Sabtu, 06 November 2010

Layang-Layang

Apakah kalian pernah melihat layang-layang? Tentu kita semua pernah melihatnya. Tapi, belum tentu semua mampu menerbangkan layang-layang sampai di angkasa. Tidak mudah membuat layang-layang terbang tinggi di awan. Butuh teknik dan harmonisasi insting kita dengan angin agar layang-layang yang kita terbangkan dapat melayang tinggi ke angkasa. Tidak hanya terbang sebentar, namun lama.

Lalu apa makna yang dapat kita petik ketika seseorang menerbangkan layang-layang? Ada dua hal penting dalam menerbangkan layang-layang. “Menarik” dan “mengulur”. Keduanya membutuhkan ketepatan waktu, kekuatan tangan, intuisi, dan tentu saja harmonisasi dengan angin agar layang-layang kita dapat tetap terbang di angkasa.

Dalam berkehidupan, hubungan kita dengan orang lain pun demikian. Tak ubahnya bagaimana kita menjaga agar layang-layang tetap tinggi di awan. Kapan waktunya kita “menarik” dan kapan waktunya kita “mengulur” adalah afiliasi dimana kita harus “member” atau “menerima”; “memaafkan” atau “meminta maaf” atas kesalahan yan kita perbuat. Pun demikian, dengan pasangan kita sejatinya juga harus demikian. Perjalanan suatu hubungan dengan sesama anggota keluarga, sahabat, bahkan dengan pasangan hidup kita, kadang sering diliputi berbagai persoalan.

Kadang sifatnya penting, tapi tidak sedikit kita bertengkar karena persoalan yang kecil, bahkan sangat tidak penting karena jawabannya kita sudah tahu. Lalu apa yang menyebabkan kita kadang mempersoalkan “persoalan” yang sudah tahu jawabannya. Itu semua karena ego kita kah? Atau kita memang bebal dan tidak tahu bahwa yang kita ributkan dan kita pertahankan justru menurunkan pribadi kita di mata orang kebanyakan? Pemicunya hampir semuanya sama. Masing-masing pribadi tidak tahu kapan mereka harus mengulur, kapan mereka harus menarik. Mereka tidak pernah belajar dari falsafah layang-layang.

Seiring berjalannya waktu, kita tidak mungkin terus berada pada fase dimana kita terus mencari bentuk ideal kepercayaan satu dengan yang lainnya. Percayalah, waktu sendirinya akan membentuk kepercayaan itu dalam diri kita masing-masing. Menyikapi masalah tidak harus menimbulkan masalah baru. Kalaupun masalah baru itu muncul, maknai dan lihat itu sebagai proses bagian dari pendewasaan kita. Bukan sesuatu yang pada suatu hari nanti, masalah itu kita ulangi kembali tanpa ada jalan keluarnya. Manusia yang bijak dan pintar, memahami dan melihat setiap hal yang mereka temui sepanjang hari sebagai hal yang terbaik. Terbaik dalam arti menjadi pelajaran dan bekal untuk dirinya dalam menghadapi situasi dan kondisi di masa yang akan datang.

Belajarlah kepada layang-layang. Dari jauh ia tampak anggun dan tenang. Dari jauh ia sangat indah dan memberikan kepuasan bagi siapapun yang berhasil menerbangkannnya sampai ke angkasa. Namun, pahami juga bahwa untuk menerbangkan layang-layang sampai ke angkasa, dibutuhkan proses dan harmonisasi. Keindahan layang-layang diawali dari perjuangan untuk mensinergikan angin, arah angin, kekuatan tangan kita, benang yang berkualitas dan layang-layang yang memiliki arpu yang baik. Semua itu juga tidak cukup. Yang paling penting, teknik menarik dan mengulur juga menjadi bagian penting agar layang-layang itu tetap terbang tinggi walau angin datang dan pergi.

Bermain layang-layang tidak hanya dinikmati ketika kita telah berhasil menerbangkannya sampai di angkasa kemudian jatuh kembali. Keindahan dalam bermain layang-layang ketika kita mampu menjadi ritme dan harmonisasinya agar tetap terbang di angkasa. Termasuk ketika layang-layang itu putus, kita siap untuk mengejarnya, mendapatkannya, lalu menerbangkannya kembali. Sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar