”Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat miskin, dimana mereka dapat melakukan apa pun yang diinginkan, tidak ada penghormatan terhadap otoritas dan hukum, melainkan serangan terhadap kebebasan, situasi yang menimbulkan anarki dan tirani.” (Plato)
Ucapan Plato di atas barangkali menjadi anekdot perjalanan demokrasi negeri ini. Sama dengan situasi di belahan dunia lainnya, demokrasi oleh sebagian kaum papa hanya menimbulkan tirani dan ketidakadilan. Situasi di Tunisia dan Mesir menjadi contoh kekinian bagaimana demokrasi telah menjadi tameng sekaligus legitimasi pemimpin elit untuk berlama-lama berkuasa. Ralf Dahrendorf menyebut mereka sebagai kelompok Funktioselite. Mereka bebas membuat dan melakukan kebijakan karena memiliki sumber daya.Mereka memanjakan kita dengan retorika. Mereka lahir dengan kecurangan dan kerakusan akan kekuasaan. Atas nama demokrasi, tirani mereka balut dengan norma dan hukum. Demokrasi pula yang melegalkan kekerasan dan ketamakan bersanding dengan kebebasan dan plurarisme.
Wajar jika saudara-saudara kita di Tunisia dan Mesir merasa muak dengan demokrasi. Demokrasi yang sejatinya sangat anggun dilakukan seperti demokrasi jalanan. Menjadi sangat maklum jika meraka murka karena rezim yang telah mereka pilih tidak memberikan kebahagiaan. Di negeri yang dikenal orang sebagai negara terbesar ketiga di dunia ini setali tiga uang dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat Tunisia dan Mesir. Mereka gamang dan putus asa. Salam dengan mereka, kita pun marah dan sedih melihat apa yang tidak seharusnya terjadi. Lihatlah.., atas nama demokrasi dan hak asasi, seorang Artalita melenggang bebas dengan dalih telah memebuhi prosedur hukum. Disatu sisi, ketika para wakil rakyat digelandang bak pesakitan ke rumah tahanan oleh KPK, Miranda Goeltom asyik berfashion show ria dengan anaknya tanpa malu dan salah. Atas nama hak asasi pula, seorang Nunun diberikan keringanan karena lupa ingatan! Menggelikan memang..walau secara rasional, apa yang diterjadi ini sangat irasional…dan kita terlanjur menjadi rakyat yang irasional dan permisif dengan sikap seperti itu.
Indonesia memang demokrasi di negeri mimpi. Apa yang terlihat dari karsa dan sikap para pemangku kebijakan lebih banyak berlaku seperti para bedebah! Kita merasa sangat jijik ketika mereka bicara mengenai kaum papa dan keadilan. Tak disangka mereka seniman elitis yang mahir berpantun dan berlakon dengan berbagai wajah. Mereka pelakon demokrasi yang silih berganti topeng dan peran untuk menghibur para penonton. Hukum di negeri mimpi dimainkan seolah menjadi mata pisau yang semu. Menjadi semu dan tumpul, karena hukum hanya tajam di bawah, tumpul di atas.
Menggelikan memang. Begitu menggelikan sehingga Tuhan dan alam pun murka. Lihat saja, bersamaan dengan bebasnya “Ratu Kasus” Mbak Ayin, berbagai kecelakaan mendadak muncul. Di laut, kebakaran kapal Roro pada jumad dinihari memakan korban. Di darat, kecelakaan maut kereta api di daerah Purwakarta ikut menambah panjang masalah yang sudah ruyam. Belum lagi dagelan Gayus yang makin hari makin memuakkan masyarakat. Menjadi sangat muak karena antara yang baik dan yang jahat kian buram. Yang salah dan yang benar kian membingungkan kepada kita-kita yang melihatnya. Ingin sekali mereka mati dalam kelaparan dan keputusasaan..ingin sekali mereka makan nasi aking dan tiwul beracun hingga mereka direnggut maut. Lega rasanya melihat mereka bunuh diri dari lantai 10 di sebuah mall dan disumpah serapah orang-orang yang berlalu lalang. Dan ingin sekali keinginan itu menjadi nyata…
Kalau sudah begini, tidak ada salahnya jika kita mengamini apa yang diucapkan Plato. Demokrasi tidak perlu dipimpin oleh para bedebah (elit) yang gemar berbasa basi dan berlindung atas nama hukum dan kebebasan. Kita tidak perlu pemimpin yang santun dalam ucapan jika tidak sejalan dengan perbuatan. Lebih baik kita berdemokrasi dengan menyederhanakan pemikiran dan kejujuran untuk mengatakan yang benar dan salah. Sudah saatnya kita terjaga dari mimpi panjang kita. Karena kita sedang berdemokrasi di negeri mimpi…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar