk mencari sekolah atau kampus baru. Bulan dimana keberhasilan dan kegagalan dipertaruhkan dalam sebuah ajang yang dinamakan Ujian Nasional.
Ada yang menarik dari berbagai pemberitaan media massa selama Bulan Juni ini. Selain kasus rebut-ribut soal Nazaruddin dengan Partai Demokrat, atau Nunun yang masih dicari-cari oleh KPK dan Interpol Internasional karena kasus cek pelawat pemilihan Calon Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia, hal lain yang lebih esensial justru luput dari pembahasan masyarakat dan pemangku kebijakan. Ya, kasus menyontek massal di salah satu Sekolah Dasar di Surabaya ketika Ujian Nasional siswa SD berlangsung bulan ini menjadi  perbincangan hangat dikalangan pemerhati pendidikan. Menjadi menarik karena untuk kesekian kalinya, contek menyontek yang dilegitimasi oleh Guru sekolah masih terjadi. Target persentase kelulusan para siswa serta menjaga nama baik sekolah dan masa depan anak didik, ditengarai terpaksa dilakukan para guru untuk melegalkan praktik yang tidak terpuji ini. Di satu sisi, kasus seperti ini menjadi cermin kegagalan dunia pendidikan Indonesia, dalam mengukur standar keberhasilan para siswa. Paradigma yang mengedepankan orientasi nilai kuantitatif justru menimbulkan degradasi nilai yang menodai proses pendidikan itu sendiri.
Alhasil, para siswa selama ini dijejali dengan sistem pendidikan yang mengukur sebuah proses keberhasilan pendidikan dengan nilai-nilai mata pelajaran yang tinggi. Batas minimal kelulusan pun dibatasi pada angka tertentu yang sangat menggelisahkan para siswa. Kita lupa (Pemerintah dan para pendidik), bahwa esensi sejati kebutuhan pendidikan di Indonesia saat ini adalah bagaimana memberikan dan membangun “percaya diri” yang tinggi kepada siswa serta memberikan kesadaran dalam mencapai suatu rencana dan tujuan harus dilakukan dengan suatu proses yang tidak instan serta mengedepankan prinsip kejujuran dan etika. Pendidikan harus dijadikan sebagai sarana untuk memberikan bekal kemandirian bagi para siswa untuk menjadi manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain. Sistem pendidikan kita, khususnya Ujian Nasional telah membentuk karakter siswa kita menjadi “paranoid”, “pemalas” sekaligus menanamkan kepada mereka sebagai calon “koruptor” karena dalam mencapai nilai yang ditetapkan, mereka dididik menghalalkan segala cara seperti mencontek. Lihat pula bagaimana siswa dan mahasiswa kita sejak di bangku sekolah dan kuliah telah berberilaku anarkis seperti tawuran massal dan bentuk kejahatan kriminal lainnya. Citra dunia pendidikan kita dengan narkoba, pemerasan, senioritas, dan perilaku menyimpang lainnya sudah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dan tidak mampu dihilangkan. Jika sudah demikian, masihkah kita menaruh harapan kepada dunia pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara?
Budaya Permisif Yang Salah
Kasus Alif, salah satu siswa Sekolah Dasar di Surabaya yang membeberkan kasus contek massal di sekolahnya sendiri barangkali menjadi indikasi dan cermin bobroknya dunia pendidikan kita. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, seorang Alif yang notabene menjadi murid yang seharusnya mendapat apresiasi dari buah kejujurannya, justru dikucilkan dan dianggap sebagai aib oleh teman-teman dan masyarakat disekitar rumahnya. Apa yang dilakukan oleh Alif dan orangtuanya yang membeberkan kasus ini kepada pihak berwenang dan media massa justru menjadi pesakitan dan dipandang sebagai orang yang “sok suci” oleh semua orang. Kasus pengusiran Alif dan orangtuanya dari rumahnya menjadi klimaks dan cermin budaya permisif yang salah oleh sebagian besar masyarakat kita. Budaya yang mengkompromikan nilai-nilai tidak terpuji untuk mencapai tujuan bersama saat ini terus tumbuh dan eksis di kalangan masyarakat kita. Celakanya, kondisi ini dibiarkan dan menjadi lumrah karena dipandang tidak memberi efek yang signifikan bagi murid di masa mendatang. Yang terpenting, harapan mereka sebagai orang tua adalah agar semua anak-anaknya dapat lulus Ujian Nasional. Namun, harapan luhur ini menjadi salah dan justru menjadi polemik ketika mereka (orang tua dan pendidik) menodai proses pencapaian nilai luhur yang mereka perjuangkan bersama anak-anak mereka. Di sisi lain, pendidik juga gagal dalam mentransformasikan berbagai macam nilai budi pekerti yang sarat ditemui sepanjang proses pengajaran berlangsung ke dalam realita kehidupan para siswa. Barangkali ini pula yang menyebabkan generasi muda Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam tampuk kepemimpinan (elit politik dan kebijakan) selalu berbeda antara ucapan dan perbuatan. Gagalnya trasformasi nilai-nilai etika sebagai landasan dalam berbuat tidak tercermin dalam realitas yang sesungguhnya.
Miskin Infrastruktur, Kaya Target
Harus diakui, struktur geografis Indonesia yang sangat luas serta demografi yang besar menyebabkan ketimpangan sarana dan prasarana pendidikan kita masih jauh dari ideal. Pendidik, dalam hal ini guru dan dosen juga masih terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Akibatnya distribusi pendidik pun menjadi timpang antara pusat dan daerah. Sistem reward and punishment yang diberikan oleh pemerintah kepada para pendidik juga menjadi penyebab tidak maksimalnya sebaran kuantitas dan kualitas para pendidik kita. Hal lain yang juga menjadi persoalan adalah selama ini pemerintah pusat merasa semua daerah di Indonesia sudah siap melaksanakan sistem pendidikan dengan target tinggi semacam Ujian Nasional yang serentak dilakukan diseluruh Indonesia setiap tahun.
Dengan kualitas pendidik yang tidak sama kompetensinya, sarana infrastruktur, kualitas buku pelajaran yang berbeda satu sekolah dengan sekolah yang lain, termasuk biaya per bulan yang harus dikeluarkan oleh orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya yang berbeda disetiap daerah, akan menjadi faktor determinan dominan yang menghambat para siswa dan pendidik untuk bersaing secara sehat antara satu sekolah dengan sekolah lain. Beban-beban target yang diberikan pemerintah pusat kepada semua sekolah di Indonesia, termasuk target dari kepala daerah sendiri (Gubernur, Bupati, Walikota) justru selama ini ditengarai semakin menciptakan peluang terjadinya kasus-kasus seperti Alif. Siswa-siswa di kawasan perkotaan dengan sarana dan prasarana yang baik serta memiliki pengajar dengan kualitas yang mumpuni tidak akan mampu diimbangi oleh siswa daerah yang hanya mendapatkan sarana dan prasarana serta pengajar yang terbatas. Inilah potret pembangunan dan penyelenggaran sistem pendidikan kita. Kaya akan target yang sifatnya kuantitatif, tapi tidak diimbangi dengan kesetaraan tools (sarana) yang adil bagi semua siswa.
Belajar dari Negara Lain
Menurut survei dari salah satu lembaga pemerhati pendidikan dunia pada tahun 2003, Finlandia dinilai sebagai Negara dengan sistem pendidikan yang terbaik di dunia. Siswa di Finlandia unggul dalam hal kompetensi dan minat membaca. Keunggulan lain yang dimiliki oleh Negara di kawasan Eropa Utara ini adalah beban jam pelajaran yang diberikan kepada siswa juga tidak sebanyak dengan Indonesia dan Negara lain. Pengajar di Finlandia hanya memberikan jam pelajaran selama enam jam per hari, atau tiga puluh jam per minggu. Hal ini jauh dengan beban yang harus ditanggung siswa di Indonesia. Selain itu, beban pekerjaan rumah (PR) bagi para siswa di Finlandia juga tidak sebanyak diberikan oleh pendidik di Indonesia. Lalu apa yang membuat Finlandia berhasil?
Ada dua hal yang melatarbelakangi, Pertama, kesiapan dan kesetaraan infrastruktur pendidikan mereka sudah teruji dengan baik. Terlepas dari kemampuan dana yang diberikan oleh pemerintah dan faktor demografi yang berbeda antara Indonesia dan Finlandia, factor sarana dan prasarana menjadi elemen penting keberhasilan pendidikan di Finlandia. Kedua, terkait dengan kompetensi pendidik (guru). Di sana, guru memiliki kriteria dan kualifikasi yang sangat tinggi. Tidak mudah untuk menjadi guru di Finlandia. Selain harus memiliki kompetensi di atas rata-rata, pola rekruetmen dan standar reward yang diberikan kepada guru juga mempengaruhi kualitas dan kinerja guru di Finlandia. Selain itu, koefisien perbandingan jumlah murid dan guru di Finlandia juga ideal. Artinya, satu guru di Finlandia menangani sepuluh murid. Selain lebih fokus dalam memberikan materi pendidikan kepada siswa, kedekatan antara pendidik dan siswa juga dapat tercipta.
Apa yang terjadi di Finlandia juga hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Singapura. Walaupun tidak memiliki sumber daya alam, Singapura sangat fokus kepada dunia pendidikan yang mereka kembangkan. Walaupun sistem pendidikan mereka hampir sama dengan sistem pendidikan di Indonesia, namun akses lembaga pendidikan diberikan kepada semua warga Negara, disamping juga sarana dan prasarana yang mumpuni dan mencukupi. Jika kita terlalu tinggi untuk membandingkan Indonesia dengan Finlandia dan Singapura, barangkali apa yang dilakukan oleh Kuba dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi Indonesia untuk mencontoh negeri tempat Fidel Castro ini berkuasa. Kuba yang sampai dengan saat ini masih diembargo oleh Amerika justru menjadi salah satu Negara dengan tingkat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di kawasan Amerika Tengah dan Selatan. Di bidang kesehatan, Kuba juga menjadi Negara yang diakui kualitas tamatannya. Kunci keberhasilan Kuba kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan Finlandia dan Singapura. Alhasil, pada siswa dari Kuba kini diakui memiliki kompetensi yang baik dan mampu bersaing dengan siswa Negara lain dalam lingkup global.
Apapun itu, potret keberhasilan Negara lain dalam menyelenggarakan pendidikan harusnya membuat kita iri untuk dapat seperti mereka. Modal amanat konstitusi yang mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN harusnya menjadi momentum yang baik untuk merajut mimpi itu. Penyelenggaraan good governance distribusi dan pengelolaan dana pendidikan dari pusat sampai daerah juga harus diperhatikan karena faktanya, banyak sekali dana bocor dan tidak sampai ke sasaran. Sistem peremajaan dan pola rekruetmen para pendidik kita juga harus diperhatikan, disamping juga pemberian reward and punishment yang adil. Otonomi Daerah harus menjadi alat untuk mendistribusikan para pendidik untuk mencapai tingkat koefisien yang ideal antara jumlah pendidik dan siswa. Kasus alif dan kekerasan di dalam dunia pendidikan kita adalah bukti masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Political will dan dukungan dari masyarakat untuk jujur dan mulai mengartikan penyelenggaran pendidikan tidak hanya sekedar ”berorientasi nilai kuantitatif” harus dilakukan untuk mewujudkan esensi utama manfaat pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus membentuk karakter siswa menjadi “manusia yang utuh”, mampu menghargai setiap proses sebagai bagian penting dari sebuah keberhasilan. Kejujuran dan memaknai kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda harus diresapi sebagai sebuah pedoman untuk bersama-sama membenahi dunia pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar