Dalam tiga dasawarsa terakhir, Islam sebagai sebuah agama sekaligus rahmat untuk semesta alam telah berkembang sangat pesat disemua ranah kehidupan. Kebangkitan Islam tidak hanya ditandai dari perkembangan filantropi Islam semata, dalam ranah ekonomi Islam telah memberikan persepsi dan solusi bagi masyarakat melalui konsep ekonomi syariah. Ekonomi syariah kini tidak terletak pada ruang yang hampa dan ‘uncertain experiment’ dalam tataran akademik dan bisnis. Konsep ekonomi Islam dalam implementasinya telah bertransformasi dengan perkembangan zaman dan mampu menjadi pengungkit ekonomi umat atas gagalnya ekonomi konvensional yang lebih banyak berorientasi kepada riba dan mementingkan egoisme pribadi dalam mencari keuntungan dan penguasaan faktor produksi.
Harapan dan realita implementasi ekonomi syariah di Indonesia nyatanya belum seindah cerita dari negara non muslim yang telah menerapkan ekonomi syariah sebagai salah satu instrumen ekonomi. Selain terlambat dalam mengembangkan ekonomi syariah dibandingkan dengan negara lain, pemerintah dan institusi civil society juga belum mampu mensinergiskan ekonomi syariah dengan sistem ekonomi yang sudah ada saat ini. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, konsep ekonomi syariah belum dapat berperan dengan maksimal sebagai sarana untuk mensejahterakan umat. Kalaupun tidak ingin dikatakan mundur, pencapaian ekonomi syariah yang sudah dilakukan sampai dengan saat ini masih belum komprehensif, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Kooptasi Masalah Pranata Masyarakat Islam
Tidak berjalannya sistem holistik ekonomi syariah di Indonesia tidak lepas dari demoralisasi dan kemauan masyarakat Islam sendiri yang masih kurang maksimal. Bahkan, ada beberapa stigma dan persepsi dari umat Islam sendiri yang masih belum yakin bahwa konsep sistem ekonomi syariah akan memberikan value lebih dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional. Persepsi ini muncul karena umat, baik individu maupun kelompok belum mampu mereformasi dirinya agar selaras dengan ajaran nilai-nilai ekonomi Islam. Tidak dapat dipungkiri, indoktrinasi konsep ekonomi konvensional seperti liberalisme yang kemudian bertransformasi menjadi neoliberalisme sangat lekat dalam formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah kita dewasa ini. Privatisasi dan segala bentuk persaingan pasar bebas yang tersembunyi dibalik regulasi formal pemerintah telah mencederai semangat UUD 1945. Dalam tararan akar rumput, praktik ekonomi konvensional sangat tercermin dari perilaku hegemoni pemilik modal besar yang selalu mengalahkan pemilik modal kecil. Ketidakmampuan umat Islam di Indonesia menghadapi masalah ini tercermin dari semakin terpinggirkannya umat Islam dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pasar tradisional yang mulai digusur perannya dengan hypermarket dan waralaba menjadi gambaran jelas adanya ketidakberdayaan umat Islam (individu atau kelompok) terhadap sistem ekonomi yang kita terapkan saat ini.
Permasalahan ini menjadi cerminan bahwa dari sisi visi dan misi dari individu umat dan organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia belum mampu mengambil peran utama untuk memperbaiki fenomena ketimpangan ekonomi. Ketiadaan visi dan misi ini kemudian berimplilasi dengan tidak adanya konsep atau pemahaman yang komprehensif oleh civil society di Indonesia. Belum tumbuhnya kepercayaan diri umat Islam inilah yang kemudian menjadi penghalang untuk memperjuangkan konsep ekonomi syariah sebagai regulasi di negeri sendiri. Ketidakseriusan ini tercermin dari lambatnya proses legislasi di DPR dalam menggodok konsep ekonomi syariah sebagai entitas bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.
Lambatnya perkembangan ekonomi syariah tidak lepas dari tidak berjalannya peran organisasi kemasyarakatan dalam melakukan segregasi, artikulasi, dan agregasi prinsip ekonomi syariah. Peran ini sangat penting karena civil society adalah pranata lembaga yang sangat dekat dengan masyarakat dan dibentuk atas dasar pengejawantahan keinginan dan tujuan masyarakatnya. Lemahnya peran ini otomatis tercermin dari eksisting kondisi ekonomi umat saat ini. Selain itu, organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia yang masih seringkali terjebak pada masa lalu serta membanggakan diri tanpa disertai dengan kegiatan yang berarti bagi umat, semakin menenggelamkan fungsi dan perannya bagi umat.
Konsekuensi dari karut marutnya visi, misi, dan konsep organisasi inilah yang kemudian berimplikasi kepada terganggunya proses sosialisasi prinsip-prinsip ekonomi syariah kepada masyarakat. Selain itu, pelembagaan konsep ekonomi syariah yang belum maksimal menjadi persoalan turunan yang juga cukup signifikan. Apalagi, lemahnya fungsi regulasi dan sosialisasi pemerintah semakin mengebiri fungsi dari organisasi kemasyarakatan itu sendiri, sehingga akhirnya berimplikasi kepada kemajuan kehidupan umat untuk menempatkan ekonomi syariah sebagai rahmat.
Permasalahan turunan lainnya yang juga mempengaruhi kontribusi dan eksistensi lembaga masyarakat Islam dalam pengembangan ekonomi syariah adalah tidak adanya penguatan pada aspek ideologi, organisasi, dan kaderisasi. Dalam konteks ideologi, prinsip Islam yang kurang dipahami dan tidak diimplementasikan secara kafah (total) justru memberikan kesempatan kepada pemahaman baru untuk masuk ke masyarakat. Padahal pemahaman ini belum tentu sejalan dengan syariat dan nilai-nilai ekonomi Islam. Tidak jarang, kontraproduktif implementasi ideologi baru muncul melalui pluralisme dan atas nama kepentingan umat. Penguatan ajaran dan ideologi Islam yang masih belum maksimal inilah yang menghambat laju individu umat Islam untuk maju. yang kemudian bermuara terhadap cerminan organisasi Islam. Karena organisasi Islam adalah cerminan nilai-nilai dan pemikiran masyarakat yang dilembagakan dalam bentuk pranata sosial dan ekonomi.
Dari sisi organisasi, kelemahan mendasar organisasi masyarakat Islam dewasa ini adalah tidak adanya pengelolaan organisasi yang profesional. Indikator-indikator keberhasilan organisasi yang tidak dibuat, visi dan misi organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat dan masalah kekinian menjadi hambatan majunya organisasi masyarakat. Kita ambil contoh organisasi pengelolaan wakaf di Indonesia. Potensi dan realisasi wakaf dan zakat di Indonesia saat ini masih timpang. Belum terkelolaanya potensi ini tidak lain karena pengelolaan organisasi yang masih bersifat tradisional dan tidak efisien. Rekruetmen dan pengembangan keahlian nazhir yang tidak merit system serta inkonsistensi managerial keahlian nazhir semakin memperlambat laju responsitas organisasi pengelola wakaf dan zakat untuk lebih produktif dan profesional. Tidak produktifnya wakaf dan zakat juga tidak lepas dari implementasi prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam setiap fase pengelolaan organisasi Islam. Rentang kendali organisasi dari pusat ke daerah juga menjadi kendala karena struktur organisasi yang cenderung tumpang tindih, tidak efisien dan tidak responsif dalam merespon permasalahan yang muncul.
Kendala yang terakhir adalah proses kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik. Sudah menjadi rahasia umum, proses kaderisasi yang tidak baik dalam organisasi masyarakat di Indonesia adalah buah dari managerial rekruetmen, baik pola atau mekanisme sistemnya yang kemudian berimplikasi kepada kualitas individu yang direkrut. Profesionalitas organisasi masyarakat Islam saat terhambat karena stigma dan pemikiran kolot yang menempatkan filantropi dan konsep ekonomi syariah dalam konteks kepentingan keagamaan dan berorientasi kepada hubungan keesaan dengan Tuhan. Filantropi dan implementasi konsep ekonomi syariah pun cenderung terkooptasi kepada entitas dogma agama, bukan entitas hukum yang dapat dijadikan sarana pemberberdayaan umat secara formal dan kongkrit.
Paradoks Stiqma dan Peran Ormas Islam
Tidak dapat dipungkiri perkembangan ekonomi syariah di Indonesia lebih banyak diakomodasi dan dikenal secara luas oleh masyarakat melalui sektor sistem perbankan syariah. Peran organisasi masyarakat yang sejatinya juga menjadi tools strategis pilar kemajuan ekonomi syariah, nyatanya belum mampu mengangkat derajat rakyat Indonesia yang notabene mayoritas adalah muslim. Jika kita melihat data Kementerian Dalam Negeri, jumlah organisasi masyarakat yang ada di Indonesia sampai dengan tahun 2010 mencapai 9000 ormas. Jumlah ini belum termasuk organisasi masyarakat yang belum terdaftar. Dapat dibayangkan kuantitas organisasi masyarakat yang begitu banyak justru berbanding terbalik dengan realita yang ada. Selain lebih banyak menimbulkan keresahan dan minim manfaat bagi umat, organisasi masyarakat Islam tidak mampu berperan sebagai pranata masyarakat dalam mencari kesejahteran.
Lebih memprihatinkan lagi, fakta di lapangan, rakyat miskin justru didominsi oleh umat Islam. Stigma sebagai warga malas dan tidak produktif, serta tidak mampunya umat Islam untuk masuk dalam ranah strategis pembuat dan pengambil kebijakan terlanjur mewacana di masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri, inilah realita sebenarnya. Lemahnya peran organisasi Islam untuk ikut serta melakukan formulasi kebijakan dan legislasi di ranah legislatif berimplikasi kepada tidak kunjung terealisasinya regulasi ekonomi syariah seperti pengelolaan produk halal, amandemen undang-undang mengenai zakat dan wakaf (sistem, lembaga, dan pranata penunjang lainnya).
Permasalahan ini diperparah dengan masih lemahnya para wakil rakyat kita dalam mengusung wacana konsep syariah untuk mengatur aspek sosial, ekonomi, dan politik ketika legislasi berlangsung. Dari sisi kuantitas partai politik dan anggota DPR kita cukup memiliki modal untuk mewujudkan konsep syariah. Akan tetapi, tidak adanya political will dan ketakutan disintegrasi bangsa membuat pemikiran ini selalu saja masih terbatas kepada wacana politik semata. Belum lagi komitmen yang masih rendah dari anggota dewan, membuat pemikiran-pemikiran ekonomi syariah dan konsep Islam lainnya masih menemui terjal.
Kegelisahan ini mungkin sama dengan apa yang diutarakan oleh Din Syamsuddin. Din melihat peran organisasi masyarakat Islam saat ini sangat lemah dalam memberdayakan umat Islam. Keterbatasan peran organisasi masyarakat Islam justru mencederai fungsinya untuk mengatasi keterpurukan bangsa ini dari kemiskinan. Lebih lanjut Din menyampaikan lemahnya umat Islam dalam penguasaan ekonomi, baik pembuatan kebijakan dan sebagai pelaku ekonomi membawa dampak sistemik. Dampak ini membuat peran Indonesia tertatih-tatih dalam menghadapi masalah internasional di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini tidak lepas dari keterpurukan mental kita yang selalu meminta tanpa mau bekerja keras. Mendapatkan segala sesuatu dengan instan tanpa dilakukan dengan proses secara tidak sadar telah membelenggu bangsa ini kepada kebodohan dan kemiskinan.
Penguatan Peran Ormas Islam Terhadap Pengembangan dan Eksistensi Ekonomi Islam
Satu dasawarsa terakhir, filantropi Islam berkembang sangat pesat. Fenomena ini diikuti pula dengan perkembangan yang cukup signifikan pada sektor keuangan bank syariah di tingkat global. Di Indonesia, momentum penguatan konsep ekonomi Islam semakin besar karena kebutuhan dan perlunya solusi alternatif di masyarakat. Perkembangan dua aspek penting ini harus didukung oleh sistem, aturan main (regulasi), etos kerja, dan peningkatan lembaga dan organisasi masyarakat. Dukungan organisasi masyarakat Islam menjadi sangat penting karena peran civil society dan momentum kebangkitan ekonomi syariah akan menciptakan eksistensi dan pencapaian tujuan yang jelas dan kongkrit keberadaan konsep ekonomi syariah di masyarakat. Adapun masukan yang dapat diberikan untuk meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat Islam untuk implementasi dan pengembangan ekonomi syariah, antara lain:
Pertama, organisasi masyarakat Islam harus mampu mereformasi dirinya sendiri untuk menjawab tantangan perkembangan zaman dan permasalahan yang muncul di masyarakat. Kesejahteraan umat akan tercipta jika suatu organisasi kemasyarakatan dikelola dengan profesional. Learning organization harus diterapkan, bukan hanya dalam tataran internal, namun juga di luar organisasi. Dalam konteks institusi pranata Islam seperti pengeloa wakaf dan zakat, pemahaman yang harus ditekankan adalah zakat bukan hanya sekedar ritual dan kewajiban agama yang berorientasi kepada pahala semata, namun jauh dari pada itu, wakaf dan zakat harus difungsikan sebagai sarana pembangunan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Kedua, Artikulasi konsep dan ideologi organisasi masyarakat Islam harus jelas dan memiliki tujuan “antara” dan “akhir” yang dapat diukur. Artikulasi ini sangat penting sebagai bekal dan pencitraan identitas yang jelas dalam memperjuangkan kemajuan ekonomi syariah sekaligus pembeda dengan ekonomi konvensional. Bagaimanapun, kedua sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meyakinkan masyarakat untuk beralih dan mempercayai ekonomi syariah sebagai guidance pengembangan ekonomi kerakyatan sekaligus entitas masyarakat muslim dipercaturan ekonomi dunia adalah salah satu peran penting yang harus diambil oleh ormas Islam dewasa ini.
Ketiga, Organisasi masyarakat Islam harus memperkuat perannya sebagai katalis dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam memahami konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, pemahaman yang cukup akan mempengaruhi masyarakat untuk beralih kepada sistem ekonomi syariah yang lebih mengakomodasi prinsip-prinsip keadilan demi tujuan menciptakan kesejahteraan umat Islam. Pemikiran sempit masyarakat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah hanya terkooptasi dengan pengaturan riba semata harus diubah. Kemaslahatan konsep ekonomi syariah sangat luas dan rigid tanpa meninggalkan esensi keadilan dan keislaman sebagai ciri utama yang diajarkan Rasulullah. Peran lain yang juga sangat penting dari organisasi masyarakat adalah bagaimana mensinergiskan peran dan pembagian kerja dengan pemerintah pusat dan daerah sebagai aktor pembangunan.
Keempat, Penguatan peran organisasi masyarakat tidak lagi harus terpaku kepada hal yang sifatnya temporer dan kegiatan insidental. Artinya, fungsi dan peran pranata sosial organisasi masyarakat tidak boleh lagi penting ketika bencana datang, atau saat hari besar keagamaan diselenggarakan. Organisasi kemasyarakat Islam harus menyatu dengan denyut nadi perekonomian masyarakat. Kelembagaan ekonomi syariah seperti BMT atau BPRS adalah transformasi organisasi masyarakat Islam. Keberadaanya harus ditingkatkan dan tidak dikonsentrasikan kepada tempat aktifitas ekonomi yang telah tumbuh saja. Penetrasi organisasi masyarakat Islam, baik sektor keuangan atau sosial harus mampu menciptakan pelaku dan aktifitas ekonomi baru sehingga eksternalitas kesejahteraan umat dapat merata ke segala penjuru.
Kelima, Organisasi masyarakat Islam harus mampu menjadi pelaku dalam community development. Ekonomi syariah sejatinya harus mampu bersinergi dengan strategi pembangunan ekonomi nasional. Bukan malah saling menjatuhkan dan menghambat satu sama lain. Oleh karena itu dibutuhkan penguatan peran organisasi masyarakat Islam untuk membentuk lembaga keuangan Islam seperti penguatan perbankan syariah, lembaga keuangan mikro (BMT, BPRS), penguatan implementasi konsep Sukuk, penguatan pertumbuhan filantropi Islam seperti zakat dan wakaf. Selain itu, organisasi masyarakat Islam harus juga mendorong sistem ekonomi di masyarakat ke arah ekonomi syariah yang bersandarkan kepada prakarsa dan partisipasi masyarakat yang lebih bertanggung jawab serta mengedepankan kepentingan umat yang adil.
Keenam, Di era otonomi daerah dewasa ini, organisasi masyarakat Islam harus mampu memainkan peran penting sebagai pranata masyarakat yang mandiri dan berdayaguna bagi masyarakat daerah. Ranahnya tidak hanya terbatas kepada aspek social semata, namun juga politik dan ekonomi. Berdaya guna dalam konteks politik, artinya mampu memberikan pemikiran segar sekaligus mendapat ruang lebih untuk melakukan formulasi, legislasi, advokasi, dan implementasi kebijakan publik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam ranah ekonomi, organisasi masyarakat harus mampu menjadi pelaku dan penjaga eksistensi sistem ekonomi syariah yang telah terselenggara. Berikut ini ilustrasi skenario peran yang dapat diambil organisasi Islam dalam rangkaian pembuatan dan implementasi kebijakan di tingkat lokal atau nasional.
Pada prinsipnya, tahapan implementasi kebijakan melibatkan berbagai aktor stakeholder. Dalam tingkatan formulasi kebijakan, stakeholder itu adalah pemerintah, swasta, dan masyarakat. Penguatan peran civil society Islam berkontribusi dengan mewakili masyarakat ketika merumuskan formulasi kebijakan. Ketika kebijakan telah dihasilkan, peran civil society kembali menjadi penting karena akan mengawal sekaligus mengkoreksi implementasi kebijakan yang telah dilakukan. Jika kebijakan tidak mampu memuaskan masyarakat serta hasilnya tidak mencapai ukuran-ukuran keberhasilan yang telah ditetapkan, maka organisasi masyarakat dapat mengambil sikap dan tindakan untuk mengingatkan implementor kebijakan. Peran ini tidak hanya terkooptasi kepada kebijakan politik semata, pada ranah ekonomi dan social, civil society Islam harus mampu membawa nilai-nilai Keislaman (syariah) pada tempat yang tertinggi sebagai rahmat semesta alam.
Kesimpulan
Implementasi dan pengembangan ekonomi syariah tidak dapat dilakukan dengan cara mengkooptasi pada bidang dan aktor tertentu saja. Integrasi dan perencanaan konsep yang matang antara pelaku ekonomi dengan visi, misi, dan ideologi harus dilakukan secara komprehensif. Organisasi Islam sebagai salah satu pranata sosial umat dan pengejawantahan pemikiran dan keinginan umat harus mampu bertransformasi dalam menjawab tantangan ekonomi Islam ke depan. Keberadaan ormas Islam tidak boleh lagi ditempatkan sebagai lembaga seremonial dan berorientasi kepada hubungan Tuhan semata. Entitas organisasi masyarakat Islam harus menjadi sarana dan aktor laju konsep ekonomi Islam di masyarakat. Keberpihakan masyarakat (kepercayaan, kenyamanan, dan kebutuhan) terhadap konsep ekonomi syariah menjadi tanggung jawab organsasi masyarakat saat ini. Peran organisasi masyarakat dewasa ini sangat strategis dan penting dalam mengawal dan menentukan masa depan konsep ekonomi syariah. Selain harus menciptakan kenyamanan bagi umat non muslim dalam memandang ekonomi syariah, peran organisasi masyarakat Islam untuk membendung ekspansi dan dominasi sistem ekonomi konvensional seperti liberalisme dan neoliberalisme yang sangat mengutaman homo economicus dan egoistic individu untuk memiliki alat produksi harus diperkuat. Sebagai bangsa dengan masyarakat muslim terbesar di dunia, sudah saatnya konsep ekonomi syariah menjadi jawaban keterpurukan bangsa ini untuk meraih kesejahteraan umat yang hakiki dan adil. Bukan dogmatis dan terkonsentrasi kepada kelompok tertentu saja yang menikmatinya. Organisasi masyarakat Islam harus mampu menempatkan fungsi dan peran konsep ekonomi syariah sebagai sarana, bukan tujuan yang sifatnya eutopia dan dogmatis. Semoga.
Rahmat Santosa Basarah, Ormas Islam Harus Berguna Bagi Umat, Harian Republika 29 Desember 2009.
Tempo Interaktif, Melawan Ormas Radikal, 07 Oktober 2010
Ormas Islam Belum Berperan Tingkatkan Ekonomi Umat, Republika Online, 28 Agustus 2010
Riant Nugroho Dwidjowijoto. (2003). Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
mas saya izin membacanya ya...
BalasHapusplus dikit ngopy
Silahkan mas, mohon sumbernya dicantumkan juga ya jika ingin mengcpoy. thx
BalasHapus