Persiapan yang “tampak” biasa saja justru diperlihatkan oleh dua kandidat lain, yaitu Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie. Kedua nya sebenarnya juga sepakat mengklaim telah mendapat dukungan DPC dan DPD dari seluruh Indonesia. Dukungan ini yang kemudian menjadi jualan utama para kandidat calon ketua partai untuk meyakinkan pemilih nantinya di dalam kongres, tak terkecuali Anas.
Setelah Konggres berlangsung semua berakhir antiklimaks. Banyak orang tidak menduga Andi akan kalah telak dalam perebutan kursi ketua partai. Yang lebih menyakitkan, Andi harus angkat kaki pada saat putaran pertama berlangsung. Praktis, putaran kedua menjadi pertarungan antara Marzuki dan Anas. Walau suara Andi kemudian dilimpahkan kepada Marzuki, tidak mampu membendung perolehan suara Anas diakhir proses pemungutan suara. Inilah cermin kekalahan “politik pencitraan” yang berorientasi kepada kekuatan dukungan dana dan waktu yang sempit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Kegagalan dukungan keluarga Cikeas kepada Andi sekaligus hasil berantakan strategi “politik pencitraan” yang dilakukan Andi memang menjadi pukulan telak SBY. Pengamat politik senior LIPI Ikrar Nusa Bakti melihat ini sebagai “Senjakala SBY”. Gagalnya SBY dalam mengawal pencalonan Andi untuk merebut kursi pertama di Partai Demokrat serta sikap mencla mencle SBY dalam mengatur posisi Anggito Abimanyu sebagai calon Wakil Menteri Kemenkeu menjadi pukulan telak berikutnya. Belum lagi ketidaktegasan dan keliaran SBY dalam menanggapi posisi Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menjadi bukti lemahnya SBY dalam mengambil sikap tegas dimata publik.
Kemanangan Anas bukan tidak mungkin menjadi pengungkit proses perubahan kaderisasi dari elit lama dan tua untuk digantikan yang muda. Walau partai-partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan telah merampungkan konggres partai untuk memilih ketua partai, setidaknya hal ini menjadi pembelajaran sekaligus angin segar bagi eksistensi parpol sebagai corong perubahan. Sudah saatnya trah keluarga dan bentuk relasi hubungan kesukuan, keluarga dan kekerabatan ditanggalkan oleh semua pihak saat dirinya terjun ke partai politik.
Sekali lagi, inilah senjakala politik SBY yang sangat identik dengan politik pencitraan. Pencitraan yang mengantarkan dirinya duduk sebagai presiden sampai dengan saat ini oleh sebagian kalangan. Paradigma ini tampaknya bukan lagi menjadi jualan yang efektif dalam menjaring masa. Nurani publik sudah mulai dewasa dalam melihat fenomena elit dalam menggerakkan perjalanan bangsa ini. Pembelajaran itu sudah diberikan oleh kader-kader Partai Demokrat yang tidak terikat oleh pakem atau sabda SBY selaku Pembina Partai Demokrat. Semoga Anas menjadi generasi muda yang mampu menempatkan integritas, amanah, dan rendah hati dalam menjalankan fungsi partai sebagai sarana artikulasi politik, agregasi politik, kaderisasi politik dengan santun dan menjunjung tinggi sikap profesionalisme. Selamat berjuang Bung Anas!