Sebagian dari kita mungkin pernah merasakan panasnya naik bus kota di Jakarta. Selain panas, penuh sesak dan kotor, bus kota selama ini juga identik dengan ugal-ugalan. Apalagi jika bus yang kita naiki adalah bus non AC. Diantara nama-nama bis yang lalu lalang di Jakarta, nama bus KOPAJA tentu sudah tidak asing lagi bagi para pengguna kendaraan umum. Bersama dengan saudara tuanya METRO MINI, KOPAJA adalah bus yang melayani berbagai rute di Jakarta. KOPAJA selama ini tidak ubahnya seperti stigma masyarakat yang saya telah sampaikan sebelumnya. Nah, di bulan Puasa yang akan kita songsong esok hari ternyata memberi berkah bagi para para penumpang bus kota. Koperasi Angkutan Jakarta (KOPAJA) hari ini resmi meluncurkan program peremajaan armada mereka untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Jakarta. Angkutan yang akan diluncurkan tanggal 3 Agustus 2011 ini adalah bus Kopaja yang dilengkapi dengan AC dan tempat duduk yang nyaman. Selain itu, untuk keluar masuk bus, para penumpang juga akan diatur dengan three pot barrier yang biasa kita lihat di selter busway. Selain lebih disiplin, alat ini juga untuk membatas jumlah penumpang maksimal dalam bus. Intinya, inilah berita segar nan sejuk yang pantas kita syukuri ditengah semakin riuhnya jalanan ibukota Jakarta.
Keberadaan KOPAJA rasa Busway ini tentu saja menjadi alternaif angkutan kota yang mumpuni dalam menjawab kebutuhan transportasi publik yang nyaman dan aman. Selain itu, bus ini nantinya dapat menjadi alternative bagi para penumpang kendaran pribadi untuk beralih ke kendaraan umum. Kita tentu miris melihat semakin padatnya kendaraan yang lalu lalang di Jakarta. Apalagi minat masyarakat Indonesia untuk memiliki mobil pribadi juga tidak kunjung padam. Lihat saja data yang dirilis oleh para produsen mobil dalam acara Jakarta International Motor Show yang baru saja berakhir. Selain meningkatnya transaksi penjualan mobil dari masing-masing agen ATPM, kenaikan penjualan ini tentu saja akan semakin menggerus kapastitas jalan yang ada di Jakarta. Nah, dengan adanya transportasi bus KOPAJA rasa busway ini, diharapkan akan mengurangi minat masyarakat untuk memiliki mobil.
Untuk sementara, masyarakat yang akan menikmati KOPAJA AC ini adalah mereka yang biasa menempuh rute Ragunan-Slipi. Jumlah armada KOPAJA AC dengan Nomor S13 ini sementara waktu juga belum banyak, yaitu 20 bus dengan kapasitas 35 penumpang. Untuk mereka yang akan tetap berdiri di dalam bus juga masih mendapatkan kenyamanan karena dibatasi maksimal hanya 10 orang yang diijinkan untuk berdiri. Dari sisi ongkos harga, masyarakat juga tidak perlu khawatir karena harganya sama dengan bus KOPAJA lainnya yaitu Rp 2000. Namun demikian, harga ini tentunya akan dikaji setelah percobaan operasionalisasi ini selesai dilakukan.
Menurut Koperasi Angkutan Jakarta, untuk ke depan armada KOPAJA AC ini akan ditambah dari sisi kuantitas bus. Kita juga berharap, rute yang akan dilayani juga akan ditambah. Jadi, bagi para KOPAJA Mania tunggu saja Bus KOPAJA AC ini mengantarkan kalian ke tempat tujuan. Langkah peremajaan transportasi ini patut kita acungi jempol. Kita juga berharap, gebrakan kebijakan seperti ini juga diikuti oleh operator lain seperti METRO MINI dan bus lainnya.
Dari sisi manajemen operasionalisasi KOPAJA AC ini juga berbeda dengan yang lama. Dari sisi perawatan mesin, pihak koperasi telah menyediakan bengkel, baik sarana maupun montirnya. Pada supir yang akan mengemudikan KOPAJA AC ini juga tidak lagi memakai sistem setoran karena mereka akan mendapatkan gaji bulanan sebagaimana diterapkan untuk sopir bus Transjakarta. Hal ini tentunya juga meminimalisir aksi ugal-ugalan para pengendara KOPAJA selama ini. Semoga saja keberadaan KOPAJA AC ini akan membawa pesan positif tersendiri bagi masyarakat Jakarta. Selain mendapatkan keamanan dan kenyamanan, para penumpang untuk sementara waktu juga tidak perlu takut ongkosnya terkuras. Selamat datang KOPAJA rasa Busway.
Akhir-akhir ini, mungkin sebagian dari kita sudah jengah melihat tingkah polah kepemimpinan elit politik negeri ini, tidak terkecuali Presiden Yudhoyono. Selain dinilai sangat lambat dalam mengambil kebijakan, aspek pencitraan yang begitu kuat dalam setiap kebijakan yang diambil sang Presiden boleh jadi membuat kita semakin gelisah memikirkan masa depan bangsa ini. Lihat saja bagaimana cara Presiden Yudhoyono menangani kasus penanganan TKI yang beritanya marak sebulan terakhir ini. Tamparan yang begitu keras di pipi sang Presiden alih-alih dengan lantang Ia menyuarakan hak-hak tenaga kerja asing di hadapan siding ILO PBB, seminggu berikutnya ada TKI kita yang dipancung di Arab Saudi. Ironis dan miris! Lalu sampai kapan kita bersabar?
Sejatinya, Presiden ditakdirkan menjadi pemimpin. Ia harus mampu mendikte setiap situasi dalam negeri dengan legitimasi yang dimilikinya. Namun, lihat yang terjadi dengan Presiden kita. Hanya dengan pesan BBM dan SMS dari tempat antah barantah, seorang Nazaruddin yang notabene hanya Kader Muda Partai Demokrat mampu menjungkalkan wibawa, sekaligus mendikte Yudhoyono. Konferensi Pers yang dilakukan Ketua Pembina Partai Demokrat tadi malam (11/7/2011) menjadi bukti kegundahan hati sang Presiden mengenai situasi yang kian pelik. Sebagai Pembina, boleh dikatakan Yudhoyono gagal dalam mengeliminasi konflik internal di tubuh Partai Demokrat. Faksi yang ada dalam tubuh partai berogo bintang Mercy itu pun semakin terlihat dan saling menyerang.
Efek domino
Dua bulan terakhir mungkin media massa, terutama televisi mengangkat issue keretakan Partai Demokrat sebagai headlines yang menarik sekaligus menjual. Selain gampang membuat judul berita dengan pesan singkat Nazaruddin, Media juga berhasil meramaikan kekisruhan antar kader Partai Demokrat dalam berbagai panggung talk show dan berita. Alhasil, dua bulan ini rakyat terus disuguhi pepesan kosong para elit partai. Belum lagi masalah kaburnya Nunun pasca ditetapkan sebagai tersangka kasus Pemilihan Dewan Gubernur BI yang ikut menyeret Miranda Goeltom semakin membuat jemu mata dan telinga kita.
Yang tidak kalah pelik, efek domino kekisruhan para elit pemimpin kita kian melebar ketika Andi Nurpati yang notabene juga menjadi bagian dari elit Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan kasus Mafia Pemilu karena disangka memalsukan surat putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan salah satu Bakal Calon Anggota Legislatif RI Periode Tahun 2009-2014. Yang tidak kalah gawat dan penting, peringatan dini dari pernyataan Wakil Presiden Boediono agar harga komoditas pangan harus dijaga agar tidak menimbulkan efek turunan seperti inflasi, kerawanan pangan hingga yang lebih kompleks lagi mengganggu stabilitas politik nasional tentunya semakin membuat gusar akan kelangsungan bangsa kita.
Inilah wajah Indonesia sekarang ini. Disaat negara lain sudah memikirkan bagaimana caranya mengatasi keterbatasan energi fosil dan resistensi dari semakin tingginya efek rumah kaca dunia saat ini, kita masih berkutat kepada hal prinsipil yang bias dikatakan “penting tidak penting”. Kita terlalu manja dan bangga dengan capaian kuantitatif makro. Kurs rupiah yang stabil, cadangan nasional Indonesia yang terus naik, atau barangkali persentase pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, tidak akan nada gunanya jika dalam realitanya semua itu tidak mampu mengungkit pertumbuhan dan pemerataan kemakmuran.
Presiden Yudhoyono boleh dikatakan kini tidak fokus mengurus negara. Serangan yang bertubi-tubi kepada partai binaannya (Partai Demokrat) semakin membuatnya lelah dan “sensi”. Begitu sensinya sang Presiden sehingga media pun dijadikan kambing hitam dalam kasus Nazaruddin. Dengarlah apa yang disampaikan kepada rakyat dalam konferensi pers mengenai kasus Nazaruddin! Kita tidak melihat pesan yang substantif dari sang Presiden. Aspek korupsi, pelanggaran etika, pelanggaran kode etik sebagai anggota legislatif yang tidak masuk ke kantor, sampai banyaknya kader Partai Demokrat yang ditengarai ikut menerima uang “bancakan” proyek Wisma Atlit SEA GAMES di Palembang, justru tidak disinggung. Rakyat tidak peduli dengan issue ada pendongkelan Ketua Pembina yang digalang oleh Anas Urbaningrum cs. Rakyat juga tidak peduli ketika pesan BBM dan SMS Nazaruddin dijadikan komoditas berita oleh media massa. Pun jikalau sang Presiden lengser pun pasti diaminin oleh rakyat jika langkah itu membawa perubahan yang lebih baik.
Jadilah seperti Obama
Pak Presiden kita tampaknya memang letih. Selain sering curhat kepada rakyatnya akan keletihannya, raut mata dan gestur tubuh yang formal ikut memperkuat persepsi publik akan hal itu. Coba sekali-sekali Pak Presiden melihat gaya berinteraksi Obama dengan orang lain. Dengan sangat lugas dia menyapa dan menepuk pundak kolega atau bawahannya dengan sangat humanis. Tidak ada kesan jaim, formal, atau protokoler karena apa yang dia lakukan semata-mata karena manusia sejatinya memang demikian. Tanpa ada pura-pura dan citra. Lihat juga gaya berpakaian Obama. Tanpa canggung dan tidak menimbulkan kesan menjaga citra, Obama menggulung kemeja lengannya ketika berkunjung ke negara bagian yang terkena banjir. Kita memerlukan Presiden yang bukan hanya tampak sederhana, tapi memang apa adanya, tidak dibuat-buat dalam berlaku dan bertutur, dan tentu saja jujur!
Kita merindukan juga Presiden yang tidak “jaim”. Tengok saja Bung Karno! Dengan gaya nyeleneh, dia dapat memimpin rapat atau sekedar memberikan instruksi kepada bawahannya dengan memakai piyama (baju tidur). Tidak perlu rapat berjam-jam dengan para menterinya untuk membicarakan hal yang sebenarnya bisa dikomunikasikan lewat telepon atau memanggil saja langsung menterinya. Apa yang kita saksikan melihat Presiden kita saat ini selalu dilingkupi formalitas. Baik itu rapat kerja, rapat partai, konferensi pers, bahkan seremonial kenegaraan lainnya.
Kita merindukan Presiden Yudhoyono dalam kesempatan tertentu dapat pula bercanda dengan rakyat dan bawahannya, termasuk membicarakan hal yang jorok (Sek atau kiasan yang menjurus ke arah itu) seperti apa yang dilakukan Bung Karno. Senyum yang lepas yang diperlukan rakyat dari Presidennya. Bukan senyum simpul yang justru menimbulkan kesan dan pertanyaan baru bagi mereka yang melihatnya.
Rangkap Jabatan dan Bunker Koruptor
Keletihan amat sangat yang dialami Presiden Yudhoyono barangkali tidak lepas dari sistem pengelolaan kepartaian di Indonesia. Selama ini, banyak para pemimpin elit yang berkuasa menjadi pemimpin partai atau embel-embel sebagai Pembina partai seperti yang dilakukan oleh Presiden Yudhoyono. Lihat pula peran Pak Hatta Rajasa sebagai ketua Partai Amanat Nasional. Lihat Pula peran Surya Dharma Ali dan Muhaimin Iskandar yang merangkap sebagai Menteri Agama dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sekaligus sebagai Ketua Partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Para Pembina dan ketua partai ini notabene tergabung dalam koalisi besar dan menamakan elit penguasa.
Koalisi besar ini menjadi tameng dan kadangkala menjadi bunker bagi para koruptor dan pencari rente (rent seeker). Dengan bergabung menjadi Partai sekaligus menjadi elit penguasa, mereka akan leluasa mengintervensi dan melakukan bargaining power antar elit sesuai dengan kapasitas dan strategisnya jabatan yang dipegang oleh elit partai. Contohnya banyak sekali. Kasus Nazaruddin, Kasus Lumpur Lapindo, Kasus Penyelundupan Blackberry dua kontainer yang diindikasikan dilakukan oleh para wakil rakyat DPR RI, Kasus Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Kasus Gayus Tambunan, sampai kasus-kasus tingkat lokal yang melibatkan elit daerah. Jika sudah begini apa yang dapat kita harapkan dari negara ini? Atau kita menginginkan keosnya negara kita untuk kembali menemukan pemimpin yang kita nilai adil dan jauh dari kerakusan kekuasaan dan kepentingan kelompok? Lalu jika itu yang harus kembali kita ambil, berapa lagi ongkos yang harus kita tebus? Dan apakah demokrasi itu masih relevan dengan konteks permasalahan bangsa kita dewasa ini? Coba anda camkan dan renungkan!
Hari masih pagi ketika laju kereta bernama Commuter Line untuk pertama kali berhenti di stasiun Bojong Gede. Sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok dari fisik kereta yang dalam dua bulan terakhir ramai diperbicangan oleh para KRL Mania dan blow up di media massa. Dalam benak saya, armada kereta yang dipakai oleh PT KAI untuk mendukung single operation yang dimulai pada tanggal 2 Juli 2011 sama dengan armada kereta hari-hari yang lalu.
Selepas kereta Commuter Line beranjak pergi meninggalkan stasiun Bojong Gede, pemandangan yang saya dapati pagi ini juga sama dengan pagi-pagi yang lalu. Penumpang masih berjubel alias penuh sesak! Bahkan terlihat lebih bingung dan sibuk melihat jam dinding stasiun dan jadwal baru yang dipasang di papan informasi. Yang lebih miris lagi, kereta berpendingin AC bernama Commuter Line itu pun harus rela ditelanjangi para penumpang karena pintu otomatis yang ada disetiap gerbongnya “di ganjal” oleh ulah penumpang yang tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi ketika kereta masih berhenti di stasiun. Setelah beranjak berangkat, pintu yang tidak dapat tertutup hampir terlihat disetiap gerbong kereta. Alasan para penumpang “jail” ini klasik, selain untuk mengurangi desak-desakan di dalam gerbong, tidak berfungsinya AC dengan maksimal membuat gerbong terasa panas dan pengap. Untuk mensiasatinya, para penumpang mengganjal pintu agar angin dapat masuk ke dalam gerbong. Jendela di sisi kiri dan kanan gerbong kereta pun tidak luput dari incaran para penumpang. Semua dibuka dengan harapan angin dapat masuk sebanyak mungkin! Kereta yang dibanderol dengan harga karcis Rp 7000 itu pun tak ubahnya seperti ekonomi biasa.
Singkat cerita, pemandangan hari-hari sebelum kereta Commuter Line menggantikan kereta ekonomi AC, masih saja terlihat pasca diterapkannya single operation yang baru ini. Lalu, apakah ini bentuk kegagalan dari persiapan dan pengambilan kebijakan yang prematur, asal-asalan dan reaktif? Entahlah, bisa ya…bisa tidak. Banyak orang memiliki persepsi yang berbeda. Tapi buat saya, sistem baru ini adalah bentuk kebijakan yang pragmatis, dilakukan asal-asalan, tidak dipersiapkan dengan matang, bahkan hanya menambah masalah baru dari sekian masalah yang sudah menumpuk, bahkan akut! Langkah dan niat baik yang coba dilakukan oleh PT KAI untuk saya pribadi terasa kurang maksimal karena tingkat kenyamanan dan keamanan yang seharusnya menjadi outcome dari kebijakan baru ini, justru tidak dapat dinikmati oleh para pengguna kereta. Keterlambatan kereta, tidak berfungsinya AC dalam gerbong, penumpukan penumpang disetiap stasiun, sampai jarak tempuh yang tidak dapat diprediksi karena faktor-faktor teknis dan non teknis justru menjadi masalah utama penghambat efektifitas sistem baru ini. Inilah anomali kebijakan transportasi perkeretaapian Indonesia. Sangat reaktif, pragmatis, asal-asalan, dan “semau dewe”! Niatnya mungkin baik, tapi cara berpikir dan implementasinya tidak sejalan dengan niat baik yang ingin dicapai. Alhasil, lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban.
Antara Setuju dan Tidak Setuju
Di sepanjang sudut stasiun, para calon penumpang sibuk memperbincangkan pergantian sistem baru ini. Ada yang menyambut sistem baru ini dengan senang karena mereka memiliki pilihan kereta Commuter Line atau kereta Ekonomi AC dengan frekuensi yang lebih banyak. Selain itu, bagi pihak yang pro, mereka juga dapat berhenti di setiap stasiun. Hal yang mana tidak mereka dapatkan ketika keretaPakuan Ekspres masih diberlakukan.
Bagi mereka yang menolak, sebagian besar adalah kalangan pengguna kereta pakuan ekspres. Mereka merasa dengan adanya sistem baru ini, praktis semua jadwal kereta pakuan ekspres dihapuskan dan digantikan kereta Commuter Line. Selain jarak tempuh kereta Commuter Line lebih lama daripada kereta Pakuan Ekspres, factor kenyamanan juga menjadi alasan penolakan. Memang, pemberlakuan sistem baru ini membuat setiap kereta, baik Commuter Line maupun ekonomi dipadati penumpang. Ini sebagai konsekuensi berhentinya kereta disepanjang stasiun yang dilewati.
Jika jarak yang ditempuh dari stasiun Bogor ke stasiun Manggarai biasa ditempuh setengah jam dengan menggunakan Pakuan Ekspres, pasca sistem single operation yang baru ini para penumpang harus menempuh waktu satu sampai satu setengah jam. Hal ini yang dikeluhkan para calon penumpang kereta yang membutuhkan mobilitas dan kecepatan waktu. Singkat cerita, tawaran sistem baru yang disodorkan PT KAI tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan permintaan bagi masyarakat yang kontra. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan jika harga tiket Pakuan Ekspres dinaikkan asalkan tidak dihapuskan. Hal ini menjadi indikasikan bahwa jarak tempuh yang lebih cepat disamping juga tingkat kenyamanan menjadi prioritas para calon penumpang walaupun itu harus dibayar dengan harga yang lebih mahal.
Kereta yang saya tunggu akhirnya datang juga. Tidak sampai setengah menit, ruangan disetiap gerbong kereta ekonomi ini sudah penuh sesak. Panas dan sempit sudah dirasakan para penumpang. Setelah kereta berhenti di stasiun terdekat, gerbong bertambah kian sempit karena penumpang yang naik semakin banyak. Di sudut pintu salah satu gerbong kereta api ekonomi yang saya naiki, sekolompok penumpang yang bergerombol berkelakar mengenai diberlakukannya sistem single operation yang baru saja diberlakukan. Sebagian besar mereka sepakat sistem baru ini memberatkan mereka. Selain menggerus kuantitas dan jadwal keberangkatan kereta ekonomi, harga baru untuk karcis kereta Commuter Line sebesar Rp 7.000 dirasakan lebih mahal dibandingkan dengan kereta ekonomi AC sebesar Rp 5.500. Kalkulasi salah satu penumpang tiba pada satu kesimpulan ongkos yang ia keluarkan dari kantongnya akan semakin bertambah. Bankan tombok! Selain lebih mahal, gerombolan penumpang ini juga merasakan harga yang harus mereka tanggung tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh operator. Selain masih sering terlambat dan tidak taat jadwal, operasionalisasi perkeretaapian selama ini masih dirasakan belum memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna. Belum lagi seringnya kereta yang mogok di tengah jalan.
Keberpihakan Setengah Hati
Apapun bentuk kebijakan yang diambil pemerintah dalam bidang transportasi public di negeri ini sepertinya belum memberikan hasil yang maksimal. Tengok saja karut marut ide Busway di DKI Jakarta. Walau dirasakan ada manfaat yang diberikan, permasalahan yang ditimbulkan juga tidak sedikit, bahkan memiliki multiplier effect permasalahan yang signifikan. Mulai dari pencaplokan setengah badan jalan, jalur hijau dan pedestrian untuk pejalan kaki, masalah kecukupan bahan bakar gas yang sudah mulai dipakai beberapa armada Busway juga masih ada masalah dari sisi kecukupan supplay. Selain gagal mengurai kemacetan di Ibukota, Busway juga tidak mampu melokalisir pengguna mobil pribadi untuk beralih ke moda transportasi umum seperti Busway. Selain tidak mampu menyediakan kenyamanan dan keamanan yang minta oleh para pengguna mobil pribadi, efektifitas Busway justru masih kalah jauh dengan kereta api (KRL) Jabodetabek.
Berkaca kepada pengoperasian single operation baru untuk penglolaan KRL Jabodetabek tampaknya akan sama dengan kebijakan pendahulunya. Selain memang tidak didesain dan disosialisasikan dengan maksimal oleh PT KAI. Keberanian PT KAI sebagai operator memberlakukan sistem single operation dengan masa uji coba hanya dua hari sangat dipertanyakan banyak pihak. Alhasil, banyak jadwal kereta kacau balau saat sistem baru resmi diberlakukan pada tanggal 02 Juli 2011. Selain itu, minimnya informasi disetiap stasiun membuat para penumpang banyak yang tidak memperoleh informasi yang komprehensif mengenai jadwal kereta, ketepatan jam pemberangkatan, sampai kepastian kereta berhenti di stasiun tempat calon penumpang menunggu. Selebaran dan bentuk informasi sosialisasi sistem baru melalui pamflet, poster, dan bentuk sosialiasi lainnya dirasakan oleh sebagian masyarakat masih kurang. Belum lagi keterbatasan jumlah pegawai operator yang berada di lapangan. Minimnya informasi dari petugas stasiun sepanjang jalur kereta Jakarta-Bogor ikut menambah karut marut operasionalisasi pelayanan kepada para calon penumpang.
Jika sudah begini, apakah PT KAI akan tetap ngotot memberlakukan single operation ini? Atau mereka akan terus berdalih ini hanya sementara waktu karena pihak managemen operator sedang merumuskan dan beradabtasi dengan sistem baru ini? Apapun itu, kebijakan publik yang bijak dan memperhatikan kepentingan bersama adalah tuntutan yang wajar dan mutlah harus dipenuhi. PT KAI tidak dapat memberikan jaminan dengan berhentinya kereta disetiap stasiun akan meningkatkan pelayanan dan kenyamanan. Sistem single operation baru ini bukan tanpa masalah. Padatnya traffic lalu lintas kereta diperlintasan kereta menyebabkan kemacetan yang panjang bagi para pengguna jalan raya. Hal ini karena jarak satu kereta dengan kereta yang lain berdekatan. Tidak ada jeda waktu yang cukup untuk mengurai simpul kemacetan dan antrean disetiap perlintasan pintu kereta. Jika ini tidak dipikirkan, bukan tidak mungkin efek dominonya akan kian besar.
Di sisi yang lain, kabar kurang sedap juga berhembus dikalangan masyarakat pengguna kereta. Kabarnya, diberlakukannya sistem single operation ini akan mempercepat masa depresiasi pakai kereta. Hal ini disebabkan akan semakin banyaknya kereta yang rusak akibat intensitas jadwal dan perilaku pengguna kereta yang tidak bersahabat. Dengan cepatnya depresiasi armada kereta KRL otomatis menambah kuota pengadaan kereta. Selama ini Indonesia menjadi surga bangkai kereta dari Jepang dan Korea. Bahkan, dua Negara ini harus membayar sampah keretanya ke Indonesia. Negara kita sebenarnya memiliki dua keuntungan dari hal ini, selain mendapatkan kompensasi dari masuknya kereta-kereta yang sudah tidak layak pakai di Jepang dan Korea, sampah kereta yang kita import masih dapat kita manfaatkan sebagai armada kereta.
Nah, ada indikasi sistem baru ini akan mempercepat kerusakan armada kereta yang digunakan oleh PT KAI untuk melayani jalur KRL Jabodetabek. Dengan melihat situasi dan kondisi yang ada sekarang ini, saya tidak heran jika masa pakai kereta yang digunakan untuk jadwal kereta Commuter Line akan jauh lebih cepat rusaknya dibandingkan saat digunakan untuk Pakuan Ekspress. Selain mengangkut penumpang lebih banyak, single operation ini juga membutuhkan armada kereta import dari Jepang dan Korea untuk mengkonversi atau mengurani kereta ekonomi biasa. Permintaan armada kereta pun akan bertambah dari sisi kuantitas. Dengan banyaknya impor kereta yang masuk, kompensasi yang diterima PT KAI juga akan semakin besar. Saat ini, rasio antara kereta Commuter Line dengan kereta Ekonomi Biasa 4 berbanding satu. Ke depan, kereta ekonomi biasa akan dihapuskan dan diganti semuanya dengan kereta Commuter Line.
Apapun itu, kita semua berharap tujuan yang tidak terpuji dari pihak-pihak yanhg tidak bertanggung jawab tidak terjadi ketika diimplementasi sistem baru ini berjalan. Kita hanya berharap niat baik yang dilakukan oleh PT KAI akan sama baiknya dengan kenyataan di lapangan. Sudah saatnya konversi fokus kebijakan dilakukan untuk moda transporatasi kereta api. Selain lebih bersahabat dengan lingkungan dan tidak menimbulkan polusi udara, dari sisi efektifitas kecepatan mengangkut penumpang komuter sangat efektif. Sudah saatnya pemerintah membangun moda transportasi massal yang efisien dan murah. Kereta api (KRL) adalah salah satu solusi dalam mengurai simpul kemacetan di Jakarta. Saya pribadi adalah pengguna kereta dan sangat bergantung dengan kereta. Saya, dan termasuk pengguna kereta KRL lain hanya berharap sistem pelayanan kereta Jabodetabek semakin baik sehingga rasa aman dan nyaman semakin dapat dirasakan oleh masyarakat. Moda transportasi ini saat ini menjadi pilihan utama masyarakat komuter sekiratr Jakarta terutama dari sisi waktu. Langkah kebijakan baru dari PT KAI seperti penyediaan gerbong khusus wanita disetiap rangkaian kereta menjadi langkah positif untuk memberikan kenyamanan bagi penumpang perempuan. Namun, kenyamanan ini juga harus diterapkan secara adil. Selama ini rangkaian khusus wanita "agak" berlaku efektif untuk rangkaian Commuter Line tapi tidakk untuk ekonomi biasa. Ketimpangan dan perlakuan yang berbeda inilah yang tidak kita harapkan karena bagaimanapun, keadilan pelayanan umum harus diperlakukan sama bagi penerima layanan. Semoga sistem single operation baru ini akan mendatangkan manfaat yang baik bagi kita semua tanpa meimbulkan kontroversi dan permasalahan lanjutan. Selamat berdesak-desakan di atas deru kereta.