Hari ini, tepatnya tanggal 23 Juni 2010, warga internasional, termasuk warga Indonesia memperingati hari pelayanan publik. Di berbagai negara, masalah pelayanan publik mungkin menjadi masalah pelik seperti di Indonesia. Pasca satu tahun implementasi UU Pelayanan Publik, banyak persoalan yang masih perlu perbaikan untuk menciptakan pelayanan publik bagi semua orang. Kelompok rentan atau orang yang memiliki keterbatasan secara lahiriah oleh negara saat ini mulai mendapatkan pelayanan khusus yang diatur dalam UU No. 25 Pelayanan Publik. tujuannya jelas, yaitu menciptakan aksesabilitas pelayanan kepada semua orang. Harapan dan realita pun muncul sebagai sebuah paradoks. Selain menemui banyak masalah, delivery services bagi kelompok rentan masih sangat minim dan bias definisi dari sisi implementasi.
Egosime definisi UU No. 25 tentang Pelayanan Publik
Sejatinya, pelayanan publik harus dinikmati oleh semua orang, termasuk kelompok rentan seperti penyandang cacat, Lansia, dsb. Dalam UU No 25 tentang Pelayanan Publik, pengertian kelompok rentan memang tidak dijabarkan secara lebih gamblang dan jelas. Di dalam UU tersebut, kelompokrentan hanya diafiliasikan dalam frase kata "kelompok tertentu". Artinya, di sini muncul ambiguitas pengertian karena kelompok tertentu bisa melebar maknanya, dan tidak terfragmentasi kepada pengertian kelompok yang memiliki keterbatasan secara lahiriah semata. Penjelasan mengenai akomodasi kelompok rentan dalam UU ini baru dijabarkan secaralebih rinci dalam penjelasan UU. Satu benang merah permasalahan yang muncul adalah ketika pemerintah membuat UU, definisi satu UU dengan UU yang lain mengalami perubahan walaupun secara substantif, UU mengatur permasalahan yang sama. Hal ini bukan hanya akan menimbulkan salah tafsir bagi yang menginterpretasikan, namun juga akan memberikan bias baru dalam menyamakan persepsi untuk memahami UU Pelayanan Publik. Kritik ini dilontarkan oleh mereka yang merasa bingung dengan definisi "kelompok rentan" dalam arti sesungguhnya.
Hambatan dan Kelemahan UU Pelayanan Publik
Semua sepakat munculnya UU No 25 tentang Pelayanan Publik di Indonesia memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, Peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika peran dan fungsi ini mulai berjalan secara semestinya. Negara sampai dengan saat ini belum jelas perannya dalam memberdayakan masyarakat ketika penyelenggaraan pelayanan publik ini berlangsung. Ketidakjelasan ini muncul semakin nyata ketika negara memainkan peran sebagai fasilitator. Pembagian peran negara dan masyarakat tampak tidak jelas, termasuk dalam menentukan siapa subjek dan siapa objeknya.
Dari kacamata pendekatan ideologis, ketika pemerintah menyelesaikan persoalan pelayanan publik, cenderungan yang ada hanya bersifat parsial dan terisolir kepada permasalahan determinan semata. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak jelas siapa yang bertanggung jawab secara penuh. Apakah semua tanggung jawab diserahkan kepada negara, atau memang diperlukan peran swasta untuk memikul tanggung jawab tersebut. Ketidakjelasan ini yang kemudian mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan karena dari sisi mekanisme, tanggung jawab ini belum diatur secara jelas.
Pendekatan variabel mestinya juga harus dilakukan dalam mengoptimalkan pelayanan publik melalui UU ini. Pendekatan variabel dapat diartikan bahwa ketika ingin memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, tanggung jawabnya jangan hanya dibebankan kepada Kementrian terkait saja (KemenPan dan RB) dan Kementrian Sosial sebagai leading sector ranah pelayanan publik yang utama selama ini. Ranah legislatif, eksekutif di tingkat nasional dan lokal juga harus menjadi bagian penting dari proses ini.
Masalah utama yang selama ini menghinggapi rendahnya kualitas pelayanan publik kita adalah perihal dana yang minim. bahkan, dalam konteks tertentu, sumber dana yang berbeda-beda dalam memberikan pelayanan publik juga menghambat efektifitas pelayanan itu sendiri. Seperti contoh, Kedutaan Indonesia di Malaysia dalam memberikan pelayanan pasport, imigrasi, dan ijin lainnya kepada TKI, idealnya menggunakan dana anggaran dari sumber yang sama juga. Kenyataannya, sumber dana yang selama ini ada berasal dari Deplu dan DepkumHam. Ketika salah satu sumber dana macet atau terlambat, pelayanan publik di kedutaan akan terhambat karena salah satu sistem dari keseluruhan sistem yang ada mengalami masalah.
Permasalahan lainnya adalah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum dibuat. Standar minimal yang sangat amburadul dapat kita lihat dari pembagian tabung gas ketika diversifikasi minyak tanah ke gas dilakukan pemerintah. Kita tidak melihat penggantian tabung gas oleh masyarakat telah dibuatkan SPM yang jelas. Tidak heran jika banyaknya kasus kebakaran terjadi lebih banyak karena ledakan gas elpiji yang tidak sempurna pemasangannya.
Mengurai simpul Permasalahan Pelayanan Publik
Pendekatan persoalan pelayanan publik selama penyelenggaraan otonomi daerah berlangsung juga banyak mengalami kendala. penyelesaian masalah cenderung diselesaikan melalui sistem administrasi. Kadangkala, sistem administrasi ini tidak menjawab kebutuhan dan keinginan publik. KTP, KK, dan bentuk persyaratan administratif lainnya justru menjadi momok bagi kelompok rentan dalam mengakses pelayanan publik. Akibatnya, pelayanan publik lebih banyak berada dalam domain teknis administratif dari pada menjawab kebutuhan publik. Selama ini, gagalnya akses pelayanan publik oleh masyarakat karena lebih banyak terbentur kepada teknis administratif. Telah banyak kasus bagaimana orang miskin ditolak oleh rumah sakit pemerintah hanya karena teknis administratif yang kaku. Disinilah sebenarnya peran negara sebagai katalis penyelesaian masalah sekaligus watch dog dalam konteks walfare state. Bagaimana menciptakan mekanisme dan aturan main yang baik, tanpa menghilangkan sisi formalitas dan pertanggungjawaban institusi akan sangat menentukan berhasil tidaknya penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri.
Yang tidak kalah penting, negara sebagai aktor pembangunan harus mendesain semua pelayanan publik yang ada menjadi lebih accessible bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus.
Ada satu hal yang menarik ketika Made Adi Gunawan sebagai Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia bercerita mengenai penyerobotan pelayanan publik (dalam hal ini jalan khusus yang diperuntukan bagi tuna netra) di bekas gedung Pemda Jaksel di jalan Trunodjoyo. Papan reklame bergambar kursi roda terlihat dibengkokkan saat kita melewati jalan khusus bagi tuna netra. Selain menghalangi pandangan orang yang akan menggunakan jalan khusus ini, perbuatan membengkokkan petunjuk informasi ini sama sekali tidak terpuji. Yang lebih mengagetkan, ketika sampai diujung jalan khusus ini, area yang seharusnya dipakai untuk kelompok rentan (jika boleh meminjam dari bahasa UU Pelayanan Publik) disulap menjadi tempat parkir. Satu pesan yang ingin disampaikan penulis adalah, bahwa dalam lingkungan pemerintah saja ketidaktertiban akan ketersediaan sarana dan prasarana serta menempatkan fungsinya sebagaimana mestinya bagi kelompok rentan dapat terjadi, maka tidak mengherankan jika kita berpikir apatis ini dapat dilakukan di ranah korporasi. Ketidakpedulian kita kepada kelompok rentan memang sudah akut. Tuna netra di Indonesia saat ini dipaksa oleh sistem untuk menjadi "tukang pijat". Stereotep ini kemudian berimplikasi kepada pola pembinaan tuna netra oleh Depsos melalui Kelompok pengembangan kompetensi bagi tuna netra. Stereotep ini juga muncul tatkala secara tidak sadar kita telah membentuk opini bahwa Waria (kalau boleh dikategorikan sebagai kelompok rentan) diplot sebagai "tukang salon". Sisi humanisme bangsa kita lambat laun mulai menurun. Semangat UU Pelayanan Publik ini lebih banyak bermain sebagai dogma formalitas dan aturan baku semata. Disorientasi nilai yang kemudian memunculkan permasalahan determinan lainnya, termasuk mengurangi akses pelayanan publik kepada kelompok rentan.
Perbaikan yang mesti dilakukan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan semangat UU pelayanan publik kita untuk menciptakan pelayanan yang baik wajar dan tanpa pilih kasih bagi penggunanya. Antara lain:
Relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.
Dari sisi tanggung jawab, komisi ombushment dan lembaga aduan lainnya tidak boleh lagi menjadi corong pengaduan yang hanya mengumpulkan kritik dan saran masyarakat semata. Sudah seharusnya lembaga-lembaga ini juga dibebankan tanggung jawab ketika proses penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Mekanisme ini yang harus dirumuskan oleh negara.
Lack information masyarakat perihal UU No 25 tentang Pelayanan Publik juga harus diminimalkan dengan sosialisasi dan internalisasi kepada masyarakat. Selama ini media informasi, baik cetak dan elektronik masih memainkan peran yang tidak signifikan dalam mengawal keberhasilan UU ini. Banyak pemerintah daerah yang tidak mengetahui adanya UU Pelayanan Publik yang sudah bergulir sejak satu tahun yang lalu.
Egosime definisi UU No. 25 tentang Pelayanan Publik
Sejatinya, pelayanan publik harus dinikmati oleh semua orang, termasuk kelompok rentan seperti penyandang cacat, Lansia, dsb. Dalam UU No 25 tentang Pelayanan Publik, pengertian kelompok rentan memang tidak dijabarkan secara lebih gamblang dan jelas. Di dalam UU tersebut, kelompokrentan hanya diafiliasikan dalam frase kata "kelompok tertentu". Artinya, di sini muncul ambiguitas pengertian karena kelompok tertentu bisa melebar maknanya, dan tidak terfragmentasi kepada pengertian kelompok yang memiliki keterbatasan secara lahiriah semata. Penjelasan mengenai akomodasi kelompok rentan dalam UU ini baru dijabarkan secaralebih rinci dalam penjelasan UU. Satu benang merah permasalahan yang muncul adalah ketika pemerintah membuat UU, definisi satu UU dengan UU yang lain mengalami perubahan walaupun secara substantif, UU mengatur permasalahan yang sama. Hal ini bukan hanya akan menimbulkan salah tafsir bagi yang menginterpretasikan, namun juga akan memberikan bias baru dalam menyamakan persepsi untuk memahami UU Pelayanan Publik. Kritik ini dilontarkan oleh mereka yang merasa bingung dengan definisi "kelompok rentan" dalam arti sesungguhnya.
Hambatan dan Kelemahan UU Pelayanan Publik
Semua sepakat munculnya UU No 25 tentang Pelayanan Publik di Indonesia memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, Peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika peran dan fungsi ini mulai berjalan secara semestinya. Negara sampai dengan saat ini belum jelas perannya dalam memberdayakan masyarakat ketika penyelenggaraan pelayanan publik ini berlangsung. Ketidakjelasan ini muncul semakin nyata ketika negara memainkan peran sebagai fasilitator. Pembagian peran negara dan masyarakat tampak tidak jelas, termasuk dalam menentukan siapa subjek dan siapa objeknya.
Dari kacamata pendekatan ideologis, ketika pemerintah menyelesaikan persoalan pelayanan publik, cenderungan yang ada hanya bersifat parsial dan terisolir kepada permasalahan determinan semata. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak jelas siapa yang bertanggung jawab secara penuh. Apakah semua tanggung jawab diserahkan kepada negara, atau memang diperlukan peran swasta untuk memikul tanggung jawab tersebut. Ketidakjelasan ini yang kemudian mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan karena dari sisi mekanisme, tanggung jawab ini belum diatur secara jelas.
Pendekatan variabel mestinya juga harus dilakukan dalam mengoptimalkan pelayanan publik melalui UU ini. Pendekatan variabel dapat diartikan bahwa ketika ingin memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, tanggung jawabnya jangan hanya dibebankan kepada Kementrian terkait saja (KemenPan dan RB) dan Kementrian Sosial sebagai leading sector ranah pelayanan publik yang utama selama ini. Ranah legislatif, eksekutif di tingkat nasional dan lokal juga harus menjadi bagian penting dari proses ini.
Masalah utama yang selama ini menghinggapi rendahnya kualitas pelayanan publik kita adalah perihal dana yang minim. bahkan, dalam konteks tertentu, sumber dana yang berbeda-beda dalam memberikan pelayanan publik juga menghambat efektifitas pelayanan itu sendiri. Seperti contoh, Kedutaan Indonesia di Malaysia dalam memberikan pelayanan pasport, imigrasi, dan ijin lainnya kepada TKI, idealnya menggunakan dana anggaran dari sumber yang sama juga. Kenyataannya, sumber dana yang selama ini ada berasal dari Deplu dan DepkumHam. Ketika salah satu sumber dana macet atau terlambat, pelayanan publik di kedutaan akan terhambat karena salah satu sistem dari keseluruhan sistem yang ada mengalami masalah.
Permasalahan lainnya adalah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum dibuat. Standar minimal yang sangat amburadul dapat kita lihat dari pembagian tabung gas ketika diversifikasi minyak tanah ke gas dilakukan pemerintah. Kita tidak melihat penggantian tabung gas oleh masyarakat telah dibuatkan SPM yang jelas. Tidak heran jika banyaknya kasus kebakaran terjadi lebih banyak karena ledakan gas elpiji yang tidak sempurna pemasangannya.
Mengurai simpul Permasalahan Pelayanan Publik
Pendekatan persoalan pelayanan publik selama penyelenggaraan otonomi daerah berlangsung juga banyak mengalami kendala. penyelesaian masalah cenderung diselesaikan melalui sistem administrasi. Kadangkala, sistem administrasi ini tidak menjawab kebutuhan dan keinginan publik. KTP, KK, dan bentuk persyaratan administratif lainnya justru menjadi momok bagi kelompok rentan dalam mengakses pelayanan publik. Akibatnya, pelayanan publik lebih banyak berada dalam domain teknis administratif dari pada menjawab kebutuhan publik. Selama ini, gagalnya akses pelayanan publik oleh masyarakat karena lebih banyak terbentur kepada teknis administratif. Telah banyak kasus bagaimana orang miskin ditolak oleh rumah sakit pemerintah hanya karena teknis administratif yang kaku. Disinilah sebenarnya peran negara sebagai katalis penyelesaian masalah sekaligus watch dog dalam konteks walfare state. Bagaimana menciptakan mekanisme dan aturan main yang baik, tanpa menghilangkan sisi formalitas dan pertanggungjawaban institusi akan sangat menentukan berhasil tidaknya penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri.
Yang tidak kalah penting, negara sebagai aktor pembangunan harus mendesain semua pelayanan publik yang ada menjadi lebih accessible bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus.
Ada satu hal yang menarik ketika Made Adi Gunawan sebagai Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia bercerita mengenai penyerobotan pelayanan publik (dalam hal ini jalan khusus yang diperuntukan bagi tuna netra) di bekas gedung Pemda Jaksel di jalan Trunodjoyo. Papan reklame bergambar kursi roda terlihat dibengkokkan saat kita melewati jalan khusus bagi tuna netra. Selain menghalangi pandangan orang yang akan menggunakan jalan khusus ini, perbuatan membengkokkan petunjuk informasi ini sama sekali tidak terpuji. Yang lebih mengagetkan, ketika sampai diujung jalan khusus ini, area yang seharusnya dipakai untuk kelompok rentan (jika boleh meminjam dari bahasa UU Pelayanan Publik) disulap menjadi tempat parkir. Satu pesan yang ingin disampaikan penulis adalah, bahwa dalam lingkungan pemerintah saja ketidaktertiban akan ketersediaan sarana dan prasarana serta menempatkan fungsinya sebagaimana mestinya bagi kelompok rentan dapat terjadi, maka tidak mengherankan jika kita berpikir apatis ini dapat dilakukan di ranah korporasi. Ketidakpedulian kita kepada kelompok rentan memang sudah akut. Tuna netra di Indonesia saat ini dipaksa oleh sistem untuk menjadi "tukang pijat". Stereotep ini kemudian berimplikasi kepada pola pembinaan tuna netra oleh Depsos melalui Kelompok pengembangan kompetensi bagi tuna netra. Stereotep ini juga muncul tatkala secara tidak sadar kita telah membentuk opini bahwa Waria (kalau boleh dikategorikan sebagai kelompok rentan) diplot sebagai "tukang salon". Sisi humanisme bangsa kita lambat laun mulai menurun. Semangat UU Pelayanan Publik ini lebih banyak bermain sebagai dogma formalitas dan aturan baku semata. Disorientasi nilai yang kemudian memunculkan permasalahan determinan lainnya, termasuk mengurangi akses pelayanan publik kepada kelompok rentan.
Perbaikan yang mesti dilakukan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan semangat UU pelayanan publik kita untuk menciptakan pelayanan yang baik wajar dan tanpa pilih kasih bagi penggunanya. Antara lain:
Relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.
Dari sisi tanggung jawab, komisi ombushment dan lembaga aduan lainnya tidak boleh lagi menjadi corong pengaduan yang hanya mengumpulkan kritik dan saran masyarakat semata. Sudah seharusnya lembaga-lembaga ini juga dibebankan tanggung jawab ketika proses penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Mekanisme ini yang harus dirumuskan oleh negara.
Lack information masyarakat perihal UU No 25 tentang Pelayanan Publik juga harus diminimalkan dengan sosialisasi dan internalisasi kepada masyarakat. Selama ini media informasi, baik cetak dan elektronik masih memainkan peran yang tidak signifikan dalam mengawal keberhasilan UU ini. Banyak pemerintah daerah yang tidak mengetahui adanya UU Pelayanan Publik yang sudah bergulir sejak satu tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar