Senin, 13 Desember 2010

Mengakali Mahalnya Ongkos Pemilukada

Demokrasi oleh sebagian besar kalangan diyakini menjadi sarana paling komprehensif dalam membangun peradaban bangsa. Demokrasi pun kini tidak lagi berada dalam ruang yang hampa dan menyajikan utopia dogmatis semata. Melalui demokrasi, sebuah bangsa dapat menggantungkan peradaban dan kesejahteraannya. Lewat semangat otonomi daerah, Pemilukada di Indonesia direpresentasikan sebagai wujud penguatan demokrasi di tingkat daerah. Pemilukada diharapkan menjadi sarana, bukan hanya tujuan dari perjalanan demokrasi bangsa ini. Melalui pemilihan langsung ini, rakyat mengharapkan muncul pemimpin yang jujur dan bersih untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan daerah.

Untung-Buntung Pemilukada

Pemilukada adalah pilar demokrasi. Keberadaannya dimaknai sebagai artikulasi kemenangan rakyat sekaligus pengejawantahan pranata politik lokal. Pemilukada didesain untuk menjembatani kehausan rakyat dalam mencari pemimpin yang kredibel dan akuntabel. Atas nama demokrasi, Pemilukada ditasbihkan sebagai mekanisme paling demokratis dalam menjaring pemimpin lokal. Realitanya, konsekuensi logis Pemilukada dalam praktiknya menjadi sangat mahal. Resistensi yang ditimbulkan pun sangat besar. Selain menimbulkan praktik rent seeking dan korupsi, proses Pemilukada juga memunculkan elite lokal yang miskin pengalaman dan integritas. Cepatnya calon elite memasuki dan memainkan peran elite tanpa bekal pengalaman yang cukup justru memperburuk wajah demokrasi di tingkat lokal. Sebabnya, orientasi elitis ini tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi individu dan kelompok. Prasojo melihat elite instan ini sebagai parasit demokrasi. Gejala ini tentu saja cermin kegagalan peran partai politik dalam melakukan fungsi kaderisasi, segregasi, agregasi, dan artikulasi politik kepada masyarakat.

Ada satu analogi menarik yang memandang fenomena Pemilukada di Indonesia sebagai proses investasi politik. Dalam proses investasi Pemilukada, ada pembeli (pemilih), investor (calon bupati/walikota/gubernur/elite lokal dan nasional), dan regulator (pemerintah/civil society/parpol). Ketimpangan peran ketiganya membentuk “demokrasi transaksional”. Siapa mendapat apa, dan bentuk transaksi politik uang menjadi orientasi utama untuk memenangkan sekaligus memelihara kemenangan itu sampai akhir masa jabatan. Celakanya, jika proses investasi ekonomi memiliki aturan yang jelas dan dapat diukur, investasi politik di Indonesia tidak dapat diukur karena segalanya dilakukan dengan budaya transaksional dan biaya tinggi. Kekuatan dana (uang), suara pemilih, relasi dengan elite lokal dan nasional, serta patronase dalam bentuk kekerabatan keluarga dan birokrasi menjadi komoditas untuk menentukan posisi tawar dalam memenangkan Pemilukada.

Begitu mahalnya proses berdemokrasi di Indonesia memang tidak dapat dinafikkan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah diskusi disalah satu stasiun televisi nasional memberikan gambaran, bakal calon (balon) bupati atau walikota yang ingin maju dalam pemilihan harus menyiapkan dana berkisar 10-20 miliar untuk ikut bertarung dalam Pemilukada di level kabupaten/kota. Hitungan kasar ini berlaku juga untuk pemilihan gubernur di level propinsi, dimana ongkos yang dikeluarkan akan jauh lebih besar (kurang lebih 70-100 miliar) karena cakupan area pemilihannya jauh lebih luas. Ongkos ini tergerus untuk pendanaan kampanye seperti spanduk, biaya iklan di media massa, membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan yang paling penting membayar kendaraan politik kepada partai penyokong.

Belum lagi permintaan proposal dana dari organisasi kemasyarakatan dan bentuk kegiatan lain yang semakin membebani kantong balon. Kalkulasi besaran biaya ini tentu saja juga dipengaruhi letak dan strategisnya daerah pemilihan Pemilukada. Ranah Jawa dan non Jawa tentu memiliki estimasi perhitungan berbeda dengan memperhatikan faktor teknis dan non teknis. Maka tidak jarang banyak para bupati/walikota/gubernur yang dipenjara karena kedapatan korupsi. Mahalnya ongkos Pemilukada membawa konsekuensi bagi balon terpilih untuk mencari pengganti uang yang telah dikeluarkan. Kebanyakan mengakalinya melalui tender proyek dan perencanaan pos anggaran tidak penting. Tidak sedikit pemimpin daerah memanfaatkan birokrasi sebagai mesin uang sekaligus media dalam menciptakan sekaligus melanggengkan kartel politik di tingkat lokal. Pemimpin daerahnya pun tak ubahnya sebagai raja-raja kecil di daerah kekuasaanya.

Solusi Alternatif

Demokrasi memang mahal. Seperi ucapan Plato, demokrasi menimbulkan anarki dan tirani jika kita tidak dapat mengatasi serangan kepada “kebebasan” demokrasi itu sendiri. Pemilukada yang karut marut dewasa ini tidak lain bentuk implikasi sistem pemilihan kita yang berorientasi kepada kebebasan atas nama demokrasi. PP No 6 Tahun 2005, Undang-undang No 32 Tahun 2004, dan peraturan turunan tentang Pemilukada kini dinilai tidak lagi responsif dan solutif sebagai border dan guidance dalam berdemokrasi di tingkat lokal. Berbagai peraturan Pemilukada ditengarai juga tidak mengakomodasi unsur lokalitas dalam praktiknya. Akibatnya, muncul desakan untuk merevisi dan merubah aturan main ini agar penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia tidak berbiaya tinggi.

Pertama, pengelolaan dana Pemilukada harus dibatasi melalui kejelasan batasan maksimal biaya yang harus dikeluarkan oleh balon. Selain meminimalisir hegemoni balon yang memiliki finansial tanpa batas, alternatif pendanaan Pemilukada melalui APBN juga menjadi wacana yang patut diambil. Pembatasan dana kampanye juga akan membuka katub partisipasi balon dengan dana terbatas. Kedua, metode kampanye juga harus diubah, dari yang sifatnya pengerahan massa menjadi bentuk dialog dan menggali visi dan misi balon. Sesatnya pemilih dalam mencari balon terbaik dikarenakan desain kampanye Pemilukada tidak membuka ruang dialog dan transfer informasi dua arah. Ketiga, Menggabungkan Pemilukada secara serentak. Pemilihan legislatif dan DPD di tingkat pusat dan daerah dapat dilakukan secara nasional. Khusus untuk pemilihan gubernur, jika memang fungsinya sebagai kepanjangan pemerintah pusat, pemilihannya dapat dilakukan secara tidak langsung (ditunjuk presiden atau melalui DPRD Provinsi). Terakhir, Reorientasi peran dan fungsi partai politik harus dilakukan. Partai politik harus melaksanakan proses rekrutmen calon kader yang akan diusung dalam Pemilukada secara transparan. Utamanya, kader terbaik yang punya visi dan integritas tinggi yang harus dikedepankan sebagai “gacoan” untuk bertarung dalam proses pemilihan. Partai politik juga harus mendesain sistem pre-eliminary internal dalam mencari balon yang berkualitas.

Sudah saatnya Pemilukada difungsikan sebagai sarana local voice dan local choice. Koherensi Pemilukada dan fungsi otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat harus diselaraskan. Mahalnya Pemilukada dan bentuk resistensi negatif yang timbul tidak hanya mencederai proses pencarian jati diri bangsa ini kepada demokrasi. Lebih dari itu, mahalnya ongkos Pemilukada akan menghambat pembangunan peradaban bangsa dalam jangka panjang, sekaligus cermin kegagalan elite kebijakan yang memaknai demokrasi sebagai tujuan, bukan sarana.

Selasa, 09 November 2010

Essay Merah Jingga

“Dengarkanlah hanya tuk kali ini kan ku katakan isi hatiku. Semuanya…kan kuungkapkan…coba kulihat apa kau mengerti…Karena semakin hari kita jalan bersama..Tapi aku tak mengenal siapakah dirimu…” (siapakah dirimu-Lobow)

Di hari itu…kita sempat bertukar mesra. Walau yang kedua, karib itu perlahan muncul. Jauh sebelum kamu merasa hebat. Lama sebelum cita dan karsa meninggikanmu di antara kami. Coba kau ingat hari itu. Waktu dimana kita tersadar, siapakah diri kita. Tengoklah sebentar puisi lugu untuk hati yang terhinggapi kasmaran. Dunia pun seakan berputar layaknya vertigo. Sejenak kita berlari dengan pekat malam dan bintang. Menuju nirwana, yang bagi kita tabu lalu pilu.

Kamu tahu…keindahan itu sejatinya tidak fana. Tak jua singkat. Tidak kosong karena waktu telah mengisinya dengan cerita dan tawa. Bahkan ketika jari kakimu tersandung di ujung jalan, tangis dan isak kemudian menyempurnakan semuanya. Tawamu pun muncul di segaris senyum dan peluh. Dari jauh doa dan pintaku memastikan kamu akan baik-baik saja. Anekdot dan majas cinta jadi media merah jambu hati kita. Berharap diri ini akan jadi yang terindah diantara yang terbaik dan terburuk. Ternyata itu tidak cukup!

Kini…karib itu pun perlahan lari. Pergi sebentar, kemudian datang lagi. Tanpa paksa niat baik timbul dan selalu saja menguatkan asa disepanjang perjumpaan. Tanpa diundang, semuanya datang dan pergi. Sampai kemudian pertanyaan muncul, pantaskah kamu untuk diperjuangkan?

Lama sekali aku tunggu perbincangan ini. Sekedar memastikan, aku tidak akan bertanya lagi. Hanya ingin menjelaskan bahwa persoalan rumit ini sejatinya sederhana. Kita pun berlakon seperti lelaki bunga dan wanita penyulam kristik. Mencoba mengelokkan setiap wicara kita disepanjang frasa dan kata. Kamu tahu…lama aku tunggu jalinan benang dibenakku terurai. Sampai kusampaikan maksud, bahwa suaraku tak sekedar diam. Tak pula pelan, karena kalau pun aku tak bersuara, aku tahu kamu mengerti. Masihkah kamu mengerti bait dan lirik surat merah jambu kita?

Mungkin kita akan selalu memahami “kita” (diri ini dan kamu, jika kamu mengakui) tanpa suara. Diam yang oleh kita begitu mengerti maksud kita kepada hati. Sama seperti kristik yang dirajut disela diam. Kita berusaha membuat setiap polanya terlihat elok di mata. Selalu…walau hanya aku yang selalu mencoba peruntungan kita. Bahkan ketika niat mendapatkanmu hadir dan pergi, selalu saja jaring laba-laba menghentikan langkahku. Sampai aku pun meragukan ketulusanmu menjadikan kristik itu benar-benar elok dimata kita.

Dan sepertinya aku mulai lelah saat hari berganti sore. Semua yang bagimu “mungkin“ hanya pelampiasan dari kekosongan pikir dan imajinasi adalah saat dimana ini harus berhenti. Mungkin sementara atau selamanya. Walau tidak dapat sepenuhnya hilang, ini semua akan dicoba dengan pelan-pelan…sampai kristik kembali terajut dari penyulam yang baru. Tanpa aku harus bertanya kepergian penyulam yang lama. Karena pada akhirnya, keindahan kristik tidak selalu harus dinikmati bersamamu di teras belakang.

Sabtu, 06 November 2010

Layang-Layang

Apakah kalian pernah melihat layang-layang? Tentu kita semua pernah melihatnya. Tapi, belum tentu semua mampu menerbangkan layang-layang sampai di angkasa. Tidak mudah membuat layang-layang terbang tinggi di awan. Butuh teknik dan harmonisasi insting kita dengan angin agar layang-layang yang kita terbangkan dapat melayang tinggi ke angkasa. Tidak hanya terbang sebentar, namun lama.

Lalu apa makna yang dapat kita petik ketika seseorang menerbangkan layang-layang? Ada dua hal penting dalam menerbangkan layang-layang. “Menarik” dan “mengulur”. Keduanya membutuhkan ketepatan waktu, kekuatan tangan, intuisi, dan tentu saja harmonisasi dengan angin agar layang-layang kita dapat tetap terbang di angkasa.

Dalam berkehidupan, hubungan kita dengan orang lain pun demikian. Tak ubahnya bagaimana kita menjaga agar layang-layang tetap tinggi di awan. Kapan waktunya kita “menarik” dan kapan waktunya kita “mengulur” adalah afiliasi dimana kita harus “member” atau “menerima”; “memaafkan” atau “meminta maaf” atas kesalahan yan kita perbuat. Pun demikian, dengan pasangan kita sejatinya juga harus demikian. Perjalanan suatu hubungan dengan sesama anggota keluarga, sahabat, bahkan dengan pasangan hidup kita, kadang sering diliputi berbagai persoalan.

Kadang sifatnya penting, tapi tidak sedikit kita bertengkar karena persoalan yang kecil, bahkan sangat tidak penting karena jawabannya kita sudah tahu. Lalu apa yang menyebabkan kita kadang mempersoalkan “persoalan” yang sudah tahu jawabannya. Itu semua karena ego kita kah? Atau kita memang bebal dan tidak tahu bahwa yang kita ributkan dan kita pertahankan justru menurunkan pribadi kita di mata orang kebanyakan? Pemicunya hampir semuanya sama. Masing-masing pribadi tidak tahu kapan mereka harus mengulur, kapan mereka harus menarik. Mereka tidak pernah belajar dari falsafah layang-layang.

Seiring berjalannya waktu, kita tidak mungkin terus berada pada fase dimana kita terus mencari bentuk ideal kepercayaan satu dengan yang lainnya. Percayalah, waktu sendirinya akan membentuk kepercayaan itu dalam diri kita masing-masing. Menyikapi masalah tidak harus menimbulkan masalah baru. Kalaupun masalah baru itu muncul, maknai dan lihat itu sebagai proses bagian dari pendewasaan kita. Bukan sesuatu yang pada suatu hari nanti, masalah itu kita ulangi kembali tanpa ada jalan keluarnya. Manusia yang bijak dan pintar, memahami dan melihat setiap hal yang mereka temui sepanjang hari sebagai hal yang terbaik. Terbaik dalam arti menjadi pelajaran dan bekal untuk dirinya dalam menghadapi situasi dan kondisi di masa yang akan datang.

Belajarlah kepada layang-layang. Dari jauh ia tampak anggun dan tenang. Dari jauh ia sangat indah dan memberikan kepuasan bagi siapapun yang berhasil menerbangkannnya sampai ke angkasa. Namun, pahami juga bahwa untuk menerbangkan layang-layang sampai ke angkasa, dibutuhkan proses dan harmonisasi. Keindahan layang-layang diawali dari perjuangan untuk mensinergikan angin, arah angin, kekuatan tangan kita, benang yang berkualitas dan layang-layang yang memiliki arpu yang baik. Semua itu juga tidak cukup. Yang paling penting, teknik menarik dan mengulur juga menjadi bagian penting agar layang-layang itu tetap terbang tinggi walau angin datang dan pergi.

Bermain layang-layang tidak hanya dinikmati ketika kita telah berhasil menerbangkannya sampai di angkasa kemudian jatuh kembali. Keindahan dalam bermain layang-layang ketika kita mampu menjadi ritme dan harmonisasinya agar tetap terbang di angkasa. Termasuk ketika layang-layang itu putus, kita siap untuk mengejarnya, mendapatkannya, lalu menerbangkannya kembali. Sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara.

Kamis, 04 November 2010

Kosmologis Merapi dalam Peradaban Jawa

Sebagai salah satu entitas budaya Jawa, keberadaan gunung Merapi telah mempengaruhi struktur dan pembentukan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jawa. Merapi pun muncul sebagai bagian penting dari kosmologis budaya Jawa dan sangat mempengaruhi eksistensi keraton Jogyakarta. Dari historis. Merapi diidentikkan sebagai titik vertikal yang melambangkan unsur api. Artinya, Merapi sebagai gunung api yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, akan sangat mempengaruhi sifat dan kebijakan pemangku kebijakan keraton (pada masa lalu dan kekinian), disamping juga menjadi isyarat bagi makna kebijakan yang diambil oleh Presiden Republik Indonesia dalam arti luas. Klenik ini bisa jadi masih sangat dijunjung tinggi karena dalam perjalanannya, keberadaan Merapi dan segala aktivitas vulkanisnya telah kadung disakralkan sebagai isyarat “bala” dan “rahmat” dari kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan di negeri ini.

Merapi secara geografis terletak di sebelah utara Jogyakarta. Dalam kepercayaan Jawa, Merapi menjadi simbol “Api”. Simbol api dalam metologi Jawa dan kebanyakan kebudayaan lainnya sejatinya harus diimbangi dengan unsur air. Dengan demikian, keseimbangan hidup akan tercipta ketika air dan api dapat disatukan dan dinetralisir. Titik pertemuan Merapi di sebelah utara dan pantai selatan di sebelah selatan Jogyakarta oleh sebagian besar kalangan Jawa dan masyarakat kebanyakan menjadi garis yang sangat penting. Jika kita menarik garis lurus yang dimulai dari arah utara (Merapi sebagai titik awal) sampai dengan pantai selatan (sebagai titik akhir) , maka keberadaan keraton Jogyakarta akan berada persis di tengah dua titik sakral. Merapi dan pantai selatan adalah simbol “Api” dan “Air” dimana keduanya akan sangat mempengaruhi denyut nadi kehidupan keraton Jogyakarta secara umum maupun khusus.

Begitu pentingnya keberadaan Merapi sebagai simbol sekaligus entitas kearifan lokal masyarakat Jawa sampai Raja Keraton Jogyakarta mengutus Abdi Dalem Keraton untuk menjaga sekaligus mengawasi keberadaan Merapi. Mbah Maridjan yang oleh masyarakat kebanyakan ditasbihan sebagai “Kuncen” Merapi adalah bentuk penghormatan Keraton Jogyakarta terhadap Merapi sebagai bagian penting dari perjalanan sejarah Keraton. Bentuk ritual kejawen yang sampai saat ini masih dipelihara oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini, dipercaya sebagai wujud penghormatan dan rasa terima kasih masyarakat atas rahmat Tuhan YME. Ritual yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Jawa di sekitar pantai selatan sebagai salah satu simbol penting yang sangat mempengaruhi metologi Jawa. Merapi dan pantai selatan melambangkan hubungan vertical dan horizontal masyarakat Jawa kepada alam semesta. Keduanya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Meletusnya Merapi akhir-akhir ini tentu saja tidak hanya dimaknai sebagai proses alam dan siklus kegunungapian Merapi. Oleh sebagian kalangan, meletusnya merapi adalah pertanda terjadinya sesuatu hal yang dapat diartkulasikan baik atau buruk. Ada yang menganggap setiap merapi meletus akan berpengaruh kepada peta politik di negeri ini. Pergantian kepemimpinan atau pergantian posisi jabatan menjadi anonim meletusnya Merapi pada tahun-tahun sebelumnya. Ada juga yang melihat meletusnya Merapi adalah bentuk peringatan akan anomali pelanggaraan etika kehidupan di masyarakat. Inkonsistensi masyarakat Jawa (khususnya Jogyakarta) untuk memegang nilai-nilai kearifan lokal dalam menjalani hidup mungkin membuat Merapi marah. Degradesi etika di masyarakat lambat laun telah mengikis kearifan lokal masyarakat setempat. Setali tiga uang dengan kehidupan elitis di negeri ini, kemarahan Merapi adalah bentuk keterwakilan kemarahan rakyat. Karena katub saluran kemarahan rakyat telah tertutup, Tuhan pun mengutus alam untuk memperingatkan manusia. Alam akan selalu jujur pada manusia karena rasa dan karsa menjadi idiom alam untuk medewasakan umat manusia. Melalui teguran bencana, alam dan Tuhan ingin mendewasakan manusia menjadi lebih arif dan bijak. Boleh jadi ini benar, atau boleh jadi ini hanya bentuk ketidaksengajaan momentum yang dimaknai secara berlebihan.

Apapun itu, Merapi adalah sebuah misteri. Dia adalah simbol perjalanan budaya yang sangat panjang bagi metologi Jawa dan keberadaan bangsa ini. Merapi akan tetap menjadi simbol “klenik” masyarakat Jawa dimana eksistensinya akan selalu dihubungkan dengan perjalanan kehidupan masyarakat Jawa secara khusus, dan masyarakat Indonesia secara umum. Merapi akan terus menjadi dua sisi yang mengagungkan sekaligus menakutkan. Mengagungkan karena keberadaan Merapi telah menghidupi masyarakatnya untuk beranak pinak melalui tanah pertanian yang subur dan iklim yang sempurna. Menakutkan karena ketika marah, Merapi tidak segan meminta korban dan lara. Sewajarnya, kita sebagai manusia memahami meletusnya Merapi dan bentuk bencana yang datang silih berganti sebagai teguran dan pembelajaran. Belajar untuk lebih peka dan peduli dengan orang lain. Belajar untuk lebih mawas diri dan arif tanpa mementingkan diri sendiri. Semoga keberadaan Merapi akan menjadi tugu peringatan kepada yang batil dan arif. Karena peringatan alam akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi negeri ini untuk tidak menjadi negeri yang bebal.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Ketika Bencana Datang Di Negeri Para Bedebah

“Kata orang tanah kita tanah surga...Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (Koesplus)

Sitiran lagu di atas barangkali anonim kesempurnaan rahmat Tuhan bagi negeri ini. Kita, sebagai bangsa yang besar, dianugrahi begitu banyak keuntungan dan bekal oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tanah subur, iklm yang sempurna, kekayaan laut yang luas, serta keramahan dan senyum Indonesia, adalah wajah Indonesia di hamparan sejarah dan peradaban dunia.

Indonesa pun dikenal sebagai negeri cincin gunung api dunia. Sepanjang barat sampai timur, gugusan gunung api membentang sebagai benteng pertahanan alam. “Zambrut katulistiwa” menyemat anggun sebagai alias nama Indonesia. Kekayaan dan tanah nan subur dari abu vulkanik gunung api, menghidupi masyarakatnya untuk beranak pinak sepanjang beradaban negeri ini dibentuk. Tuhan pun murka ketika amanat-Nya dikhianati. Keteledoran dan kebrutalan kita kepada alam, terlukis dari banyaknya bencana yang datang silih berganti. Inilah ironi, sekaligus keprihatinan yang mendalam bagi perjalanan negeri khatulistiwa.

Sekali lagi, negeri ini kembali dilanda lara. Bencana kembali menghujam kala bala yang lain belum jua kering. Gempa bumi, gelombang tsunami di Mentawai, meletusnya gunung Merapi, banjir bandang di Wasior, dan beberapa peningkatan aktivitas gunung api di penjuru negeri, menjadi isyarat bahwa bencana yang lain hanya tinggal menunggu waktu. Apakah ini bertanda kemarahan alam? Atau isyarat dari Tuhan kepada bangsa ini yang telah melupakan norma berperilaku dengan alam? Entahlah….Negeri ini tampaknya terlalu sibuk dengan jual beli kepentingan, sampai kepentingan rakyat dijual atas nama kepentingan pribadi. Tengoklah, pertanggungjawaban lumpuhnya ibukota Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta hanya dilakukan dengan tersenyum. Senyum simpul yang tentunya membawa sejuta makna. Makna yang sampai kini, kita sebagai rakyat Jakarta yang menitipkan amanah di pundaknya tidak mengerti maksud senyumnya.

Negeri ini telah melupakan sejarah dan masa lalu. Masa kini, dirajut dengan berkaca kepada masa depan. Alam selalu dipojokkan dan menjadi biang keladi paling mudah oleh pemangku kebijakan di negeri ini. Masa lalu dianggap sebagai cerita lalu yang ditutup tanpa perlu kita buka dan pelajari. Wahai para pemimpin…jangan salahkan jika alam menegurmu dengan bala dan duka. Jangan meminta Tuhan menghentikan murkanya, saat kita tidak dapat belajar dari alam dan masa lalu.

Yang pasti, negeri ini bebal untuk belajar menghadapi alam. Negeri ini terlalu angkuh dan sombong menghadapi kemarahan alam. Negeri ini pun kelewat percaya diri ketika bencana datang silih berganti. Yang jelas, segelintir orang di negeri ini bebal dan rakus dengan kekuasaan politik ketika rakyat di luar sana sibuk mencari perlindungan. Bangsa ini tidak mau belajar dari alam. Tengoklah, betapa kerdil dan rakus segelintir orang yang mencuri teknologi system peringatan dini di lepas pantai sebagai tanda tsunami datang. Tengoklah hutan belantara kini jadi belantara gedung pencakat langit. Kerakusan telah mengorbankan etika dan ramah tamah kita kepada alam. Tuhan pun murka saat kepentingan umum dijual atas nama kepentingan pribadi.

Ya…negeri ini telah hilang kepribadian. Lebih dari pada itu, negeri ini tidak malu dengan kerakusan yang membumbung tinggi bak setinggi awan panas lereng Merapi. Pemimpin kita lebih sibuk dengan pencitraannya, dibandingkan dengan tugas utamanya sebagai pengabdi rakyat.

Ironis…kemudian miris. Air mata telah berubah menjadi lumpur pekat yang tak kunjung padam. Kesedihan telah berubah menjadi gemuruh teriakan minta tolong di sela gelombang air dan dentum kawah gunung. Tengoklah! Alam telah murka kepada kita saudaraku…jangan lagi kita kotori dengan perbuatan yang hina. Saatnya kita berbagi untuk negeri….Kata orang negeri ini negeri dongeng, apa yang kau lempar, itu yang kau tanam. Tunjukkan bahwa kita dapat melempar dengan hal yang bermanfaat untuk menyemai yang bermartabat.

Pintaku, sudahi tangismu dengan senyummu. Pintaku, ketika kau sedih, kamu tidak merasa dirimu sendiri karena dukamu adalah duka negerimu. Negeri ini harus bangkit menjadi negeri yang pandai berempati dan simpati. Pintaku, negeri ini akan belajar memperlakukan alam dengan lebih bermartabat. Pintaku, kasih Tuhan dan cinta kasih selalu menerangi bangsa ini menjadi lebih baik. Pintaku, pinta dari kaum papa dan teraniaya, akan selalu menjadi doa terbaik bagi negeri ini untuk meraih cita-cita luhur. Semoga.


Selasa, 20 Juli 2010

Kebahagiaan dan Kesedihan dalam Proses Memilih

Pernahkah kalian berada dipersimpangan jalan? memikirkan banyak spekulasi yang tidak pasti? takut dalam membuat keputusan karena konsekuensi yang dihasilkan?

Diantara kita mungkin pernah ya,, termasuk saya. Dan rasanya sungguh tidak enak. Dalam bekerja, belajar, berkeluarga, atau dalam menjalani hidup seorang diri pun seringkali menemui sebuah dilema dan perasaan pelik.

Ketakutan manusia dalam menentukan sebuah pilihan secara kodrati memang dimaklumi. Dengan segala keterbatasannnya, manusia dilahirkan dengan membawa sikap yang apatis dan cenderung stagnan ketika kondisi yang dirasakannya sudah memenuhi ekspektasi diri kita (walau tidak semua orang seperti itu).

Kebanyakan memang demikian. Namun, ketika kita sedang dipersimpangan jalan, apakah kita masih harus memakai lcara berpikir seperti itu walau secara lahiriah manusia memang memiliki sifat itu? jawabannya tentu tidak...! Bisa ya bisa tidak...atau Ya? Semuanya terserah kepada kalian.

Hidup memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap kita menemui hal-hal baru dalam kehidupan kita adalah sebuah proses dari memilih dari berbagai pilihan. Sederhananya, apa yang kita jalani dan syukuri sampai dengan saat ini adalah bagian dari pilihan yang kita ambil secara sadar atau tidak sadar.

Seiring bergulirnya waktu, kualitas pilihan kita harusnya juga semakin baik dan mampu memberikan kebaikan bagi diri kita. Kita tidak lagi terpatri dalam satu zona aman yang kalau kita melangkah terlalu jauh akan tersesat. Kita tidak boleh berpikir lagi kalau kita berada dalam situasi yang memuaskan, kita tidak perlu lagi untuk menaikkan kualitas hidup kita.

Dilema dan pelik adalah sikap resisten sesaat ketika kita memasuki fase memilih. Terlepas dari apa yang akan terjadi nanti, Tuhan telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa sebuah dilema dan perasaan pelik adalah anugrah Tuhan untuk mendewasakan manusia. Bahwa hidup itu adalah memilih dan dipilih. Hidup adalah mengejar atau dikejar. Hidup itu menaklukkan atau ditaklukkan. dan Hidup itu sendiri atau bersama. Semua tergantung dari pilihanmu.

Semoga kita selalu dapat menyikapi sebuah dilema dan pelik dengan kualitas yang baik. Baik dalam arti untuk semua orang, tidak hanya baik untuk diri kita sendiri. Itu namanya egois. Kita harus berangkat dengan sebuah pemikiran bahwa ketika kita ingin mendapatkan yang terbaik, kita juga harus siap dengan kemungkinan yang terburuk.

Pada akhirnya, sebuah keputusan di dalam hidup kita sejatinya tidak ada yang buruk, karena Tuhan kadang ingin kita melakukan sebuah kesalahan terlebih dahulu dalam proses memilih, sebelum kita mendapatkan kebahagiaan dari kesalahan kita. Pilihan yang benar itu tidak semuanya mendatangkan sebuah kebaikan dan kebahagiaan. Begitupun dengan pilihan yang salah itu tidak semuanya mendatangkan kesedihan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Sabtu, 17 Juli 2010

Menyempurnakan Sebuah Ibadah

Hari ini, banyak pelajaran hidup berharga yang dapat dipetik. Entah kenapa, secara tidak sengaja kaki ini begitu ringan untuk melangkah ke pesta pernikahan seorang sahabat. Hal yang sebenarnya sangat jarang saya lakukan ketika undangan datang ditujukan kepada saya. Bagi sebagian orang, pesta pernikahan mungkin sebuah hal yang biasa dan hanya sekedar formalitas untuk menunjukkan eksistensi dan kekerabatan kitna kepada teman, keluarga dekat, kerabat, atau rekan kerja. Namun, dibalik formalitas itu, ternyata banyak hal yang akan kita dapatkan dari perjamuan dua insan yang diberkati Tuhan untuk menjadi pasangan di dunia dan akhirat (semoga).

Perjamuan pernikahan memberikan pesan sekaligus teguran bagi kita (termasuk saya), bahwa manusia secara kodrati akan mengalami hal yang sama dengan orang yang kita beri ucapan “selamat menempuh hidup baru” dalam perjamuan pernikahan. Mereka berdua (mempelai pasangan) yang akan kembali mengingatkan kita tentang sebuah realita bahwa dalam satu fase tertentu, kita juga harus memutuskan untuk merancang, mengeksekusi, dan pada nantinya akan memetik hasil dari sebuah rencana pernikahan.

Kita berlakon sebagai aktor yang sebenarnya (tidak hanya sekedar sebagai penikmat dari proses persiapan yang begitu panjang). Kita akan bergulat dengan jadwal gedung tempat resepsi yang sudah penuh. Kita akan sibuk memilih makanan yang akan disajikan kepada para undangan tamu. Kita akan berkutat dengan desain undangan yang dapat mewakili dua individu yang bertolak belakang. Kita pun akan sibuk meyakinkan dan memastikan semua acara terselenggara dengan baik. Berdua, kita akan mengawali petualangan yang indah. Meski itu dimulai dari pelabuhan yang bernama “persiapan nikah”, buat sebagian orang, hal itu mungkin adalah awal yang indah sebelum kita mengarungi samudra rumah tangga nantinya. Dan saya termasuk orang yang mengamini argumentasi ini.

Lihatlah mereka! Dengan adanya perbedaan diantara mereka, keindahan justru dapat dihadirkan dalam ruang yang ramai. Lihatlah mereka! Dengan cinta, perbedaan itu kemudian menjadi sebuah komitmen untuk menerima segala konsekuensi pembeda dalam diri mereka berdua. Tuhan telah berjanji bahwa perbedaan itu akan tertutupi dengan niat yang tulus untuk beribadah hanya kepada Tuhan. Bukankah itu begitu indah, jika kita mampu memaknainya?

Sahabatku…singkirkan egomu untuk berhenti berpikir bahwa perbedaan budaya, status keluarga, harta kekayaan, cara kita berpikir, akan menghalangi niat sucimu untuk menghalalkan pendamping hidupmu. Singkirkan pula dalam benakmu, dua insan dengan karakter yang sama, cara berpikir yang sama, dan latar belakang yang sama, akan menjadikanmu menjadi pasangan yang hambar. Karena semuanya akan diuji oleh waktu dan keadaan.

Kita “sama” dan “beda” adalah dua hal sama. Sama dalam arti ingin mencari sebuah makna hidup yang sempurna bagi diri dan pasangan kita. Bukan berarti ketika kita berangkat dengan sifat yang “berbeda” kita akan mendapatkan akhir yang indah. Dan jangan pula kamu berpikir dengan sebuah “kesamaan”, nantinya kita akan menemui hal yang sama setiap hari dari pasangan kita. Kedewasaan kita akan tumbuh saat kita bertoleransi dengan pasangan kita. Saat kita dapat saling bertenggang rasa dan mampu melewati sebuah ujian besar. Bukankah itu menjadi hal yang paling indah?

Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Tuhan, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Tuhan dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Tuhan hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Tuhan dan untuk Tuhan. Begitupun sebaliknya, kadang kita harus berangkat dari sebuah perbedaan untuk mendapatkan sebuah kesamaan karena Tuhan memberikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda.

Apapun itu, betapa indahnya pertemuan dua dua insan yang saling mencintai dan merindukan Tuhan. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Tuhan, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani. Menyitir dari surat (Al Izzah: 18), sebagai seorang muslim, kalau kita berkualitas di sisi Allah SWT, pasti yang akan datang juga seseorang (jodoh untuk kita) yang berkualitas pula. Terlepas kita berangkat dari sebuah perbedaan atau kesamaan.

Pada akhirnya, kunjungan pesta pernikahan akan terasa lebih bermanfaat saat kita mampu mereorientasi sebuah pernikahan sebagai sebuah fase penyempurnan ibadah kita, dari pada sekedar ajang menikmati hidangan makanan yang disajikan. Dan jangan kamu khawatir kepada kalian yang belum memiliki pasangan akan sulit memasuki fase itu karena selama kita percaya dengan kuasa Tuhan, cepat atau lambat, keindahan itu akan datang tepat pada waktunya. Begitupun dengan kalian yang sedang berusaha meyakinkan orang yang selama ini menjadi obsesimu untuk memasuki fase itu. Yakinkan hatinya kalau kita layak untuk mendampingi mereka. Yakinkan dia, bahwa sebuah komitmen itu menerima konsekuensi dari segala kekurangan dari pasangan kita.

Tapi, kamu juga harus berpikir realistis bahwa apapun itu, jika kamu mengawalinya dengan keterpaksaan dan rasa kasihan, semuanya hanya akan berakhir dengan kesedihan. Jangan pula paksakan hatimu untuk semakin terbenam kepada ketidakpastian jika kamu merasa cukup untuk meyakinkan cintanya (yang belum pasti). Karena sebuah kepastian akan selalu hadir hanya akan hadir ketika Tuhan mengingatkan kita dengan cara-cara yang tidak kita duga. Menghadiri pesta pernikahan salah satunya.


Senin, 12 Juli 2010

Buah Tangan Dari Afrika Selatan

Pesta akbar piala dunia 2010 yang digelar di Afrika Selatan baru saja usai. Banyak kejutan yang telah terjadi dalam pesta empat tahunan ini. Secara umum, inilah kemenangan sepak bola menyerang. Kampanye yang didengungkan FIFA kepada semua peserta tim kontestan agar menampilkan permainan menyerang, dinilai cukup berhasil dengan tampilnya Belanda dan Spanyol sebagai negara terakhir di partai final. Dalam mencapai partai final, keduanya mengedepankan permainan menyerang. Walau sedikit pragmatis dalam bermain, Belanda masih menampilkan permainan menyerang dengan lebih sederhana serta mengedepankan bola-bola panjang yang akurat. Tim Matador juga tidak kalah mentereng dari sisi gaya bermain. Walau dari sisi produktivitas gol masih jauh dibanding Tim Kincir Angin, Spanyol memiliki gaya bermain dengan mengandalkan umpan-umpan pendek di lapangan tengah.

Piala dunia yang digelar untuk pertama kalinya di benua hitam Afrika telah memunculkan berbagai plot cerita. Dimulai dari gagalnya para bintang yang diprediksi akan bersinar sampai munculnya bakat-bakat bintang baru yang mulai mekar, sampai suara terompet yang mengganggu jalannya permainan. Permainan individualisme ala Brasil dan pertahanan berlapis ala Italia kali ini tidak mendapat tempat di piala dunia kali ini. Permainan kolektivitas dan kombinasi pemain tua dan muda muncul sebagai dogma baru permainan yang disuguhkan oleh para negara kontestan. Sejauh ini kolektifitas tim mampu meredam patron mapan yang dimiliki negara-negara dengan tradisi kuat dalam sepak bola seperti Italia, Brasil, Argentina, serta negara Afrika yang sangat mengandalkan fisik sebagai sebuah “value” dalam meraih kemenangan.

Di piala dunia kali ini, penonton juga disuguhi semangat militanisme permainan Uruguay yang sangat berkarakter Amerika Selatan sampai pergeseran paradigma chauvinisme di tubuh tim Panser Jerman. Sepak bola kini tak ubahnya sebagai pertarungan antar negara yang dikemas dengan apik. Gaya lama “total football” ala tim Belanda dan istilah “diesel yang terlambat panas” sebagai afiliasi tim Jerman selama tiga dasarwarsa ini mulai pudar. Jerman kini menjadi mesin diesel yang telah panas sejak awal. Sektarian yang selalu mengagungkan bangsa Arya di dalam darah dan tradisi masyarakat Jerman kini lambat laun juga mulai hilang saat bakat-bakat baru dilahirkan dari para imigran Jerman.

Tim Jerman kini tak ubahnya sebagai bangsa dengan multi etnis. Darah Polandia, Ghana, Turki, Brasil, bahkan darah Afrika kini mengalir dalam diri para pemain muda Jerman. Mereka menjadi tulang punggung utama tim serta menjadi rising start baru. Perubahan wajah tim Jerman kali ini notabene mengambil tongkat estafet dari Perancis saat tim Ayam Jantan berhasil menjadi juara dunia pada tahun 1998. Saat itu, momentum munculnya generasi emas para pemain muda perancis yang berasal dari multi etnis menjadi kunci keberhasilan tim Perancis merajai Eropa dan Dunia.

Walau ingin saling mengalahkan, pertarungan yang melibatkan ego chauvinisme, ketimpangan budaya, ekonomi, dan sosial, bahkan cerita sejarah dimasa lalu mampu ditampilkan dalam bentuk festival. Pertarungan antar bangsa kali ini dapat menghibur bangsa-bangsa lain yang hanya menjadi penonton. Sepakbola adalah dogma pertempuran tertua yang melibatkan dua kelompok dalam perjalanan sejarah manusia. Piala dunia kali ini juga menjadi reunifikasi para pemain yang sebelumnya bergabung dalam club yang sama, kini harus saling berhadapan dengan membawa panji-panji negara mereka masing-masing. Partai final antara Belanda dan Spanyol menjadi ajang nostalgia bagi beberapa pemain dari kedua tim yang pernah mencicipi liga Spanyol.

Piala dunia kali ini juga memunculkan budaya baru, yaitu mempercayai “klenik” sebagai bagian dari festival piala dunia kali ini. Tim Inggris di piala dunia Afrika Selatan kembali harus kembali ketibatn sial karena kiper mereka lagi-lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan kiper-kiper terdahulu mereka. “Blunder” para kiper Inggris oleh para pecinta sepakbola memang menjadi kutukan yang akan selalu menghalangi Inggris dalam meraih titel juara dunia selain sikap hiperealitas yang sangat kental di skuad tiga singa. Tumbangnya tim-tim dengan seragam warna biru di piala dunia kali ini juga menjadi pembahasan menarik jika sisi klenik sekali lagi menjadi justifikasi untuk kekalahan sebuah tim. Dan hipotesis ini sah-sah saja karena pada kenyataannya, tim-tim besar seperti Perancis, Brasil, Argentina menjadi contoh negara yang mengalami kekalahan saat mereka memakai seragam berwarna biru.

Yang tidak kalah heboh, tentu saja prediksi pertandingan piala dunia yang dilakukan oleh gurita bernama “Paul”. Gurita yang hidup di Jerman ini ikut memeriahkan piala dunia dengan prediksi-prediksi yang selalu menghiasi headline surat kabar dunia. Selama ini prediksi Paul cukup tepat dalam menebak pemenang pertandingan. Tidak heran jika para petaruh menjadikan si gurita Paul sebagai referensi kemenangan mereka.

Lalu, apa yang dapat kita petik dari perhelatan piala dunia kali ini? Apakah kita akan terus setia menjadi penonton dan terbuai dengan mimpi-mimpi andaikan skuad Garuda bermain di piala dunia. PSSI harus belajar dari tim Jerman. Dalam menyiapkan sebuah tim, pembinaan harus dilakukan dari jauh-jauh hari. Pematangan tim Under 23 tim Jerman telah menuai hasil di piala dunia kali ini. Roh permainan Jerman yang selama ini dikomandani serta sangat tergantung oleh sosok Ballack lambat laun mulai terkikis. Lihat juga bagaimana Uruguay telah bangkit dari tidur panjangnya selama empat puluh tahun mereka minim prestasi. Kebangkitan itu tidak lain dengan pembinaan dan penggabungan pemain muda dan tua. Kita juga melihat bagaimana sebenarnya dari empat tim semi finalis piala dunia kali ini, semua pelatihnya berasal dari dalam negeri. Ini bukti bahwa tim yang dilatih oleh orang lokal juga dapat berprestasi.

Demikian juga dengan PSSI. Tim yang hebat tidak hanya dapat disiapkan dengan mengirimkannya ke luar negeri selama tiga bulan. Kolektivitas muncul saat para pemain memiliki cukup waktu yang lama untuk bermain bersama. Lalu apa solusinya? Tentu saja dengan membuat model kompetisi yang berjenjang, bersifat jangka panjang, dijadwalkan dengan rapi, pemantauan bakat muda yang lebih intensif, mulai mempercayakan kemampuan putra bangsa untuk mengelola sebuah tim dari mulai pelatih sampai pengemasan kompetisi yang memiliki nilai jual yang tinggi. Satu lagi, jangan pernah bermimpi kita akan bermain dalam turnamen akbar sekelas piala dunia jika mindset pengurus PSSI masih berpikit instan seperti sekarang ini.

Rabu, 23 Juni 2010

Masih Pantaskah UU Pelayanan Publik Untuk Semua Orang?

Hari ini, tepatnya tanggal 23 Juni 2010, warga internasional, termasuk warga Indonesia memperingati hari pelayanan publik. Di berbagai negara, masalah pelayanan publik mungkin menjadi masalah pelik seperti di Indonesia. Pasca satu tahun implementasi UU Pelayanan Publik, banyak persoalan yang masih perlu perbaikan untuk menciptakan pelayanan publik bagi semua orang. Kelompok rentan atau orang yang memiliki keterbatasan secara lahiriah oleh negara saat ini mulai mendapatkan pelayanan khusus yang diatur dalam UU No. 25 Pelayanan Publik. tujuannya jelas, yaitu menciptakan aksesabilitas pelayanan kepada semua orang. Harapan dan realita pun muncul sebagai sebuah paradoks. Selain menemui banyak masalah, delivery services bagi kelompok rentan masih sangat minim dan bias definisi dari sisi implementasi.

Egosime definisi UU No. 25 tentang Pelayanan Publik

Sejatinya, pelayanan publik harus dinikmati oleh semua orang, termasuk kelompok rentan seperti penyandang cacat, Lansia, dsb. Dalam UU No 25 tentang Pelayanan Publik, pengertian kelompok rentan memang tidak dijabarkan secara lebih gamblang dan jelas. Di dalam UU tersebut, kelompokrentan hanya diafiliasikan dalam frase kata "kelompok tertentu". Artinya, di sini muncul ambiguitas pengertian karena kelompok tertentu bisa melebar maknanya, dan tidak terfragmentasi kepada pengertian kelompok yang memiliki keterbatasan secara lahiriah semata. Penjelasan mengenai akomodasi kelompok rentan dalam UU ini baru dijabarkan secaralebih rinci dalam penjelasan UU. Satu benang merah permasalahan yang muncul adalah ketika pemerintah membuat UU, definisi satu UU dengan UU yang lain mengalami perubahan walaupun secara substantif, UU mengatur permasalahan yang sama. Hal ini bukan hanya akan menimbulkan salah tafsir bagi yang menginterpretasikan, namun juga akan memberikan bias baru dalam menyamakan persepsi untuk memahami UU Pelayanan Publik. Kritik ini dilontarkan oleh mereka yang merasa bingung dengan definisi "kelompok rentan" dalam arti sesungguhnya.

Hambatan dan Kelemahan UU Pelayanan Publik

Semua sepakat munculnya UU No 25 tentang Pelayanan Publik di Indonesia memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, Peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika peran dan fungsi ini mulai berjalan secara semestinya. Negara sampai dengan saat ini belum jelas perannya dalam memberdayakan masyarakat ketika penyelenggaraan pelayanan publik ini berlangsung. Ketidakjelasan ini muncul semakin nyata ketika negara memainkan peran sebagai fasilitator. Pembagian peran negara dan masyarakat tampak tidak jelas, termasuk dalam menentukan siapa subjek dan siapa objeknya.

Dari kacamata pendekatan ideologis, ketika pemerintah menyelesaikan persoalan pelayanan publik, cenderungan yang ada hanya bersifat parsial dan terisolir kepada permasalahan determinan semata. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak jelas siapa yang bertanggung jawab secara penuh. Apakah semua tanggung jawab diserahkan kepada negara, atau memang diperlukan peran swasta untuk memikul tanggung jawab tersebut. Ketidakjelasan ini yang kemudian mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan karena dari sisi mekanisme, tanggung jawab ini belum diatur secara jelas.

Pendekatan variabel mestinya juga harus dilakukan dalam mengoptimalkan pelayanan publik melalui UU ini. Pendekatan variabel dapat diartikan bahwa ketika ingin memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, tanggung jawabnya jangan hanya dibebankan kepada Kementrian terkait saja (KemenPan dan RB) dan Kementrian Sosial sebagai leading sector ranah pelayanan publik yang utama selama ini. Ranah legislatif, eksekutif di tingkat nasional dan lokal juga harus menjadi bagian penting dari proses ini.

Masalah utama yang selama ini menghinggapi rendahnya kualitas pelayanan publik kita adalah perihal dana yang minim. bahkan, dalam konteks tertentu, sumber dana yang berbeda-beda dalam memberikan pelayanan publik juga menghambat efektifitas pelayanan itu sendiri. Seperti contoh, Kedutaan Indonesia di Malaysia dalam memberikan pelayanan pasport, imigrasi, dan ijin lainnya kepada TKI, idealnya menggunakan dana anggaran dari sumber yang sama juga. Kenyataannya, sumber dana yang selama ini ada berasal dari Deplu dan DepkumHam. Ketika salah satu sumber dana macet atau terlambat, pelayanan publik di kedutaan akan terhambat karena salah satu sistem dari keseluruhan sistem yang ada mengalami masalah.

Permasalahan lainnya adalah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum dibuat. Standar minimal yang sangat amburadul dapat kita lihat dari pembagian tabung gas ketika diversifikasi minyak tanah ke gas dilakukan pemerintah. Kita tidak melihat penggantian tabung gas oleh masyarakat telah dibuatkan SPM yang jelas. Tidak heran jika banyaknya kasus kebakaran terjadi lebih banyak karena ledakan gas elpiji yang tidak sempurna pemasangannya.

Mengurai simpul Permasalahan Pelayanan Publik

Pendekatan persoalan pelayanan publik selama penyelenggaraan otonomi daerah berlangsung juga banyak mengalami kendala. penyelesaian masalah cenderung diselesaikan melalui sistem administrasi. Kadangkala, sistem administrasi ini tidak menjawab kebutuhan dan keinginan publik. KTP, KK, dan bentuk persyaratan administratif lainnya justru menjadi momok bagi kelompok rentan dalam mengakses pelayanan publik. Akibatnya, pelayanan publik lebih banyak berada dalam domain teknis administratif dari pada menjawab kebutuhan publik. Selama ini, gagalnya akses pelayanan publik oleh masyarakat karena lebih banyak terbentur kepada teknis administratif. Telah banyak kasus bagaimana orang miskin ditolak oleh rumah sakit pemerintah hanya karena teknis administratif yang kaku. Disinilah sebenarnya peran negara sebagai katalis penyelesaian masalah sekaligus watch dog dalam konteks walfare state. Bagaimana menciptakan mekanisme dan aturan main yang baik, tanpa menghilangkan sisi formalitas dan pertanggungjawaban institusi akan sangat menentukan berhasil tidaknya penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri.

Yang tidak kalah penting, negara sebagai aktor pembangunan harus mendesain semua pelayanan publik yang ada menjadi lebih accessible bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus.

Ada satu hal yang menarik ketika Made Adi Gunawan sebagai Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia bercerita mengenai penyerobotan pelayanan publik (dalam hal ini jalan khusus yang diperuntukan bagi tuna netra) di bekas gedung Pemda Jaksel di jalan Trunodjoyo. Papan reklame bergambar kursi roda terlihat dibengkokkan saat kita melewati jalan khusus bagi tuna netra. Selain menghalangi pandangan orang yang akan menggunakan jalan khusus ini, perbuatan membengkokkan petunjuk informasi ini sama sekali tidak terpuji. Yang lebih mengagetkan, ketika sampai diujung jalan khusus ini, area yang seharusnya dipakai untuk kelompok rentan (jika boleh meminjam dari bahasa UU Pelayanan Publik) disulap menjadi tempat parkir. Satu pesan yang ingin disampaikan penulis adalah, bahwa dalam lingkungan pemerintah saja ketidaktertiban akan ketersediaan sarana dan prasarana serta menempatkan fungsinya sebagaimana mestinya bagi kelompok rentan dapat terjadi, maka tidak mengherankan jika kita berpikir apatis ini dapat dilakukan di ranah korporasi. Ketidakpedulian kita kepada kelompok rentan memang sudah akut. Tuna netra di Indonesia saat ini dipaksa oleh sistem untuk menjadi "tukang pijat". Stereotep ini kemudian berimplikasi kepada pola pembinaan tuna netra oleh Depsos melalui Kelompok pengembangan kompetensi bagi tuna netra. Stereotep ini juga muncul tatkala secara tidak sadar kita telah membentuk opini bahwa Waria (kalau boleh dikategorikan sebagai kelompok rentan) diplot sebagai "tukang salon". Sisi humanisme bangsa kita lambat laun mulai menurun. Semangat UU Pelayanan Publik ini lebih banyak bermain sebagai dogma formalitas dan aturan baku semata. Disorientasi nilai yang kemudian memunculkan permasalahan determinan lainnya, termasuk mengurangi akses pelayanan publik kepada kelompok rentan.

Perbaikan yang mesti dilakukan

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan semangat UU pelayanan publik kita untuk menciptakan pelayanan yang baik wajar dan tanpa pilih kasih bagi penggunanya. Antara lain:

Relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.

Dari sisi tanggung jawab, komisi ombushment dan lembaga aduan lainnya tidak boleh lagi menjadi corong pengaduan yang hanya mengumpulkan kritik dan saran masyarakat semata. Sudah seharusnya lembaga-lembaga ini juga dibebankan tanggung jawab ketika proses penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Mekanisme ini yang harus dirumuskan oleh negara.

Lack information masyarakat perihal UU No 25 tentang Pelayanan Publik juga harus diminimalkan dengan sosialisasi dan internalisasi kepada masyarakat. Selama ini media informasi, baik cetak dan elektronik masih memainkan peran yang tidak signifikan dalam mengawal keberhasilan UU ini. Banyak pemerintah daerah yang tidak mengetahui adanya UU Pelayanan Publik yang sudah bergulir sejak satu tahun yang lalu.

Minggu, 13 Juni 2010

Hiperealitas dan Kesalahan Kita

Ada satu hal menarik yang ditulis oleh Andri Ananto dalam sebuah kolom suplemen Harian Seputar Indonesia edisi Sabtu, minggu kedua Juni 2010. Menyitir dari substansi pesan yang ingin disampaikan, sejatinya manusia kadang dihinggapi dengan sindrom hiperealitas. Kalau Andri menganalogikan hiperealitas dari perspektif olah raga (sepakbola), saya akan mengambil sudut pandang dari beberapa “curhat” teman dan fenomena disekitar lingkungan saya.

Ketika kita mendambakan sesuatu hal, atau membanggakan angan-angan yang kita yakini, kadangkala kita bersikap sangat fanatik, bahkan egois dan destruktif. Semua yang kita yakini, idolakan, dan kita banggakan, terlihat lebih baik dari apapun dan siapapun. Dalam konteks nasionalisme, kita diberikan fakta bagaimana Hitler mampu membentuk sikap chauvinisme bangsa Jerman saat itu sebagai bangsa yang paling unggul dibandingkan ras yang lain. Di Inggris, seorang bayi yang baru lahir sudah dibaptis dengan dogma agama bernama “sepakbola” sebuah identitas patrimonial dan simbol-simbol ikatan sosial. Kisah Romeo dan Juliet juga menginterpretasikan kalau perjalanan cinta itu juga kadang dihinggapi hiperealitas. Hanya ingin membuktikan bahwa cinta mereka abadi, racun pun menjadi jalan terakhir untuk membuktikan hal itu. Sebuah pakem doktrinasi realitas dan fantasi yang salah, namun dipuja banyak orang sebagai simbol kisah cinta sejati.

Seperti Romeo dan Juliet, dari perspektif diri kita sendiri (termasuk saya), fanatisme kadang juga muncul saat kita mengagumi dan mencintai seseorang atau barang yang kita miliki. Saat kita jatuh cinta, hiperealitas kadangkala begitu erat menghinggapi pikiran dan hati kita.
Dalam konteks keilmuan, hiperealitas memiliki dua sifat yang dominan. Pertama, lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita membedakan realitas dan fantasi. Kedua, hiperealitas identik dengan solusi diangan-angan, yaitu proses menjadikan sesuatu nonempiris menjadi fakta hingga sulit dibedakan.

Saat kita sedang mencintai seseorang, hiperealitas itu tampak jelas dalam diri kita, tanpa kita pernah sadari. Kita kadang sulit membedakan realitas dan fantasi dalam pikiran kita. Semuanya tampak indah. Semuanya terlihat akan berjalan seperti dengan apa yang kita inginkan. Semuanya tampak tidak akan mengecawakan kita. Semuanya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, kebencian dan kekecawaan yang begitu mendalam berkecamuk dalam diri kita ketika apa yang kita harapkan jauh dari apa yang kita temukan.

Teman, percayalah…mencintai dan membanggakan apa pun dalam hidup ini secara berlebihan ternyata hanya akan menjadi bencana untuk diri kita. Terlalu percaya diri akan membuat kita besar kepala dan meremehkan orang lain. Dalam setiap agama, berlaku secara berlebihan hanya akan membuat manusia kecewa begitu dalam saat apa yang kamu fantasikan, tidak seindah dengan realitasnya.

Fana dunia telah dilukiskan oleh Tuhan hanya akan membuat kita bersiap untuk kecewa. Kadang, kita bertingkah konyol untuk menunjukkan bahwa kita tidak salah dalam mempertahankan argumentasi kita dihadapan orang banyak. Mungkin, saat itulah sebenarnya kita sedang melakukan kesalahan. Suatu hal yang tidak kita sadari sebelum orang lain menyadarkan kita kalau kita sebenarnya telah salah. Atau, ada dari sebagian kita (termasuk saya), belum sadar bahwa apa yang kita lakukan sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan karena kita begitu bersikap hirerealitas. Kita terlalu larut dalam hal-hal yang bersifat imajinatif. Memang bersikap imajinatif itu sangat indah. Ia lahir dari sebuah keinginan semata. Ia bersifat spontan. Kadang, ia lahir dalam bentuk kepolosan kita. Sebuah situasi yang sangat indah, namun perlahan membunuh realitas kita.

Ada beberapa orang memaksakan fakta yang sudah dikonversi kembali menjadi sebuah fakta yang non empiris. Dia tidak dapat membedakan antar keduanya. Cinta memang indah, namun keindahan itu akan terasa lebih indah saat semuanya dilandasi dengan realitas. Kita tidak dapat mengubah apa yang telah digariskan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Kita hanya dapat menjaga semuanya berada pada tempat yang semestinya. Sesuatu yang berada pada tempat dan waktunya akan jauh lebih nyaman, dan tentu saja indah.

Teman, patut kita renungkan, kita tidak boleh terjebak terus dalam situasi hiperealitas. Perjalanan hidup sejatinya mampu menjadikan kita dewasa saat hari berganti hari. Setiap hal yang kita temui kemarin dan hari ini, adalah pembelajaran dan bekal untuk esok hari. Hiperealitas memang menjadikan kita pemenang dalam mimpi-mimpi kita. Sebatas itu, kita tidak akan pernah memenangkan sesuatu apapun ketika kita tidak dapat membedakan realitas dan fantasi.

Termasuk cinta, kadang ia tidak dapat didefinisikan dengan realitas dan akal. Mereka yang tidak menyukainya, menyebutnya tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Hiperealitas memiliki dimensi wacana yang sangat luas. Kadang kita terjebak pada luasnya dimensi itu hingga kita tidak dapat memutuskan yang terbaik untuk diri kita. Menunggu, memilih, kecewa, dan bahagia adalah segelintir ekspresi dari sebuah reposisi hiperealitas menjadi realitas yang seutuhnya. Namun, disitulah sebenarnya letak keindahan hidup ini. Warna hidup ini dipenuhi dengan tangis dan tawa. Cinta dan benci. Madu dan racun. Hitam dan putih. Tuhan memposisikan manusia dalam sebuah pilihan agar ia lebih bijak dan menggunakan akal budinya.

Pada akhirnya, Tuhan dalam segala hikmat-Nya meminta kita untuk menunggu karena alasan yang penting!!! Bukan karena kita tidak dapat memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat. Tapi..sesuatu yang telah berubah sebenarnya tidak berubah. Dalam diri kita, kadang kita merasa telah berubah dari diri kita yang kemarin. Padahal…sebenarnya kita belum berubah dan beranjak dari diri kita yang kemarin. Karena kita masih terjebak dalam hiperealitas kita…pada mimpi indah kita…