Jumat, 04 Maret 2011

Menuju Demarkasi Kongsi Koalisi Pak Beye

Kasak kusuk perpolitikan Indonesia dua minggu terakhir ini kembali menghangat. Diawali dari kisruh voting hak angket DPR untuk membongkar praktik mafia pajak di DPR, masalah ini kemudian menjalar sampai ke ranah eksekutif. Pak SBY sebagai  presiden sekaligus pembina Partai Demokrat yang nota bene adalah partai penyokong utama Pak SBY di DPR dan Kabinet, marah bukan kepalang karena perilaku mitra partai koalisinya yang tidak sepaham dalam menyikapi permintaan hak angket di legislatif. Singkat  cerita, sikap fraksi-fraksi mitra koalisi di DPR terbelah ketika voting dilakukan. Adalah Partai Golkar dan PKS yang membelot dari koalisi karena secara terang benderang mereka mendukung hak angket mafia pajak yang sebelumnya dikomandoi oleh partai oposisi. Pecah kongsi koalisi pun terjadi!

Gertak Sambal Pak Beye

Publik cukup terhenyak melihat kemarahan Pak SBY saat menegur partai mitra koalisi yang membelot dan tidak sejalan lagi dengan kebijakan untuk menolak hak angket mafia pajak. Partai Golkar dan PKS dipandang oleh Pak SBY sebagai pengkhianat dan tidak loyal lagi dengan garis kebijakan koalisi. Lebih lanjut, dua partai ini juga menyalahi dan melanggar code of conduct koalisi yang dibuat saat pembentukan KIB II dilakukan Pak SBY. Respon yang diberikan oleh Golkar dan PKS pun tidak kalah gertak. Mereka memandang apa yang mereka putuskan tidak bertentangan dengan aturan main koalisi. Atas nama rakyat, mereka melihat hak angket mafia pajak dapat menjadi salah satu instrument penting untuk membenahi dan membongkar karut marut pengelolaan perpajakan kita. Selain itu, suara akar rumput Golkar dan PKS dipelbagai daerah juga menyatakan untuk mendukung hak angket.  Di sisi yang lain, ketulusan Golkar dan PKS untuk membawa aspiriasi rakyat ditanggapi dengan argumen kontra oleh Demokrat. Menurut mereka, dibentuknya Panja DPR yang didalamya juga terdapat perwakilan fraksi Golkar dan PKS dirasakan sudah cukup untuk merepresentaskan sikap mereka dalam memperbaiki issue yang diangkat dalam voting hak angket mafia pajak. Lebih lanjut menurut kubu Demokrat berkilah, Panitia Kerja (Panja) DPR yang sudah bekerja akan menjadi sia-sia jika nantinya hak angket juga dilakukan. Selain mengebiri hasil kerja Panja DPR, dari sisi waktu, tenaga, dan biaya juga akan terkuras dan dinilai tidak efisien.

Apapun itu, murka Pak SBY kepada Golkar dan PKS bukan sekedar ancaman kosong. Langkah Demokrat yang merapatkan barisan kepada PDIP dan Gerindra (yang selama ini dikenal sebagai oposisi) menjadi langkah kongkrit untuk mensukseskan bongkar pasang kongsi koalisi. Keluarnya Golkar dan PKS dalam hitung-hitungan matematis harus diisi oleh masuknya pengganti mitra koalisi yang sepadan dari sisi hak suara dan strategis calon mitra partai. Gerindra telah menyatakan siap menggantikan PKS. Hal ini terlihat dari membelotnya sikap Gerindra kepada Demokrat ketika voting hak angket dilakukan. Langkah Gerindra ini kemudian menjadi kunci gagalnya hak angket di DPR karena hasil voting memenangkan Koalisi dengan selisih hanya dua suara. Sedangkan dari PDIP, terbelahnya suara menerima atau menolak pinangan Demokrat juga masih tanda tanya. Bertemunya Puan Maharani  (anak kandung Megawati Soekarni Putri, sekaligus ketua umum PDIP) dengan Pak SBY yang ditengarai akan menjadi kunci bergabung tidaknya PDIP kepada pemerintah juga masih simpang siur hasilnya. Apalagi, hasil kongres PDIP jelas mengamanatkan partai moncong  putih ini menjadi oposisi. Ini soal harga diri. Sebagian besar kader PDIP menganggap akan lebih banyak ruginya jika PDIP bergabung dengan Pemerintah Pak SBY.  

Pun demikian, manuver partai-partai  politik belakangan ini menjadi tontonan dan guyonan yang menyegarkan (semu) bagi semua yang melihat. Menjadi segar karena keributan ini sejatinya tidak akan mempengaruhi perbaikan dan efektifitas program pemerintah.  Yang terjadi justru menghambat dan kemudian menggerus kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjawab masalah bangsa yang kian pelik. Pak SBY tidak sadar bahwa ancaman nyata yang sebenarnya datang dari luar negara kita. Maraknya revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara telah mengerek harga minyak dunia menembus harga 100 USD. Untuk pengiriman bulan Aplil 2011 saja, menurut situs bloomberg, harga minyak dunia sudah sampai pada kisaran 110 USD. Belum lagi ancaman ketahanan pangan domestik kita serta melambungnya harga pangan dunia. Dua hal ini yang akan menjadi tantangan dan masalah yang akan langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat kita. Belum lagi ketahanan energi nasional kita yang hanya cukup untuk dua minggu ke depan. Bandingkan dengan Jepang dan Singapura yang notabene tidak memiliki sumber daya energy, tapi ketahanan energi nasionalnya mencapai waktu lebih dari seratus hari. Ironis memang! Dan kenyataannya, para pemimpin kita tidak peduli dengan hal ini. Acara untuk menanam pohon bagi perbaikan lingkungan saja, oleh presiden diindahkan demi mengurusi kongsi koalisi yang sedang diambang kehancuran. Sebuah hal yang sejatinya tidak perlu dibuat menjadi tragedi nasional yang menyita banyak tenaga dan waktu, serta mengorbankan hal-hal yang esensial.

Besar kecilnya sebuah koalisi di negeri ini pada akhirnya akan ditentukan oleh budaya transaksional politik dan kekuasaan. Atas nama kepentingan partai, masalah pecah kongsi koalisi pada hakikatnya hanya akan membuang energi  presiden dan rakyat selama penyatuan kepentingan tidak pernah sepaham (dan tidak akan pernah sepaham selamanya). Pak SBY tidak usah peduli dengan minimnya dukungan di eksekutif dan legislatif jika memang Golkar dan PKS keluar dari koalisi. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, presiden akan sangat sulit digulingkan karena tahapannya sangat panjang dan lama. Membangun koalisi yang solit, ramping, dan responsif jauh lebih penting bagi Pak SBY saat ini, daripada membuat koalisi yang gemuk tapi banyak penyakit dan masalah.

Selama ini manuver partai konservatif macam Golkar memang tidak dapat disangkal. Kelihaian dan jam terbang kadernya kadang memecah belah dan merusak stabilitas pemerintahan walau tema yang mereka usung demi rakyat dan demi tanah air tercinta. Tidak hanya kali ini saja Golkar berulah, pada masa kepemimpinan Ibu Megawati dan Pak SBY pada KIB  pertama, sikap Golkar yang keluar dari koalisi ketika masa pemerintahan akan memasuki periode akhir, menjadi pertanyaan mendasar bagi kita semua dalam  memandang perihal kekompakan dan kesolitan dalam membangun komitmen sebuah koalisi yang sehat dari Golkar. Wajar jika kemudian Golkar dicap sebagai partai siluman atau partai gelap. Sikap cuci tangan dan kamuflase Golkar dalam mengungkap masalah mafia pajak juga masih dipertanyakan oleh banyak kalangan. Tersangkutnya nama Pak Ical (Ketua umum Partai Golkar) dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan juga menjadi bola panas dalam menyikapi manuver Golkar di Kabinet dan DPR kali ini. Sebagai partai senior dan memiliki banyak kader jenius nan lihai dalam melobi dan berwacana, keberhasilan Golkar kali ini patut kita tunggu setelah keberhasilan-keberhasilan sebelumnya.

Menanti sikap Pak Beye

Bagaimanapun, bola panas pecahnya kongsi koalisi kali ini berada di tangan PDIP. Jika mereka jadi bergabung dengan pemerintah, maka permasalahan pelik ini akan selesai. Namun, manuver Taufik Keamas dan beberapa kader PDIP yang mendukung untuk bergabung dengan koalisi juga harus berhadapan dengan hasil Kongres PDIP. Penodaan akan hasil kongres yang memutuskan PDIP menjadi oposisi terhadap pemerintah akan dibayar mahal dengan ketidakpercayaan para pendukung PDIP di akar rumput. bukan tidak mungkin PDIP akan ikut terseret dan terpecah belah dari manuver politik rivalnya.

Bagi masa depan PKS sendiri, manuver partai dalam mendukung hak angket mafia pajak untuk menyenangkan pendukungnya (dan menjaga wibawa partai dimata publik) akan dibayar mahal ketika mereka jadi didepak dari koalisi. Namun demikian, keluarnya PKS dari koalisi juga akan menjadi dosa terbesar SBY kepada partai moderat ini karena dari sisi historis, kedekatan PKS dan Pak SBY sangat terlihat dan telah terbina dengan baik dari mulai Pemerintahan KIB pertama dibentuk sampai dengan saat ini. Naiknya SBY sebagai presiden pada periode kedua kali ini juga tidak lepas dari keringat PKS yang ikut mengatur dan mencitrakan SBY untuk mengerek kembali popularitas SBY di mata rakyat dan dimata hasil survei pelbagai lembaga suvei nasional. Ini akan mejadi ujian sikap tegas SBY yang sangat sulit dibaca karena pada umumnya seringkali berakhir tidak tegas ketika diimplementasikan di lapangan.

Secara kasat mata, beraninya manuver-manuver partai pendukung koalisi seperti Golkar dan PKS mencerminkan adanya masalah dalam Setgab Koalisi. Ketiadaan komunikasi politik yang transparan dan intensif berimplikasi kepada karut marutnya pengelolaan kongsi koalisi. Manajemen koalisi yang salah kaprah juga mengakibatkan tidak sepahamnya mitra-mitra koalisi dalam membaca code of conduct yang telah disepakati. Lebih dari itu, ketiadaan komunikasi yang baik juga berakibat kepada sering gagalnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam tataran formulasi dan legislasi di DPR, bahkan ketika kebijakan itu diimplementasikan persoalan koordinasi dan kesepahaman tidak jarang muncul. Ini adalah buah dari sistem presidensial setengah hati yang kita anut, ditambah lagi dengan mekanisme kepartaian yang bercirikan multipartai ikut menggerus stabilitas dan kesolitan eksekutif.

Menurut hemat penulis, Pak SBY kali ini harus membangun komunikasi mitra koalisi yang efektif dan intensif serta tidak menitikberatkan pembuatan dan keputusan kebijakan pada salah satu mitra koalisi saja. Kecemburuan PKS yang tercermin dari manuver-manuver politik partai yang tidak lazim kita temui pada masa lalu adalah bukti kegerahan dan ketidakpuasannya kepada pemimpin oposisi (Demokrat). Leadership Pak SBY dalam menjalankan koalisi juga harus diperbaiki, terutama dari sisi kualitas. Mencla menclenya sikap dan kebijakan Pak SBY dalam menelaah dan memutuskan sebuah persoalan berimplikasi kepada sikap masing-masing mitra koalisi yang tidak dapat dikendalikan. Gertak sambalnya Pak SBY dalam pelbagai issue nasional seperti polemik penetapan Sri Sultan Hamangkubuwono sebagai pemimpin Yogyakarta dan perkembangan hak angket Century, juga menjadi faktor penentu sikap mitra koalisi dan masyarakat kebanyakan dalam memandang apa yang dipikirkan dan lakukan Pak SBY sebagai gertakan sambal. Belum lagi pertempuran Demokrat versus Golkar di ranah olah raga seperti kisruh PSSI yang tidak kunjung usai mencerminkan ketidaksolitannya koalisi yang dibangun. Memang domain perseturuan dua kubu ini tidak secara jelas terlihat. Namun, aroma rivalitas dan penunjukkan eksistensi partai atau golongan tertentu melalui ucapan dan tarik ulur dukungan di DPR maupun di Kabinet menjadi sinyal dalam membaca pertempuran dua kelompok ini untuk agenda 2014.

Kita tunggu saja apakah Pak SBY kali ini benar-benar menjalankan ancamannya, atau akan kembali antiklimaks seperti yang sudah-sudah. Yang pasti, banteng moncong putih kini mulai keluar dari kandangnya untuk mencari suasana baru. Mungkin ia sudah mulai bosan di dalam kandang yang kadung bau dan tidak nyaman pada kenyataannya. Garuda tanpa sayap pun kini telah mulai turun dari peraduan untuk mencari mitra dan eksistensi politik.  Garuda tanpa sayap ini mulai bercengkrama dengan bintang bermata segitiga. Lain halnya dengan bulan sabit dan pohon beringin yang sedang mencari keteduhan karena resah gelisah memikirkan posisinya yang mulai terancam. Apapun itu, cita rasa politik negeri ini masih terasa legit untuk dinikmati. Kita sebagai rakyat tentunya rasannya selain menyejukkan hati, juga menyenangkan jiwa, lagi sehat dan bervitamin. Koalisi tambun atau ramping bagi kita tidak ada masalah. Selama tubuhnya sehat dan bervitamin, kita yakin tubuh yang demikian akan aktif dan bekerja dengan benar dengan pikiran dan raga yang sehat pula tentunya.!

Menyitir dari pendapat dari kader senior partai Demokrat Ahmad Mubarok, Pak SBY dalam bertindak memang sangat hati-hati. Sampai-sampai antara hati-hati dan ketidaktegasan sulit dibedakan, termasuk dari kadernya sendiri. Tapi intuisi Pak SBY oleh mereka yang dekat dengannya tidak meleset dan selalu berakhir baik. Contoh nyata lanjut Mubarok, ketika KIB pertama berlangsung, kader partai Demokrat mendapat jatah kursi menteri lebih sedikit dari pada partai Bulan Bintang. Kader Demokrat marah dengan keputusan Pak SBY. Tapi, SBY menyikapinya dengan ucapan “ Orang sabar akan menang diakhir”. Kenyataannya memang demikian, Pada periode kepemimpinan yang kedua, suara Demokrat melonjak tajam, bahkan menang pemilu. Sedangka Partai Bulan Bintang malah hancur tidak berbekas dan kalah jauh dari segi perolehan suara. Entahlah…berlama-lamanya Pak SBY menikmati kegamangan ini terinspirasi dari cerita Pak Mubarok atau karena memang sikap-hatinya karena tidak adanya nyali untuk menyentil mitra koalisinya, hanya Tuhan dan Pak SBY yang tahu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar