Jumat, 07 Januari 2011

Peluang dan Tantangan Perbankan Syariah Tahun 2011

Penguatan peran perbankan syariah selama kurun waktu lima tahun terakhir cukup menggembirakan. Selain bertambahnya kuantitas dan jangkauan layanan perbankan syariah, data pertumbuhan aset rata-rata di atas 33 persen per tahun yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) menjadi indikasi kestabilan perbankan syariah Indonesia. Bertambahnya penghimpunan dana capital inflow pihak ketiga dari petro dollar timur tengah dan penguatan minat masyarakat domestik akan mengungkit pertumbuhan perbankan syariah kita ditengah ekspansi perbankan syariah dan konvensional negara lain.

Pembiayaan Produksi vs Konsumsi

Pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2011 hasil studi Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB) dan International Labour Organization (ILO) berada pada kisaran angka 7-8 persen (inflasi 4-6 persen, BI) yang dipicu oleh pertumbuhan kredit. Optimisme ini juga tercermin dari proyeksi pembiayaan perbankan syariah pada 2011 oleh BI yang akan tumbuh sekitar 30-35 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini tentu menjadi modal bagus untuk perbankan syariah dalam melakukan ekspansi usaha ke industri produktif. Segmentasi seperti ritel, jasa dan perdagangan di sektor usaha kecil dan menengah harus menjadi prioritas untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin yang mencapai 13,3 persen (31,02 juta jiwa, BPS). Penguatan ekspansi pembiayaan sektor industri harus dilakukan karena 27 persen Produk Domestik Bruto (PDB) kita ditopang oleh sektor industri dibandingkan sektor konsumsi yang hanya menopang 6 persen PDB. Multiplier effect pertumbuhan sektor industri (kecil dan menengah) diharapkan menciptakan daya beli masyarakat dan diversifikasi inovasi sektor rill. Menggeliatnya industri kecil menengah diharapkan akan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang selama ini masih ditopang oleh barang impor. Ekspansi pembiayaan perbankan syariah juga harus menyasar kebutuhan kredit sektor usaha turunan dari industri kecil menengah yang berpotensi menciptakan 3,5 juta lapangan kerja. Demi menjaga lekuiditas dana pihak ketiga, agresifitas pembiayaan investasi pemerintah dan swasta seperti infrastruktur, properti, manufaktur, agribisnis, dan transportasi harus ditingkatkan selain juga investasi di portofolio SBSN syariah. Di sektor konsumsi, tren bisnis waralaba (franchise) yang terus menggeliat di masyarakat dewasa ini juga menjadi prospek pembiayaan dan penghimpunan dana yang menjanjikan bagi perbankan syariah agar pembiayaan kredit konsumsi dan produksi tetap proporsional.

Regulasi dan Otonomi Kelembagaan

Keluh kesah pelaku usaha terhadap regulasi investasi dan penyelenggaraan perbankan syariah mengindikasikan hambatan berinvestasi masih ada. Ini menjadi tugas berat pemangku kebijakan untuk menciptakan iklim investasi syariah yang kondusif, akuntabel dan mudah. Oleh karena itu, masalah seperti aturan pajak yang belum menjadi insentif bagi investor, kejelasan hukum operasionalisasi perbankan syariah, dan instrumen keuangan syariah menjadi agenda yang harus dituntaskan. Diperlukan sinergitas dari institusi terkait seperti BI, Bappepam LK, BEI, Kemenkeu, DPR, dan Dewan Syariah Nasional dalam menyusun landasan perundangan dan inovasi produk syariah. Perbaikan regulasi ini juga harus didukung oleh otonomi pengelolaan managemen dari bank induknya ketika melakukan konversi bank syariah. Percepatan regulasi dari bank induk harus dilakukan untuk memaksimalkan peran dan posisi tawar perbankan syariah bagi pelaku usaha. Otonomi managemen ini juga meliputi pengelolaan dana haji oleh perbankan syariah yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Agama. Konversi dana haji dari portofolio ke bentuk pembiayaan kredit kepada sektor rill diharapkan akan mengembalikan fungsi Kementerian Agama sebagaimana mestinya. Harmonisasi regulasi dan penguatan peran perbankan syariah melalui otonomi pengelolaan managemen diperlukan untuk meningkatkan perbaikan sistem pengawasan, pengembangan SDM, peningkatan kapasitas dan kualitas layanan, ekspansi dan kesetaraan layanan dengan bank konvensional, penguatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Titik Tolak Tahun 2011

Keseimbangan lekuiditas penarikan dana pihak ketiga kepada sektor pembiayaan perbankan syariah saat ini jauh lebih baik dari bank konvensional (90 persen, BI). Hal ini akan menjadi modal dasar penguatan peran perbankan syariah pada tahun 2011. Kejelian perbankan syariah dalam melihat kebutuhan capital dan pengaturan margin comprehensive empowerment akan menentukan kemenangan persaingan usaha dan disaat menguatnya integrasi pasar bebas regional. Perubahan paradigma pembiayaan perbankan syariah dari sektor konsumsi ke produksi juga sangat penting untuk memaksimalkan dana pihak ketiga. Berita akan masuknya Qatar Islamic Bank ke Indonesia menjadi indikasi positif bahwa potensi pasar domestik perbankan syariah kita sebenarnya menjanjikan. Oleh karena itu, perbaikan regulasi dan payung hukum, management liability asset, dan insentif pajak harus dilakukan. Kita cukup optimis karena tiga hal ini sudah dapat diselesaikan oleh pemerintah pada akhir tahun 2010 walau masih diperlukan penyempurnaan. Hal lain yang juga akan mempengaruhi perkembangan perbankan syariah kita adalah keberhasilannya dalam mencapai standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional. Dalam arsitektur pengembangan perbankan syariah BI, tahun 2011 adalah fase memfokuskan peningkatan aktivitas kualitas layanan dan operasional. Seberapa jauh inovasi produk dan pengembangan strategi bisnis, infrastruktur, penyediaan layanan, kualitas dan kuantitas SDM akan sangat menentukan arah dan perkembangan entitas bisnis syariah. Hal-hal inilah yang akan menopang industri perbankan syariah Indonesia di tahun 2011, sekaligus menguatkan kelembagaan perbankan syariah sebagai rahmatan lil’alamin bagi masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar