Selasa, 09 November 2010

Essay Merah Jingga

“Dengarkanlah hanya tuk kali ini kan ku katakan isi hatiku. Semuanya…kan kuungkapkan…coba kulihat apa kau mengerti…Karena semakin hari kita jalan bersama..Tapi aku tak mengenal siapakah dirimu…” (siapakah dirimu-Lobow)

Di hari itu…kita sempat bertukar mesra. Walau yang kedua, karib itu perlahan muncul. Jauh sebelum kamu merasa hebat. Lama sebelum cita dan karsa meninggikanmu di antara kami. Coba kau ingat hari itu. Waktu dimana kita tersadar, siapakah diri kita. Tengoklah sebentar puisi lugu untuk hati yang terhinggapi kasmaran. Dunia pun seakan berputar layaknya vertigo. Sejenak kita berlari dengan pekat malam dan bintang. Menuju nirwana, yang bagi kita tabu lalu pilu.

Kamu tahu…keindahan itu sejatinya tidak fana. Tak jua singkat. Tidak kosong karena waktu telah mengisinya dengan cerita dan tawa. Bahkan ketika jari kakimu tersandung di ujung jalan, tangis dan isak kemudian menyempurnakan semuanya. Tawamu pun muncul di segaris senyum dan peluh. Dari jauh doa dan pintaku memastikan kamu akan baik-baik saja. Anekdot dan majas cinta jadi media merah jambu hati kita. Berharap diri ini akan jadi yang terindah diantara yang terbaik dan terburuk. Ternyata itu tidak cukup!

Kini…karib itu pun perlahan lari. Pergi sebentar, kemudian datang lagi. Tanpa paksa niat baik timbul dan selalu saja menguatkan asa disepanjang perjumpaan. Tanpa diundang, semuanya datang dan pergi. Sampai kemudian pertanyaan muncul, pantaskah kamu untuk diperjuangkan?

Lama sekali aku tunggu perbincangan ini. Sekedar memastikan, aku tidak akan bertanya lagi. Hanya ingin menjelaskan bahwa persoalan rumit ini sejatinya sederhana. Kita pun berlakon seperti lelaki bunga dan wanita penyulam kristik. Mencoba mengelokkan setiap wicara kita disepanjang frasa dan kata. Kamu tahu…lama aku tunggu jalinan benang dibenakku terurai. Sampai kusampaikan maksud, bahwa suaraku tak sekedar diam. Tak pula pelan, karena kalau pun aku tak bersuara, aku tahu kamu mengerti. Masihkah kamu mengerti bait dan lirik surat merah jambu kita?

Mungkin kita akan selalu memahami “kita” (diri ini dan kamu, jika kamu mengakui) tanpa suara. Diam yang oleh kita begitu mengerti maksud kita kepada hati. Sama seperti kristik yang dirajut disela diam. Kita berusaha membuat setiap polanya terlihat elok di mata. Selalu…walau hanya aku yang selalu mencoba peruntungan kita. Bahkan ketika niat mendapatkanmu hadir dan pergi, selalu saja jaring laba-laba menghentikan langkahku. Sampai aku pun meragukan ketulusanmu menjadikan kristik itu benar-benar elok dimata kita.

Dan sepertinya aku mulai lelah saat hari berganti sore. Semua yang bagimu “mungkin“ hanya pelampiasan dari kekosongan pikir dan imajinasi adalah saat dimana ini harus berhenti. Mungkin sementara atau selamanya. Walau tidak dapat sepenuhnya hilang, ini semua akan dicoba dengan pelan-pelan…sampai kristik kembali terajut dari penyulam yang baru. Tanpa aku harus bertanya kepergian penyulam yang lama. Karena pada akhirnya, keindahan kristik tidak selalu harus dinikmati bersamamu di teras belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar