Selasa, 26 Januari 2010

Wakaf Sebagai Alternatif Pendanaan Sektor Pelayanan Publik (Urgensi Solusi Ditengah Krisis Finansial Dunia)

Krisis keuangan di Amerika Serikat telah memberikan efek multidimensi terhadap kelangsungan kegitan ekonomi bagi hampir semua bangsa saat ini. Di dalam negeri, efeknya sudah terasa oleh kalangan pengusaha dan masyarakat. Bursa saham Indonesia anjlok cukup dalam yang kemudian diikuti oleh penurunan pertumbuhan ekonomi domestik disektor finansial dan sektor riil. Secara logika jika krisis finansial ini tidak kunjung selesai, dapat dipastikan perubahan alokasi anggaran dan pembiayaan pembangunan akan ikut berubah. APBN- Perubahan untuk tahun 2009 akan terkoreksi seiring perubahan kebijakan fiskal dan ekonomi yang pastinya lebih diprioritaskan oleh pemerintah dalam menyelamatkan perekonomian. Lalu bagaimana dengan sektor pelayanan publik? Berkaca kepada komitmen pemerintah selama ini, bukan tidak mungkin sektor ini akan ikut tergerus. Alokasi dana pendidikan yang akan dialokasikan 20 persen untuk tahun 2009 bukan tidak mungkin akan direvisi mengingat keterbatasan APBN pemerintah pusat. Dalam situasi seperti ini, pengelolaan dana swadaya masyarakat untuk menjadi pengungkit partisipasi dalam pendanaan pelayanan publik seharusnya diberdayakan sebagai salah satu alternatif solusi.

Krisis keuangan yang terjadi sebenarnya mencerminkan kegagalan sistem kapitalis sebagai pemimpin sistem ekonomi dunia saat ini. Melihat sistem kapitalisme yang ada saat ini, dapat diidentifikasi bahwa pada hakikatnya ada dua pasar sebagai tumpuan utamanya, yaitu pasar riil dan pasar non rill. Pasar “non riil” yang bertumpu kepada pasar modal, saat ini tidak mampu lagi bersinergi dengan pasar “riil” dalam menjalankan roda ekonomi. Akibat asumsi “spekulatif” yang sangat dominan di pasar modal (pasar non riil) membuat keruntuhan fundamental ekonomi yang terjadi di bursa saham tidak dapat dihindari. Hal ini diperparah dengan persentase pasar “rill” dan “non rill” di Amerika yang perbandingannya mencapai 1:700. Ketika lantai bursa saham ambruk, dampaknya akan langsung terasa bagi sektior rill serta daya beli ekonomi masyarakat.

Sistem ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi baru lambat laun mulai dilirik untuk dijadikan solusi dalam menjawab permasalahan ini. Akan tetapi, kesempatan dan pembuktian terhadap sistem syariah yang masih sangat terbatas serta political will dari birokrasi yang kurang, membuat keunggulan sistem ini masih kurang impresif dan cenderung tidak terlihat selalu menjadi bayang-bayang sistem konvensional. Kelebihan utama dari sistem syariah salah satu satunya adalah tidak mengenal adanya pasar “non rill”. Sistem ini akan selalu menyertakan sebuah jaminan dalam melakukan transaksi ekonomi. Hal-hal yang sifatnya “spekulatif” yang sangat dominan di dalam sistem kapitalis cendurung tidak ada dalam sistem syariah. Kemudian dalam pengelolaan sumberdaya sistem syariah, terdapat dua hal penting. Ada sumberdaya yang memang diperbolehkan untuk dikelola oleh individu dalam bertransaksi ekonomi, akan tetapi ada juga sumberdaya yang hanya boleh dikelola oleh negara ketika berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Wakaf mungkin dapat dijadikan salah satu instrumen atau solusi untuk pembiayaan alternatif pelayanan publik dalam kerangka sistem syariah. Saat ini dikalangan masyarakat luas mulai muncul istilah cash waqf yang sering diterjemahkan sebagai wakaf tunai. Bila menilik objek wakafnya yang berupa uang, kiranya lebih tepat jika cash waqf diterjemahkan sebagai wakaf uang. Praktik wakaf uang atau wakaf tunai sebenarnya telah dilakukan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi pada zamannya. Artinya, bentuk wakaf uang atau wakaf tunai ini memang telah muncul sejak lama dan diaplikasikan oleh kelompok masyarakat tertentu yang menganut paham tertentu sebagai salah satu bentuk ibadah.

Perbincangan tentang wakaf uang semakin mengemuka ketika perkembangan sistem perekonomian dan pembangunan yang ada memunculkan inovasi-inovasi baru dewasa ini. Menurut M.A Manan, wakaf uang mulai diidentikasikan sebagai sebuah instrumen financial (financial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) yang mampu berafiliasi dengan perkembangan perekonomian dunia saat ini.

Ini menandakan bahwa sebenarnya berkembangnya wakaf tunai yang semakin cepat, mulai menjadi bagian penting dalam pembiayaan perekonomian terutama di sektor perdagangan dan invetasi bahkan pembiayaan pelayanan publik. Wakaf mulai menjadi instrumen keuangan dan perbankan sosial yang terlembaga dalam kerangka ketatanegaraan sebagai konsekuensi dari majunya sistem perekonomian Islam pada saat ini. Semakin berkembangnya peranan wakaf, terutama dalam bentuk uang, dilatarbelakangi juga oleh gagalnya sistem kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mampu menjawab permasalahan mendasar mengenai prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di dunia dewasa ini.

Persoalannya saat ini di Indonesia adalah pengelolaan wakaf masih belum optimal. Berdirinya Badan Wakaf Indonesia (BWI) mungkin menjadi angin segar dalam memajukan wakaf. Namun peran BWI dalam memajukan potensi wakaf juga harus ditopang dengan kebijakan yang tepat, mulai dari pembentukan kesadaran mengenai pentingnya wakaf sampai dengan penggunaan dana wakaf sebagai sebuah instrumen dana sosial. Artinya dibutuhkan penjabaran fungsi wakaf secara jelas dan terlegitimasi sebagai salah satu katup alternatif pembiayaan pelayanan publik. Kemampuan “swastanisasi” pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola dana, khususnya wakaf juga menjadi persoalan bagi terhambatnya sektor pembangunan pelayanan publik yang mandiri. Faktanya saat ini dana pemerintah daerah lebih banyak diparkir di Bank Indonesia untuk diinvestasikan disektor “non rill”. Bank Indonesia (BI) mencatat ada sejumlah dana milik Pemda yang menganggur di perbankan yang mencapai Rp 90,96 triliun. Celakanya, oleh bank-bank, termasuk bank pembangunan daerah (BPD), dana tadi ”diparkir” di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, jika disalurkan ke sektor riil melalui pemberian kredit dan pembangunan infrastruktur, dana itu diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian dan mengurangi beban BI yang harus menanggung bunga SBI, termasuk pembiayaan pelayanan publik.

Dana besar yang dimiliki Pemda saat ini nyatanya tidak memiliki efek yang signifikan terhadap perbaikan pelayanan publik, baik dari kualitas maupun kuantitas. Kompromi politik dan sosial dalam birokrasi serta praktik KKN tampaknya masih menjadi hambatan utama dalam penyerapan anggaran dana. Dalam UU otonomi Daerah No.33 Tahun 1999 dan 2004 tentang perimbangan keuangan daerah pusat dan daerah memang tidak mengakomodasi sumber pendanaan dari masyarakat, termasuk wakaf. Sektor pajak, retribusi, laba APBD dan APBN serta alokasi dana umum dan khusus dewasa ini masih menjadi motor utama sumber dana Pemda. Hal ini tampaknya menjadi titik lemah yang harus diperbaiki karena dana swadaya seperti wakaf tidak muncul sebagai alternatif pendanaan utama.

Dari sisi potensi, menurut CSRC (Centre for the Study of Religion and Research) aset wakaf di seluruh Indonesia adalah 362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun. Menurut PIRAC potensi wakaf untuk tahun 2007 nilainya sekitar tiga triliun. Sayangnya hampir semua asset wakaf tersebut masih cost centre sehingga masih memerlukan investor untuk memproduktifkannya. Implikasinya, realisasi dana wakaf yang terkumpul pada saat ini juga masih sangat kecil dari potensi yang ada yaitu sekitar dua milyar per tahunnya. Mungkin kedepan cash waqf dapat dijadikan alternatif solusi pendanaan bagi sector publik yang sifatnya sosial seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A Mannan dengan Social Investment Bank Limited (SIBL) untuk mengelola Sertifikat Wakaf Tunai di negara Bangladesh. SIBL telah merubah persepsi masyarakat Bangladesh bahwa ibadah wakaf bukan hanya didominasi orang-orang kaya, tetapi juga dapat diamalkan oleh orang banyak sesuai keadaan keuangan masing-masing. Selain itu pola seperti ini lebih mudah untuk diamalkan, karena tidak memerlukan proses administrasi yang rumit seperti halnya wakaf atas benda tidak bergerak yang selama ini masih mendominasi di masyarakat Indonesia.

Perubahan sistem kebijakan pendanaan sektor pelayanan publik yang radikal dibutuhkan dalam mencari solusi ditengah krisis financial. Wakaf dapat dijadikan alternatif baru dalam menggalang dana swadaya masyarakat yang dikelola secara terlembaga. Penyakit birokrasi seperti sindrom warlodisme (mumpung diserahi wewenang) harus di benahi dalam mengefektifkan wakaf sebagai dana publik. Sindrom warlodisme biasanya menyebar bersama dengan pungli dan rente ekonomi yang berhubungan erat dengan harta negara seperti APBD. Akan tetapi pelaksanaanya cenderung sarat dengan penyimpangan-penyimpangan dan tindak KKN. Kekhawatiran muncul kalau wakaf dikelola kembali oleh aktor birokrasi saja. Hal ini mengharuskan peran masyarakat publik untuk ikut berpartisipasi dalam suatu proses perumusan kebijakan publik. Partisipasi tersebut di antaranya melalui keterlibatan masyarakat secara langsung ataupun tidak dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi wakaf di masyarakat dalam membangun pelayanan public yang lebih baik dan merata.

Referensi:

• Djunaidi, Achmad dan ThobiebAl-Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, Depok: Mumtaz Publihing, 2008
• Puriyadi, Siasat Anggaran, Posis Masyarakat Dalam Perumusan Anggaran Daerah, Penerbit : Tiara Wacana, Yogyakarta (resensi buku dipublikasikan di alamat website: http://gp-ansor.org/?p=3727, Efisiensi Dana untuk Rakyat, oleh: Ahmad Bahaudin)
• http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kolom/1365.php., SBI, Otonomi Daerah, dan Prospek Ekonomi Daerah, oleh:Ryan Kiryanto
• www.suhrawardilubis.multiply.com, Wakaf Produktif dan Pembangunan, oleh: Suhrawardi K Lubis
• www.bw-indonesia.net, Aset Wakaf, Sangat Besar tapi Belum Produktif, Artikel ini telah dimuat di Republika, Selasa, 8 Juli 2008
• www.tabungwakaf.com, Masa Depan Wakaf Indonesia, Herman Budianto, sumber : Majalah FOZ Edisi : Februari-Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar