Kamis, 04 November 2010

Kosmologis Merapi dalam Peradaban Jawa

Sebagai salah satu entitas budaya Jawa, keberadaan gunung Merapi telah mempengaruhi struktur dan pembentukan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jawa. Merapi pun muncul sebagai bagian penting dari kosmologis budaya Jawa dan sangat mempengaruhi eksistensi keraton Jogyakarta. Dari historis. Merapi diidentikkan sebagai titik vertikal yang melambangkan unsur api. Artinya, Merapi sebagai gunung api yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, akan sangat mempengaruhi sifat dan kebijakan pemangku kebijakan keraton (pada masa lalu dan kekinian), disamping juga menjadi isyarat bagi makna kebijakan yang diambil oleh Presiden Republik Indonesia dalam arti luas. Klenik ini bisa jadi masih sangat dijunjung tinggi karena dalam perjalanannya, keberadaan Merapi dan segala aktivitas vulkanisnya telah kadung disakralkan sebagai isyarat “bala” dan “rahmat” dari kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan di negeri ini.

Merapi secara geografis terletak di sebelah utara Jogyakarta. Dalam kepercayaan Jawa, Merapi menjadi simbol “Api”. Simbol api dalam metologi Jawa dan kebanyakan kebudayaan lainnya sejatinya harus diimbangi dengan unsur air. Dengan demikian, keseimbangan hidup akan tercipta ketika air dan api dapat disatukan dan dinetralisir. Titik pertemuan Merapi di sebelah utara dan pantai selatan di sebelah selatan Jogyakarta oleh sebagian besar kalangan Jawa dan masyarakat kebanyakan menjadi garis yang sangat penting. Jika kita menarik garis lurus yang dimulai dari arah utara (Merapi sebagai titik awal) sampai dengan pantai selatan (sebagai titik akhir) , maka keberadaan keraton Jogyakarta akan berada persis di tengah dua titik sakral. Merapi dan pantai selatan adalah simbol “Api” dan “Air” dimana keduanya akan sangat mempengaruhi denyut nadi kehidupan keraton Jogyakarta secara umum maupun khusus.

Begitu pentingnya keberadaan Merapi sebagai simbol sekaligus entitas kearifan lokal masyarakat Jawa sampai Raja Keraton Jogyakarta mengutus Abdi Dalem Keraton untuk menjaga sekaligus mengawasi keberadaan Merapi. Mbah Maridjan yang oleh masyarakat kebanyakan ditasbihan sebagai “Kuncen” Merapi adalah bentuk penghormatan Keraton Jogyakarta terhadap Merapi sebagai bagian penting dari perjalanan sejarah Keraton. Bentuk ritual kejawen yang sampai saat ini masih dipelihara oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini, dipercaya sebagai wujud penghormatan dan rasa terima kasih masyarakat atas rahmat Tuhan YME. Ritual yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Jawa di sekitar pantai selatan sebagai salah satu simbol penting yang sangat mempengaruhi metologi Jawa. Merapi dan pantai selatan melambangkan hubungan vertical dan horizontal masyarakat Jawa kepada alam semesta. Keduanya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Meletusnya Merapi akhir-akhir ini tentu saja tidak hanya dimaknai sebagai proses alam dan siklus kegunungapian Merapi. Oleh sebagian kalangan, meletusnya merapi adalah pertanda terjadinya sesuatu hal yang dapat diartkulasikan baik atau buruk. Ada yang menganggap setiap merapi meletus akan berpengaruh kepada peta politik di negeri ini. Pergantian kepemimpinan atau pergantian posisi jabatan menjadi anonim meletusnya Merapi pada tahun-tahun sebelumnya. Ada juga yang melihat meletusnya Merapi adalah bentuk peringatan akan anomali pelanggaraan etika kehidupan di masyarakat. Inkonsistensi masyarakat Jawa (khususnya Jogyakarta) untuk memegang nilai-nilai kearifan lokal dalam menjalani hidup mungkin membuat Merapi marah. Degradesi etika di masyarakat lambat laun telah mengikis kearifan lokal masyarakat setempat. Setali tiga uang dengan kehidupan elitis di negeri ini, kemarahan Merapi adalah bentuk keterwakilan kemarahan rakyat. Karena katub saluran kemarahan rakyat telah tertutup, Tuhan pun mengutus alam untuk memperingatkan manusia. Alam akan selalu jujur pada manusia karena rasa dan karsa menjadi idiom alam untuk medewasakan umat manusia. Melalui teguran bencana, alam dan Tuhan ingin mendewasakan manusia menjadi lebih arif dan bijak. Boleh jadi ini benar, atau boleh jadi ini hanya bentuk ketidaksengajaan momentum yang dimaknai secara berlebihan.

Apapun itu, Merapi adalah sebuah misteri. Dia adalah simbol perjalanan budaya yang sangat panjang bagi metologi Jawa dan keberadaan bangsa ini. Merapi akan tetap menjadi simbol “klenik” masyarakat Jawa dimana eksistensinya akan selalu dihubungkan dengan perjalanan kehidupan masyarakat Jawa secara khusus, dan masyarakat Indonesia secara umum. Merapi akan terus menjadi dua sisi yang mengagungkan sekaligus menakutkan. Mengagungkan karena keberadaan Merapi telah menghidupi masyarakatnya untuk beranak pinak melalui tanah pertanian yang subur dan iklim yang sempurna. Menakutkan karena ketika marah, Merapi tidak segan meminta korban dan lara. Sewajarnya, kita sebagai manusia memahami meletusnya Merapi dan bentuk bencana yang datang silih berganti sebagai teguran dan pembelajaran. Belajar untuk lebih peka dan peduli dengan orang lain. Belajar untuk lebih mawas diri dan arif tanpa mementingkan diri sendiri. Semoga keberadaan Merapi akan menjadi tugu peringatan kepada yang batil dan arif. Karena peringatan alam akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi negeri ini untuk tidak menjadi negeri yang bebal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar