Selasa, 04 Mei 2010

Memaknai “Otonomi Daerah” Secara Komprehensif


Perbincangan mengenai local government dalam konteks otonomi daerah dewasa ini masih sangat dinamis, terutama dari sisi pemahaman secara umum oleh khalayak. Dikatakan dinamis karena artikulasi dan pemahaman otonomi daerah sendiri masih belum seragam dan cenderung keluar dari konteks sesungguhnya. Menyitir dari perbincangan yang berlangsung saat peluncuran buku Prof. Bhenyamin Hoessein yang berjudul “Perubahan Model. Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi”, terungkap jelas bahwa masyarakat awam, terutama aparat birokrasi masih memaknai otonomi sebagai sebuah “tujuan” akhir. Hoessein sendiri menggarisbawahi makna otonomi atau desentralisasi sebagai “means” atau sarana dalam mencapai tujuan-tujuan kemaslahatan masyarakat, terutama di tingkat lokal.

Dewasa ini, makna desentralisasi di Indonesia memang masih berkutat kepada artikulasi kelompok dan golongan yang mengatasnamakan kepentingan dan kemakmuran lokal dalam arti sempit. Pandangan ini tentunya tidak sejalan dengan fungsi penyelenggaraan desentralisasi karena dalam kacamata administrasi publik, keberadaan otonomi daerah bertujuan untuk menjamin fungsi pengaturan pelayanan lebih efektif dan efisien. Otonomi daerah sejatinya harus dijadikan sebagai tools untuk mengkonversi orientasi “central voice” dan “central choice” menjadi “local voice” sekaligus “local choice” dimana otonomi berfungsi sebagai bingkai penyenggaraan pemerintahan sekaligus penguatan peran individu dan lembaga daerah.

Perjalanan otonomi Indonesia yang hampir mendekati satu dasawarsa haluannya tidak begitu kentara ke arah lokalitas, bahkan mengalami disorientasi nilai karena dalam praktiknya benturan kepentingan pusat dan daerah sering mengorbankan aspirasi daerah. Gradasi keberhasilan daerah yang tidak merata menunjukkan bahwa fungsi pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintahan nasional, pengelola aspirasi lokal, sekaligus wadah pendidikan politik masyarakat seperti argumentasi yang disampaikan Kjellberg (1995) tidak berfungsi seluruhnya. Di level pusat, keberadaan Dewan Pertimbangan daerah sebagai legitimasi kepentingan daerah di ranah pusat tidak mampu memainkan perannya dengan semestinya. Pengebirian DPD melalui sistem politik dan undang-undang memfungsikan DPD sebagai simbol artikulasi yang perannya hanya sekedar formalitas saja. DPD dapat menjadi tolak ukur dan buah implikasi belum tertatanya sistem otonomi daerah di negeri ini.

Di beberapa daerah di Indonesia, bingkai otonomi justru dijadikan momentum bagi elit lokal untuk berperan sebagai raja-raja kecil. Katub partisipasi politik masyarakat lokal dalam Pilkada tidak mampu dijadikan wahana utama untuk menyampaikan pendapat dan partisipasi politik terkait masalah publik. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan Pilkada yang masih didominasi oleh peran partai politik sebagai kendaraan politik memberikan ruang intervensi yang lebih besar oleh elit pusat kepada daerah sebagai konsekuensi sistem politik yang kita anut. Di sisi lain, minimnya calon independen yang tidak mampu bersaing dengan “jago parpol” karena masalah aturan main dan ketimpangan sumber daya semakin membenamkan jalur independen sebagai instrumen dalam menghasilkan pemimpin diluar kaderisasi partai politik. Hamdi (2008) menjelaskan otonomi sejatinya dijadikan wadah untuk pendidikan politik masyarakat untuk pengembangan pola peranan, komunikasi, dan kepemimpinan. Di Indonesia, Pilkada tidak mampu menjadi wadah pendidikan politik bagi masyarakat lokal karena orientasinya sarat dengan kepentingan kelompok. Akibatnya, komunikasi yang terbangun juga bersifat satu arah dan cenderung parsial. Egoisme daerah dan value budaya daerah yang menyerahkan kepentingan publik hanya ditangan pemimpin saja memberikan ruang pola ini untuk eksis di beberapa daerah. Tidak adanya akses informasi secara formal dan apatisme masyarakat kita dalam mengkritisi pemerintah lokal semakin menegaskan adanya degradasi value dari penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri.

Fragmentasi Makna Otonomi

I Made Suwandi, memberikan argumentasi bahwa isu utama terkait dengan otonomi daerah saat ini memang hanya terfokus kepada dua hal, yaitu "Pemekaran" dan "Pilkada". Dua hal ini oleh sebagian kalangan dapat mendekatkan pelayanan di daerah sekaligus menjadi alat untuk melakukan redistibusi sumberdaya dan meningkatkan hak dan partisipasi masyarakat lokal untuk membangun daerahnya. Secara normatif, pemekaran dilakukan untuk mengefisienkan dan memberdayakan sumber daya alam dan potensi daerah yang berorientasi kepada kemakmuran masyarakat. Adapun penyelenggaraan Pilkada berorientasi untuk menemukan calon-calon pemimpin putra daerah yang tahu betul daerahnya, baik dari sisi kebutuhan, kelebihan, kekurangan, dan hambatan yang ditemui oleh daerahnya selama ini.

Pandangan ini tidak keliru karena hakikat dari otonomi daerah irisannya memang menyentuh aspek itu. Akan tetapi, masalah yang timbul saat ini ketika daerah dimekarkan sebagian besar justru mengalami kemunduran. Hal ini bukan hanya dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan daerah yang akan dimekarkan dari sisi sumber daya alam dan manusianya semata, dari aspek budaya dan mind-set sebagian masyarakat, terutama elit lokal juga menjadi penyebab gagalnya pemekaran daerah sebagai sebuah solusi. Celakanya, kecenderungan proses pemekaran di Indonesia lebih bermain di gray area. Artinya, wacana disintegrasi selalu menjadi tema utama ketika sebuah pemekaran suatu daerah dilakukan. Pemekaran dijadikan solusi mudah, tidak memerlukan waktu lama, dan cenderung menjadi jembatan dalam menghasilkan “win-win solution” bagi semua pihak tanpa mempertimbangkan efek sosial, politik, dan ekonominya.

Tidak dapat dipungkiri ini terjadi di negara kita. Pemerintah pusat seolah tidak tegas dalam melihat hal ini karena dari sisi produk undang-undang otonomi daerah yang telah dihasilkan oleh negeri ini (termasuk UU No. 32 Tahun 2004) dapat dikatakan “banci” terkait pengelolaan hubungan pusat-daerah. Ketidaktegasan ini muncul karena sistem yang berjalan saat cenderung ambigu, apakah dalam hubungan pusat dan daerah akan ditarik garis kekuasaan sentralisasi secara jelas atau memang dimungkinkan border baru dalam menata hubungan pusat dan daerah menjadi lebih fleksibel.

Reorientasi Semangat Otonomi

Pengamatan Page dan Goldsmith (1987) di beberapa negara Eropa Barat memberikan pandangan sekaligus identifikasi perihal pembentukan daerah otonom. Ada lima faktor penting daerah diotonomkan, yaitu: budaya, agama, sejarah, ukuran atau efisiensi, dan kebutuhan pusat untuk mengontrol wilayah lokalnya. Hamdi (2008) menyarikan kelima faktor ini esensinya terfokus kepada dua hal, yaitu berhubungan dengan kemudahan kontrol dan pengelolaan oleh pemerintah nasional dan yang bertalian dengan pengakuan terhadap keunikan lokalitas. Jika melihat alasan pembentukan otonomi daerah dari struktur pemerintah daerah, Hamdi mengutip Boyne (1992) menjelaskan ada tiga faktor penentu, yaitu: jumlah tingkatan, jumlah unit pada setiap tingkatan, dan distribusi tanggung jawab dalam dan antara tingkatan. Tingkatan di masing-masing negara tentunya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Faktor luas negara, jumlah penduduk, jumlah “basic unit”, dan derajat sentralisasi (Humes dan Martin: 1969).

Di negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, dan Eropa Barat seperti Inggris dan Jerman, otonomi daerah juga tidak selalu diawali dari kesamaaan historis, budaya dan kesukuan. Aspek “kesamaan kepentingan” menjadi prioritas utama dalam memaksimalkan peran pemerintah daerah dan juga sumber daya yang dimiliki ketika otonomi diimplementasikan. Desentralisasi tidak selalu terfokus kepada tapal batas administrasi yang kaku, walaupun dalam konteks desentralisasi hal itu memang kadang diperlukan. Akan tetapi, wilayah-wilayah di luar garis administrasi idealnya juga dapat melakukan kerjasama dalam memaksimalkan pelayanan publiknya.
Konsep “Megapolitan” yang diwacanakan mantan Gubernur Sutiyoso semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta sebenarnya dapat menjadi embrio dalam mengimplementasikan pakem pendapat ini. Kita ambil contoh masalah pengelolaan sampah. Jakarta lambat laun akan keropotan dalam mengurus masalah sampah jika daerah lain seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok yang fungsinya sebagai kota penyangga tidak mau bekerjasama dengan daerah induknya. Integrasi antar daerah diperlukan dalam memaksimalkan fungsi Pemda sebagai alat untuk memaksimalkan perannya dalam konteks “means” atau sarana. Desentralisasi hanya sebagai sarana karena selanjutnya, Pemda dan segenap komponen lokal lainnya yang akan menentukan keberhasilan otonomi yang telah diberikan pusat. Fleksibilitas kerjasama antar pemerintahan daerah ke depan sangat diperlukan dalam melakukan transfer sumberdaya yang pada akhirnya tercipta public services yang baik.

Di Indonesia, latar belakang semangat suatu daerah akan dimekarkan tidak demikian. Aspek historis, suku, dan budaya serta solusi jangka pendek dalam meredam masalah disintegrasi negara masih sangat kental dalam praktiknya. Fungsi penyelenggaan yang tadinya dapat diefisienkan melalui otonomi daerah tidak semuanya serta merta tercipta. Jika hal ini dibiarkan akan sangat membahayakan untuk kelangsungan proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Resistensi permasalahan pemekaran yang tidak diformulasikan dengan tepat, baik dari sisi urgensi dan indikator yang dipakai dalam mengukur layak tidaknya sebuah daerah dimekarkan telah terjadi. Kasus kematian ketua DPRD Sumatra Utara dalam sengketa pemekaran daerah Tapanulli Utara menjadi indikasi betapa bahayanya proses sebuah pemekaran yang dilakasanakan secara serampangan. Proses Pilkada yang telah berlangsung di daerah juga mencerminkan penguatan konflik horizontal yang bermuara kepada benturan budaya politik, sosial, dan ekonomi sebagai konsekuensi pemahaman aturan main yang minim. Pelaksanaan otonomi daerah yang dalam kemunculannya oleh banyak pihak dianggap masih sangat prematur harus disikapi lebih bijaksana dan mengendepankan kepentingan bersama. Seiring berjalannya waktu, semoga otonomi daerah menjadi solusi tepat dalam mensejahterakan masyarakat untuk lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar