Selasa, 08 Juni 2010

Dagelan Atas Nama Dana Aspirasi DPR

Wacana Dana Aspirasi DPR (DAD) dalam persepktif semangat otonomi daerah oleh sebagian kalangan telah menabrak norma-norma desentralisasi. Harapan dari kemandirian pengelolaan keuangan dan urusan rumah tangga daerah agar lebih mandiri, justru menjadi kontra produktif dengan munculnya Dana Aspirasi DPR. Tujuan dari DAD dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah dirasa juga mengada-ada karena dari sisi kelahirannya saja, DAD telah menabrak pakem normatif aturan hukum sebelumnya.

Selain terkait dengan fatsun (etika) politik, munculnya Dana Aspirasi DPR sejatinya telah berdosa sebelum dilahirkan. Kelahiran DAD ditinjau dari kerangka otonomi daerah, sejatinya telah melanggar Undang-undang No. 17 Tahun 2003, Undang-undang No. 1 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004.

Pertama, Dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Munculnya wacana DAD akan mengesampingkan prinsip desentralisasi yang menjadi guidance utama hubungan pusat dan daerah. Proses alokasi anggaran yang dibuat oleh lembaga legislatif (DPR) justru melanggar prinsip otonomi daerah karena pemerintah daerah dan DPRD-lah berhak menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk daerahnya.

Kedua, Munculnya DAD justru merubah paradigma lama pengelolaan keuangan daerah (budgeting) yang berdasarkan pada input. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada dalam ranah Presiden dan dikuasakan pada Menteri, yang kemudian diserahkan kepada Gubernur/ Bupati / Walikota selaku pemangku kebijakan di daerah. Hal ini tidak sejalan dengan wacana DAD karena pada akhirnya pengelolaan anggaran berdasarkan sistem baru yang berdasarkan kinerja periode sebelumnya. Campur tangan DPR secara formal juga kian tinggi dalam mengambil keputusan anggaran nantinya.

Ketiga, Keberadaan DAD merubah proses pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Sebagai lembaga legislatif, DPR tidak diatur dalam Undang-undang untuk menggunakan anggaran. Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2004, pengguna anggaran bertanggung jawab kepada Presiden/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Penggunaan anggaran dilakukan oleh Kementrian-kementrian dan lembaga eksekutif sebagai pemegang mandat kuasa anggaran, termasuk pemerintah daerah di tingkat lokal ketika membuat APBD.

Resistensi yang ditimbulkan DAD selain tidak memiliki kekuasaan hukum yang kuat dan perpotensi melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Keberadaan DAD juga melanggar UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menteri Keuangan yang baru juga sudah memberikan sinyalemen yang cukup lugas bahwa keberadaan DAD akan berpotensi menimbulkan pelanggaran dalam hal prinsip pembagian tugas dan wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif. Potensi lain pelanggaran DAD adalah kurang sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, serta menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan daerah dan bertentangan dengan prinsip efisiensi.

Dana Aspirasi DPR ≠ Pemerataan Pembangunan

Dualisme tujuan wacana DAD untuk kesejahteraan rakyat memang menjadi pertanyaan mendasar oleh sebagian kalangan. Pendapat yang mengemuka selama ini lebih banyak mengarah kepada kepentingan politik saat wacana DAD digulirkan oleh anggota DPR, khususnya Partai Golkar sebagai inisiator dari pada murni untuk kemaslahatan rakyat.

Disamping akan melanggar hukum nantinya, keberadaan DAD juga tidak signifikan sebagai tools pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Alasan ini berkaca kepada UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD yang dibentuk berdasarkan jumlah penduduk. Implementasi DAD nantinya akan disalurkan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Daerah Pemilihan (Dapil). Masalahnya, Dapil di Indonesia Bagian Barat, khususnya pulau Jawa paling banyak dibandingkan Dapil lainnya karena jumlah penduduk yang sangat banyak.

Di pulau Jawa saat ini ada 39 Dapil dari 77 Dapil di Indonesia (DKI 3, Jabar 11, Banten 3, Jateng 10, DIY 1, dan Jatim 11) dengan jumlah anggota DPR terpilih sebanyak 306 orang (DKI 21, Jabar 91, Banten 22, Jateng 77, DIY 8, dan Jatim 87) sehingga jumlah dana aspirasi mencapai Rp 4,590 triliun. Dana alokasi ini akan menyerap lebih dari setengah DAD (sekitar 54,64 persen) hanya untuk wilayah pulau Jawa saja.

Sementara kalau dilihat selama ini sebaran penduduk miskin dan daerah tertinggal serta terpencil lebih banyak terkonsentrasi di Indonesia Bagian Tengah dan Timur yang jumlah wakil rakyatnya relatif lebih sedikit. Konsekuensinya, daerah yang miskin akan mendapatkan DAD lebih rendah. Logika pemerataan pembangunan dan kesejahteraan yang diungkapkan DPR sebagai pemanis wacana DAD ke publik pun sangat bertentangan dengan kajian Undang-undang aturan main yang ada selama ini.

DAD yang akan dialokasikan di setiap Dapil dipastikan tidak merata karena rawan diselewengkan, tidak adil, dan akan terjadi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Bahkan, dikhawatirkan akan menghambat prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini terjadi karena dalam praktiknya nanti, DAD berpotensi menimbulkan komplikasi pengalokasian dana dan akan menimbulkan masalah administrasi di masing-masing APBD, kerumitan pada perencanaan dan implementasi, serta bermasalah dalam pertanggungjawabannya.

Perlu Adanya Pengkajian Kembali

Wacana DAD memang menajdi preseden buruk dari proses penyelenggaraan negara, khususnya dalam ranah legislatif. DAD tidak lain adalah benchmarking dari kebijakan “pork barrel” sebagai bagian dari politik modern Amerika Serikat. Sayangnya, apa yang kita contoh kali ini adalah sesuatu yang buruk karena praktik pork barrel adalah bentuk kolusi yang dilegalkan lewat kerjasama politik. Di Amerika sendiri kontroversi “pork barrel” menjadi perdebatan hangat dikalangan rakyat Amerika karena praktik ini selain menjadi ladang pemborosan, tidak tepat sasaran, juga rawan praktik korupsi dan kolusi dalam pencairan dananya.

DAD tidak lain menjadi media untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar jasa konstituennya namun melalui uang negara. Berbeda konteksnya jika uang yang dipakai adalah uang pribadi anggota dewan (idealnya seperti itu). DAD juga dapat dijadikan sebagai sarana politik untuk mengamankan posisinya untuk Pemilu berikutnya. Selanjutnya, mekanisme mengelolaan anggaran aspirasi untuk membangun daerah ini juga belum jelas. Selain harus berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementrian terkait, peran pemerintah daerah juga harus dilibatkan karena mereka yang sebenarnya mengetahui akar masalah daerahnya masing-masing.

Sekali lagi, peran legislatif sebagai pembuat anggaran sekaligus eksekusi anggaran akan menjadi pro kontra dan menimbulkan kerumitan pengelolaan anggaran hubungan formal kelembangaan daerah. Derajat sentralitas yang sudah menurun dipastikan akan menguat kembali dan berpotensi menjadi pintu intervensi pusat kepada daerah. Dalam praktiknya nanti, dikhawatirkan DAD akan bernasib sama dengan pork barrel yaitu, ladang korupsi dan kolusi. Modusnya terutama dilakukan saat pencairan anggaran. Di Amerika, anggota konggres disinyalir banyak menerima uang pesanan (kick back) dari proyek-proyek yang berhasil dimenangkan. Praktik lobby juga menjadi ladang korupsi karena biasanya pemerintah daerah akan memberikan komisi kepada anggota konggres ketika daerah berhasil mendapat kucuran dana pembangunan.

Konsep dan mekanisme pemberian uang aspirasi dapil kepada DPR perlu dikaji lebih lanjut oleh pihak-pihak yang terkait, khususnya DPR. terutama mengenai proses penyerapan anggaran aspirasinya, apakah nantinya anggaran tersebut akan dikelola oleh perorangan anggota DPR atau dalam bentuk program pemerintah. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mekanisme pencairannya. Apakah bantuan dari pusat ke daerah baru didistribusikan ke wilayah injeksi program, atau mekanisme yang dibuat mengesampingkan peran daerah dalam implementasi pencairan bantuan.

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/06/07/08462884/Quo.Vadis.Dana.Aspirasi, "Quo Vadis" Dana Aspirasi? Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/06/147266/3/1/Mengeruk-Uang-Negara-Atas-Nama-Aspirasi-Rakyat, Mengeruk Uang Negara Atas Nama Aspirasi Rakyat, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://nasional.kompas.com/read/2010/06/07/08462884/Quo.Vadis.Dana.Aspirasi, "Quo Vadis" Dana Aspirasi? Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/06/04/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20100604.202424.id.html, Dana Aspirasi Anggota Dewan Dikecam, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=1306, Dana Aspirasi DPR, Pork Barrel versi Indonesia, Selasa, 8 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/dpr-ngotot-usulkan-dana-aspirasi/, DPR “Ngotot” Usulkan Dana Aspirasi, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB



Tidak ada komentar:

Posting Komentar