Sabtu, 17 Juli 2010

Menyempurnakan Sebuah Ibadah

Hari ini, banyak pelajaran hidup berharga yang dapat dipetik. Entah kenapa, secara tidak sengaja kaki ini begitu ringan untuk melangkah ke pesta pernikahan seorang sahabat. Hal yang sebenarnya sangat jarang saya lakukan ketika undangan datang ditujukan kepada saya. Bagi sebagian orang, pesta pernikahan mungkin sebuah hal yang biasa dan hanya sekedar formalitas untuk menunjukkan eksistensi dan kekerabatan kitna kepada teman, keluarga dekat, kerabat, atau rekan kerja. Namun, dibalik formalitas itu, ternyata banyak hal yang akan kita dapatkan dari perjamuan dua insan yang diberkati Tuhan untuk menjadi pasangan di dunia dan akhirat (semoga).

Perjamuan pernikahan memberikan pesan sekaligus teguran bagi kita (termasuk saya), bahwa manusia secara kodrati akan mengalami hal yang sama dengan orang yang kita beri ucapan “selamat menempuh hidup baru” dalam perjamuan pernikahan. Mereka berdua (mempelai pasangan) yang akan kembali mengingatkan kita tentang sebuah realita bahwa dalam satu fase tertentu, kita juga harus memutuskan untuk merancang, mengeksekusi, dan pada nantinya akan memetik hasil dari sebuah rencana pernikahan.

Kita berlakon sebagai aktor yang sebenarnya (tidak hanya sekedar sebagai penikmat dari proses persiapan yang begitu panjang). Kita akan bergulat dengan jadwal gedung tempat resepsi yang sudah penuh. Kita akan sibuk memilih makanan yang akan disajikan kepada para undangan tamu. Kita akan berkutat dengan desain undangan yang dapat mewakili dua individu yang bertolak belakang. Kita pun akan sibuk meyakinkan dan memastikan semua acara terselenggara dengan baik. Berdua, kita akan mengawali petualangan yang indah. Meski itu dimulai dari pelabuhan yang bernama “persiapan nikah”, buat sebagian orang, hal itu mungkin adalah awal yang indah sebelum kita mengarungi samudra rumah tangga nantinya. Dan saya termasuk orang yang mengamini argumentasi ini.

Lihatlah mereka! Dengan adanya perbedaan diantara mereka, keindahan justru dapat dihadirkan dalam ruang yang ramai. Lihatlah mereka! Dengan cinta, perbedaan itu kemudian menjadi sebuah komitmen untuk menerima segala konsekuensi pembeda dalam diri mereka berdua. Tuhan telah berjanji bahwa perbedaan itu akan tertutupi dengan niat yang tulus untuk beribadah hanya kepada Tuhan. Bukankah itu begitu indah, jika kita mampu memaknainya?

Sahabatku…singkirkan egomu untuk berhenti berpikir bahwa perbedaan budaya, status keluarga, harta kekayaan, cara kita berpikir, akan menghalangi niat sucimu untuk menghalalkan pendamping hidupmu. Singkirkan pula dalam benakmu, dua insan dengan karakter yang sama, cara berpikir yang sama, dan latar belakang yang sama, akan menjadikanmu menjadi pasangan yang hambar. Karena semuanya akan diuji oleh waktu dan keadaan.

Kita “sama” dan “beda” adalah dua hal sama. Sama dalam arti ingin mencari sebuah makna hidup yang sempurna bagi diri dan pasangan kita. Bukan berarti ketika kita berangkat dengan sifat yang “berbeda” kita akan mendapatkan akhir yang indah. Dan jangan pula kamu berpikir dengan sebuah “kesamaan”, nantinya kita akan menemui hal yang sama setiap hari dari pasangan kita. Kedewasaan kita akan tumbuh saat kita bertoleransi dengan pasangan kita. Saat kita dapat saling bertenggang rasa dan mampu melewati sebuah ujian besar. Bukankah itu menjadi hal yang paling indah?

Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Tuhan, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Tuhan dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Tuhan hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Tuhan dan untuk Tuhan. Begitupun sebaliknya, kadang kita harus berangkat dari sebuah perbedaan untuk mendapatkan sebuah kesamaan karena Tuhan memberikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda.

Apapun itu, betapa indahnya pertemuan dua dua insan yang saling mencintai dan merindukan Tuhan. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Tuhan, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani. Menyitir dari surat (Al Izzah: 18), sebagai seorang muslim, kalau kita berkualitas di sisi Allah SWT, pasti yang akan datang juga seseorang (jodoh untuk kita) yang berkualitas pula. Terlepas kita berangkat dari sebuah perbedaan atau kesamaan.

Pada akhirnya, kunjungan pesta pernikahan akan terasa lebih bermanfaat saat kita mampu mereorientasi sebuah pernikahan sebagai sebuah fase penyempurnan ibadah kita, dari pada sekedar ajang menikmati hidangan makanan yang disajikan. Dan jangan kamu khawatir kepada kalian yang belum memiliki pasangan akan sulit memasuki fase itu karena selama kita percaya dengan kuasa Tuhan, cepat atau lambat, keindahan itu akan datang tepat pada waktunya. Begitupun dengan kalian yang sedang berusaha meyakinkan orang yang selama ini menjadi obsesimu untuk memasuki fase itu. Yakinkan hatinya kalau kita layak untuk mendampingi mereka. Yakinkan dia, bahwa sebuah komitmen itu menerima konsekuensi dari segala kekurangan dari pasangan kita.

Tapi, kamu juga harus berpikir realistis bahwa apapun itu, jika kamu mengawalinya dengan keterpaksaan dan rasa kasihan, semuanya hanya akan berakhir dengan kesedihan. Jangan pula paksakan hatimu untuk semakin terbenam kepada ketidakpastian jika kamu merasa cukup untuk meyakinkan cintanya (yang belum pasti). Karena sebuah kepastian akan selalu hadir hanya akan hadir ketika Tuhan mengingatkan kita dengan cara-cara yang tidak kita duga. Menghadiri pesta pernikahan salah satunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar