Memasuki awal tahun kelinci dalam kalender masyarakat Tionghoa, bangsa kita justru didera pelbagai masalah yang kian pelik. Semakin peliknya, permasalahan yang ada tidak hanya terletak pada tataran wacana dan retorika dari para elit kita, pada tataran akar rumput masalah yang sebenarnya justru sedang menguji kesatuan bangsa kita. Yang masih waras tentu masih dapat meredam dan menyikapi setiap masalah dengan besar hati dan kepala dingin. Tapi yang tidak tahu malu, semua gunjingan dan caci maki justru dimaknai sebagai alasan dan eksistensi diri kepada khalayak bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah sebuah kebenaran (semu) yang berlindung dan berlandaskan hukum positif.
Barangkali melihat dan menelaah hukum tidak harus dilakukan dengan kaca mata kuda. Bagi orang yang paham dan tahu betul seluk beluk hukum, justru memaknai hukum sarus sebagai alat kepentingan atau kebenaran. Tengaklah pengacara-pengacara keren nan perlente. Atas nama kebenaran dan kebebasan hak asasi manusia mereka bangga dan mengantri untuk menjadi tameng para koruptor. Lihat cara bicara mereka! Penuh retorika dan bualan demi meyakinkan argumen mereka sebagai suatu kebenaran. Celakanya, hukum di negeri ini terlanjur kalah dikadali oleh mereka. Koruptor kian pintar dan lincah mencari celah karena andil mereka. Kita kadang bertanya, apakah mereka memakai nurani dalam bekerja? apakah mereka pura-pura tidak tahu dengan apa yang tidak kerjakan? Atau mereka memang didesain untuk mengindahkan mana kebenaran mana kesalahan demi mengedepankan hak asasi. Walau itu mengorbankan hak banyak orang demi memperjuangkan hak seseorang. Aneh!
Ya, hukum saat ini telah dipakai untuk mencari rente. Bukan hanya rente politik, dalam berolahraga pun, hukum telah diolahragakan. Hukum bergerak dinamis mengikuti kemauan sang penguasa. Makanya, mereka yang duduk sebagai pemangku kebijakan organisasi olahraga tidak perlu cakap dan bisa berolahraga. Yang penting mereka tahu bagaimana caranya membuat dan memodifikasi hukum olah raga seolah-olah “fair play”. Lihat saja, pemilihan bakal calon ketua PSSI menjadi dagelan terkini dari para mafia sepakbola. Disebut mafia karena mereka bekerja kolektif. Disebut mafia karena mereka membangun dan menyekat diri mereka dari kritik dan masukan. Disebut mafia karena batas sportifitas dan kecurangan tidak dapat dibedakan. Disebut mafia karena mereka menjadi orang pengecut dengan memakai cara-cara primitif. Malukah mereka? Mereka justru menikmatinya!
Negeri ini memang diisi dan dipimpin oleh orang-orang bedebah. Kelakuan mereka pun layaknya para bedebah yang gemar berbasa basi dalam panggung wacana dan aksi. Lihat saja, tarik ulur hak angket tentang mafia pajak yang ditunjukkan oleh para wakil rakyat. Bukan menghakimi, saya hanya mengamini perkataan almarhum Gus Dur bahwa mereka adalah “kumpulan taman kanak-kanak” ada benarnya juga. Lihat juga bagaimana seorang Sekretaris Kabinet akan “membredel” salah satu media cetak dan televisi yang menjelek jelekkan pemerintah. Negeri ini memang lucu. Begitu lucunya sampai tingkah polah mereka (elit) menjadi sinetron yang tak kunjung tamat. Menjadi lucu karena ancam mengancam itu warisan para tirani yang mereka kritik saat mereka (Sekretaris Kabinet) masih muda, bau kencur alias masih lugu menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI. Ancaman konyol ini ditanggapi oleh pelbagai kalangan sebagai hal yang berlebihan, gejala antidemokrasi, bahkan sesuatu yang menyedihkan.
Lalu, apakah kelakuan mereka (para bedebah) ini dapat dikatakan sebagai kegagalan kaderisasi dan pembelajaran politik elit? Saya termasuk orang yang setuju, bahkan dalam konteks tertentu, orang-orang seperti inilah pengkhianat demokrasi dan merusak pembangunan demokrasi yang sesungguhnya. Mereka telah gagal menjadi “agent of change”. Celakanya, tabiat dan fenomena ini terus terjadi dan marak. Orang-orang yang dulu kita kenal lantang berbicara dan kontra terhadap penguasa, tahu-tahu telah memakai atribut partai tertentu. Mereka beralasan, perubahan harus dilakukan di dalam sistem. Itu betul, tapi lama kelamaan mereka juga yang digerakkan oleh sistem dan kepentingan rente oranisasi partai dan kelompok.
Kalau sudah begini, bagi kita yang masih waras, sudah saatnya mewaraskan orang-orang yang tidak waras. Waras dalam arti mampu menempatkan mana yang baik dan mana yang tidak baik dengan jujur. Waras dalam arti mampu mengukur dirinya apakah masih layak dan pantas untuk memimpin jabatan tertentu. Waras dalam arti berani mengatakan dirinya salah dan memandang setiap kritik dan masukan dari orang lain adalah isyarat bagi dirinya.
Media dalam tataran demokrasi modern telah bertransformasi dan berafiliasi dengan alat-alat serta kepentingan publik. Media adalah sebuah cermin yang selalu memberikan pantulan gambar (keadaan) bagi mereka yang bercermin. Pantulan itu bukan sebuah kebohongan atau opini yang dikurangi atau ditambahi. Tapi sebuah kejujuran dan potret yang apa adanya. Media sejatinya adalah sarana kritik pembangun yang konstruktif. Walau ada media yang dibuat dan difungsikan sebagai rente kekuasaan dan pencitraan individu dan kelompok, masih banyak media kita yang tahu dan mengerti etika berjurnalisme. Media adalah kontrol sosial dan kontrol elit dan kelompok yang coba -coba jadi tirani dan jagoan tengik dengan cara-cara kotor dan curang.
Jadi, kita harus maklum jika para pemimpin selalu takut dan risih dengan media karena mereka takut dengan bayangan mereka sendiri. Mereka takut tidak dapat menerima kenyataan. Mereka takut karena sesungguhnya mereka adalah “media” yang dapat digunakan oleh media (Pers) untuk mewaraskan orang-orang yang sudah memasuki gejala tidak waras. Dan mungkin saja, mereka tidak sadar akan hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar