Minggu, 13 Juni 2010

Hiperealitas dan Kesalahan Kita

Ada satu hal menarik yang ditulis oleh Andri Ananto dalam sebuah kolom suplemen Harian Seputar Indonesia edisi Sabtu, minggu kedua Juni 2010. Menyitir dari substansi pesan yang ingin disampaikan, sejatinya manusia kadang dihinggapi dengan sindrom hiperealitas. Kalau Andri menganalogikan hiperealitas dari perspektif olah raga (sepakbola), saya akan mengambil sudut pandang dari beberapa “curhat” teman dan fenomena disekitar lingkungan saya.

Ketika kita mendambakan sesuatu hal, atau membanggakan angan-angan yang kita yakini, kadangkala kita bersikap sangat fanatik, bahkan egois dan destruktif. Semua yang kita yakini, idolakan, dan kita banggakan, terlihat lebih baik dari apapun dan siapapun. Dalam konteks nasionalisme, kita diberikan fakta bagaimana Hitler mampu membentuk sikap chauvinisme bangsa Jerman saat itu sebagai bangsa yang paling unggul dibandingkan ras yang lain. Di Inggris, seorang bayi yang baru lahir sudah dibaptis dengan dogma agama bernama “sepakbola” sebuah identitas patrimonial dan simbol-simbol ikatan sosial. Kisah Romeo dan Juliet juga menginterpretasikan kalau perjalanan cinta itu juga kadang dihinggapi hiperealitas. Hanya ingin membuktikan bahwa cinta mereka abadi, racun pun menjadi jalan terakhir untuk membuktikan hal itu. Sebuah pakem doktrinasi realitas dan fantasi yang salah, namun dipuja banyak orang sebagai simbol kisah cinta sejati.

Seperti Romeo dan Juliet, dari perspektif diri kita sendiri (termasuk saya), fanatisme kadang juga muncul saat kita mengagumi dan mencintai seseorang atau barang yang kita miliki. Saat kita jatuh cinta, hiperealitas kadangkala begitu erat menghinggapi pikiran dan hati kita.
Dalam konteks keilmuan, hiperealitas memiliki dua sifat yang dominan. Pertama, lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita membedakan realitas dan fantasi. Kedua, hiperealitas identik dengan solusi diangan-angan, yaitu proses menjadikan sesuatu nonempiris menjadi fakta hingga sulit dibedakan.

Saat kita sedang mencintai seseorang, hiperealitas itu tampak jelas dalam diri kita, tanpa kita pernah sadari. Kita kadang sulit membedakan realitas dan fantasi dalam pikiran kita. Semuanya tampak indah. Semuanya terlihat akan berjalan seperti dengan apa yang kita inginkan. Semuanya tampak tidak akan mengecawakan kita. Semuanya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, kebencian dan kekecawaan yang begitu mendalam berkecamuk dalam diri kita ketika apa yang kita harapkan jauh dari apa yang kita temukan.

Teman, percayalah…mencintai dan membanggakan apa pun dalam hidup ini secara berlebihan ternyata hanya akan menjadi bencana untuk diri kita. Terlalu percaya diri akan membuat kita besar kepala dan meremehkan orang lain. Dalam setiap agama, berlaku secara berlebihan hanya akan membuat manusia kecewa begitu dalam saat apa yang kamu fantasikan, tidak seindah dengan realitasnya.

Fana dunia telah dilukiskan oleh Tuhan hanya akan membuat kita bersiap untuk kecewa. Kadang, kita bertingkah konyol untuk menunjukkan bahwa kita tidak salah dalam mempertahankan argumentasi kita dihadapan orang banyak. Mungkin, saat itulah sebenarnya kita sedang melakukan kesalahan. Suatu hal yang tidak kita sadari sebelum orang lain menyadarkan kita kalau kita sebenarnya telah salah. Atau, ada dari sebagian kita (termasuk saya), belum sadar bahwa apa yang kita lakukan sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan karena kita begitu bersikap hirerealitas. Kita terlalu larut dalam hal-hal yang bersifat imajinatif. Memang bersikap imajinatif itu sangat indah. Ia lahir dari sebuah keinginan semata. Ia bersifat spontan. Kadang, ia lahir dalam bentuk kepolosan kita. Sebuah situasi yang sangat indah, namun perlahan membunuh realitas kita.

Ada beberapa orang memaksakan fakta yang sudah dikonversi kembali menjadi sebuah fakta yang non empiris. Dia tidak dapat membedakan antar keduanya. Cinta memang indah, namun keindahan itu akan terasa lebih indah saat semuanya dilandasi dengan realitas. Kita tidak dapat mengubah apa yang telah digariskan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Kita hanya dapat menjaga semuanya berada pada tempat yang semestinya. Sesuatu yang berada pada tempat dan waktunya akan jauh lebih nyaman, dan tentu saja indah.

Teman, patut kita renungkan, kita tidak boleh terjebak terus dalam situasi hiperealitas. Perjalanan hidup sejatinya mampu menjadikan kita dewasa saat hari berganti hari. Setiap hal yang kita temui kemarin dan hari ini, adalah pembelajaran dan bekal untuk esok hari. Hiperealitas memang menjadikan kita pemenang dalam mimpi-mimpi kita. Sebatas itu, kita tidak akan pernah memenangkan sesuatu apapun ketika kita tidak dapat membedakan realitas dan fantasi.

Termasuk cinta, kadang ia tidak dapat didefinisikan dengan realitas dan akal. Mereka yang tidak menyukainya, menyebutnya tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Hiperealitas memiliki dimensi wacana yang sangat luas. Kadang kita terjebak pada luasnya dimensi itu hingga kita tidak dapat memutuskan yang terbaik untuk diri kita. Menunggu, memilih, kecewa, dan bahagia adalah segelintir ekspresi dari sebuah reposisi hiperealitas menjadi realitas yang seutuhnya. Namun, disitulah sebenarnya letak keindahan hidup ini. Warna hidup ini dipenuhi dengan tangis dan tawa. Cinta dan benci. Madu dan racun. Hitam dan putih. Tuhan memposisikan manusia dalam sebuah pilihan agar ia lebih bijak dan menggunakan akal budinya.

Pada akhirnya, Tuhan dalam segala hikmat-Nya meminta kita untuk menunggu karena alasan yang penting!!! Bukan karena kita tidak dapat memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat. Tapi..sesuatu yang telah berubah sebenarnya tidak berubah. Dalam diri kita, kadang kita merasa telah berubah dari diri kita yang kemarin. Padahal…sebenarnya kita belum berubah dan beranjak dari diri kita yang kemarin. Karena kita masih terjebak dalam hiperealitas kita…pada mimpi indah kita…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar