Tidak terasa penghapusan dwi fungsi ABRI sebagai salah satu tuntutan reformasi telah genap sepuluh tahun pasca tumbangnya orde baru. Sebagai sebuah legitimasi, keberadaan dwi fungsi ABRI memang mengakomodasi peran serta tentara dalam ranah politik. Sesuatu yang pada awal pencetusannya menjadi sebuah tuntutan karena negara memang membutuhkannya pada saat itu (persepsi penulis). Menarik melihat proses reformasi TNI selama selama ini. Bukan hanya memberikan apresiasi kepada TNI untuk merelokasi dirinya sebagai abdi negara dan berpijak kepada kepentingan bangsa semata saja. Namun disisi yang lain, kembalinya prajurit TNI ke barak juga menjadi cacatan manis dari proses reformasi TNI.
Lalu bagaimana peran serta TNI pasca dwi fungsi ABRI di ranah politik? Secara subjektif penulis melihat reformasi TNI memang belum seluruhnya berjalan maksimal. Jika kita menengok relasi hubungan politik praktis dan sepak terjang para purnawirawan TNI, justru muncul simbiosis mutualisma. Sikap teguh institusi TNI tampaknya terlihat mendua karena peran serta purnawirawan dalam kegiatan partai politik masih sangat besar. Tidak jarang eksistensi purnawirawan ini justru terlihat dalam proses transisi negara kita dalam menegakkan nilai-nilai demokratis. Sebuah nilai yang pada jaman orde baru sangat dipasung atas nama kesatuan dan persatuan serta kepentingan rakyat. Kebebasan yang diusung selama 32 tahun pada jaman orde baru adalah kebebasan tabu yang bermuara kepada keinginan penguasa. Di tataran bisnis, keberadaan para purnawirawan sebagtai komisaris dan jabatan simbol lainnya mencerminkan paradoks antara harapan dan realita. Tidak dapat dipungkiri, dengan masuknya para purnawirawan dalam sebuah institusi bisnis, rasa aman dan nyaman secara informal akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan yang menaungi komisaris berlabel jenderal. Fenomena ini tidak dapat dipungkiri menjadi motif utama dalam dunia bisnis. Hal yang sama terjadi ketika TNI pada masa Soeharto banyak mendirikan perusahaan dan sumber pendanaan lainnya bagi kelangsungan organisasi. Pasca penghapusan dwi fungsi ABRI, keberadaan bisnis TNI mulai diatur dan diinventarisir sebagai bagian dari proses reformasi TNI. Lalu bagaimana TNI melakukan survival dalam politik sipil yang semakin mengkerucut kepada inkonsistensi nilai-nilai demokratis?
Peran serta TNI dalam ranah politik saat ini boleh jadi masih sangat strategis. Dalam menyelesaikan persoalan politik seperti Pilkada dan Pemilu, peran serta purnawirawan TNI menjadi sangat penting karena mampu mempengaruhi hasil akhir sebuah proses demokrasi. Apakah ini cermin dari sikap mendua reformasi TNI? atau ini indikasi kegagalan TNI untuk kembali ke barak?
Bisa jadi reorientasi dalam tubuh TNI kembali terjadi. Artinya, peran TNI yang hanya terbatas dalam menjaga penegakan kedaulatan negara akan semakin bosan manakala ada tawaran menarik untuk bermain di lahan yang lain. Yang pasti sepuluh tahun terakhir TNI telah membuktikan dirinya dapat berubah dari abdi kekuasaan, menjadi abdi negara. Jika masih ada yang meragukan kesungguhan TNI untuk mereposisi dirinya, biarlah waktu yang akan menjawabnya. TNI saat proses kelahirannya adalah pengejawantahan pergerakan rakyat. Sejatinya, tugas yang diemban juga harus merepresentasikan tujuan awal itu. Kita tidak ingin TNI terjun ke politik praktis, yang pada akhirnya akan menjadi alat kekuasaan oleh elit partai. dan segelintir kepentingan lainnya. Penulis dan (masyarakat kuas pada umumnya) berharap TNI akan selalu menjadi apa yang telah dicita-citakan oleh para pendirinya, yaitu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.
Salam,
Tri Dharma Eka Karma
Lalu bagaimana peran serta TNI pasca dwi fungsi ABRI di ranah politik? Secara subjektif penulis melihat reformasi TNI memang belum seluruhnya berjalan maksimal. Jika kita menengok relasi hubungan politik praktis dan sepak terjang para purnawirawan TNI, justru muncul simbiosis mutualisma. Sikap teguh institusi TNI tampaknya terlihat mendua karena peran serta purnawirawan dalam kegiatan partai politik masih sangat besar. Tidak jarang eksistensi purnawirawan ini justru terlihat dalam proses transisi negara kita dalam menegakkan nilai-nilai demokratis. Sebuah nilai yang pada jaman orde baru sangat dipasung atas nama kesatuan dan persatuan serta kepentingan rakyat. Kebebasan yang diusung selama 32 tahun pada jaman orde baru adalah kebebasan tabu yang bermuara kepada keinginan penguasa. Di tataran bisnis, keberadaan para purnawirawan sebagtai komisaris dan jabatan simbol lainnya mencerminkan paradoks antara harapan dan realita. Tidak dapat dipungkiri, dengan masuknya para purnawirawan dalam sebuah institusi bisnis, rasa aman dan nyaman secara informal akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan yang menaungi komisaris berlabel jenderal. Fenomena ini tidak dapat dipungkiri menjadi motif utama dalam dunia bisnis. Hal yang sama terjadi ketika TNI pada masa Soeharto banyak mendirikan perusahaan dan sumber pendanaan lainnya bagi kelangsungan organisasi. Pasca penghapusan dwi fungsi ABRI, keberadaan bisnis TNI mulai diatur dan diinventarisir sebagai bagian dari proses reformasi TNI. Lalu bagaimana TNI melakukan survival dalam politik sipil yang semakin mengkerucut kepada inkonsistensi nilai-nilai demokratis?
Peran serta TNI dalam ranah politik saat ini boleh jadi masih sangat strategis. Dalam menyelesaikan persoalan politik seperti Pilkada dan Pemilu, peran serta purnawirawan TNI menjadi sangat penting karena mampu mempengaruhi hasil akhir sebuah proses demokrasi. Apakah ini cermin dari sikap mendua reformasi TNI? atau ini indikasi kegagalan TNI untuk kembali ke barak?
Bisa jadi reorientasi dalam tubuh TNI kembali terjadi. Artinya, peran TNI yang hanya terbatas dalam menjaga penegakan kedaulatan negara akan semakin bosan manakala ada tawaran menarik untuk bermain di lahan yang lain. Yang pasti sepuluh tahun terakhir TNI telah membuktikan dirinya dapat berubah dari abdi kekuasaan, menjadi abdi negara. Jika masih ada yang meragukan kesungguhan TNI untuk mereposisi dirinya, biarlah waktu yang akan menjawabnya. TNI saat proses kelahirannya adalah pengejawantahan pergerakan rakyat. Sejatinya, tugas yang diemban juga harus merepresentasikan tujuan awal itu. Kita tidak ingin TNI terjun ke politik praktis, yang pada akhirnya akan menjadi alat kekuasaan oleh elit partai. dan segelintir kepentingan lainnya. Penulis dan (masyarakat kuas pada umumnya) berharap TNI akan selalu menjadi apa yang telah dicita-citakan oleh para pendirinya, yaitu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional.
Salam,
Tri Dharma Eka Karma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar