Rabu, 09 Juni 2010

Deregulasi Perijinan Investasi sebagai Pengungkit Pembangunan Daerah

Setelah sewindu otonomi daerah berjalan, cermin perijinan investasi di daerah dewasa ini masih berkutat kepada masalah klasik seperti inefisiensi waktu, biaya, sampai tumpang tindih peraturan pusat dan daerah. Dampaknya pun sangat jelas, selain menghambat minat para investor untuk berinvestasi, peran swasta sebagai bagian dari aktor pembangunan terkebiri. Situasi ini tentu saja sangat riskan ditengah kompetitifnya iklim usaha antar negara. Selain berpotensi sebagai penghambat laju pembangunan daerah, perijinan investasi yang sulit cenderung menciptakan praktik bad governance dan perlambatan pengelolaan potensi daerah.

Tantangan
Pelayanan Perijinan Investasi Daerah

Saat ini dinamika perubahan kebijakan perijinan investasi pemerintah pusat kadangkala tidak mampu diikuti oleh daerah. Overlapping ini bukan hanya membawa dampak buru
k bagi iklim investasi; Adobsi kebijakan yang dilakukan daerah mentah-mentah justru menjadi kontra prestasi dari tujuan peraturan itu sendiri. Hambatan utama responsitas daerah tidak lepas dari minimnya inovasi dihampir semua daerah. Dukungan dana, budaya permisif, prinsip good governance yang belum maksimal, resistensi dinas teknis terkait karena kewenangannya diambil, serta SDM yang lack competence menjadi persoalan turunan penyelenggaraan perijinan di daerah. Debirokratisasi pelayanan perijinan pun sulit dilakukan. Di sisi lain, pembebanan PAD dalam proses pemberian ijin investasi menjadi gambaran bahwa orientasi Pemda/ Pemkot terhadap keberadaan investor tidak lebih sebagai lumbung pajak dan retribusi semata.

Belajar dari Kab Purbalingga.

Skema pembiayaan pembangunan daerah saat ini masih didominasi oleh APBN, APBD Propinsi dan Kab/kota. Paradigma lama ini secara tidak langsung meninggalkan peran swasta (investor) sebagai bagian dari pelaku pembangunan itu sendiri. Purbalingga sebagai daerah yang tidak memiliki sumber daya yang melimpah dan lokasi daerah yang tidak strategis menyadari pentingnya kesinambungan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam membangun ekonomi lokal dengan modal daerah yang dimilikinya. Pelayanan perijinan usaha sebagai pintu utama gerbang investasi pun di rombak sebagai awal menyingsing harapan. Perda yang tidak perlu dan cenderung menjadi penghambat diamputasi. Penggabungan dinas teknis dalam satu atap menghasilkan perijinan yang cepat, efisien, dan murah. Pelayanan perijinan yang responsif pun kini berbuah manis. Percepatan pembangunan Kab Purbalingga kini mengungguli saudara tuanya seperti Mojokerto, Banyumas, dan daerah eks Karesidenan Banyumas lainnya. Resep kemajuan Kab Purbalingga hanya sederhana, “strong political leadership” dan kemauan untuk berubah. Stimulus yang diawali dari penataan regulasi perijinan usaha memberikan multiplier effect yang signifikan. Berdirinya PMA dan PMDN mampu menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kesenjangan sosial yang tinggi. Tumbuhnya sektor usaha non formal kemudian pola kemitraan antara masyarakat dan pelaku usaha mampu menaikkan taraf hidup masyarakat lokal. Kota Purbalingga kini tidak lagi menyandang “Kota Mati”. Purbalingga telah hidup, bahkan dapat menghidupi warganya agar lebih hidup. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemudahan pelayanan perijinan usaha dari pemerintah daerah setempat.

Deregulasi kebijakan dan penguatan institusi

Berlakunya Asean-China Free trade Area (ACFTA) tahun 2010 akan menjadi ujian awal bagi daerah-daerah untuk berbenah diri. Banyaknya persoalan yang muncul dari aturan ini tidak lain karena ketidaksiapan pusat serta daerah untuk menghadapi ACFTA. Penguatan kapasitas daerah sebagai regulator harus dilakukan, khususnya regulator bagi penyelenggaraan investasi. Peran pendukung seperti pembinaan, fasilitasi, dan intermediasi juga diperkuat demi terciptanya model perijinan investasi yang fair market. Dukungan seperti pasar, modal, teknologi, tenaga kerja, networking serta budaya kerja yang kompetitif wajib diciptakan untuk membangun iklim usaha yang kondusif. Penataan perangkat daerah dan minimalisasi resistensi antar dinas harus dilakukan demi menghindari kooptasi birokrasi serta praktik rent seeking. Potensi daerah yang besar tidak akan mensejahterakan masyarakatnya secara berkesinambungan jika regulasi perijinan usaha tidak dikelola dengan baik. Kab Purbalingga telah membuktikannya. Potensi daerah yang minim, justru menjadi driving force jika pengelolaan kegiatan investasi dilakukan dengan baik tanpa harus meninggalkan lokalitas daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar