Semangat gelombang reformasi dan otonomi daerah satu dasawarsa terakhir memberikan multiwacana perubahan bagi ranah birokrasi untuk mereposisi dirinya menjadi lebih profesional. Sebagai mesin negara, birokrasi dituntut selalu responsif terhadap dinamika kehidupan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik. Aparatur negara dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang maksimal, dan tentunya dari segi kualitas tidak kalah dengan pelayanan swasta. Semangat itu tampaknya sudah mulai terlihat walau secara umum rapot merah masih diberikan kepada kinerja birokrasi kita oleh banyak pihak, khususnya masyarakat sebagai pengguna layanan.
Di tataran publik sendiri, muncul paradoks antara harapan dan kenyataan menyangkut profesionalitas kinerja birokrasi. Publik lebih banyak menggantungkan perubahan birokrasi yang radikal dan cepat hanya di pundak pemerintah semata. Padahal, kita tidak dapat memungkiri, publik juga ikut serta melanggengkan praktik-praktik bad governance seperti penyuapan, yang dikultuskan sebagai budaya yang wajar. Menjadi wajar karena baik aparatur negara yang nakal maupun publik sebagai pengakses layanan mentoleransi kekeliruan ini. Munculah sikap permisif sebagai bentuk budaya sungkan. Kewajaran ini terjadi dihampir semua ranah birokrasi ketika penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Paradoks ini pula yang membuat elit pembawa semangat perubahan untuk memperbaiki kinerja birokrasi menjadi frustasi dan gusar. Stagnasi perubahan profesionalitas aparatur negara pun dipertanyakan, bahkan sering dibandingkan dengan profesionalisme pelayanan swasta.
Aspek historis
Masih rendahnya sikap profesionalisme aparatur negara di negeri ini tidak bisa lepas dari unsur sejarah panjang Sistem Administrasi Indonesia yang kita anut. Penerapan sistem yang dipakai saat ini adalah sistem warisan peninggalan pemerintahan kolonial yang berorientasi kepada dasar hukum serta kepentingan kolonial (lihat Prasojo, 2009). Paradigma usang ini juga tercermin dari perilaku sebagian besar aparatur negara kita, dimana kepentingan kelompok menjadi tujuan utama daripada menjalankan fungsi utama sebagai abdi masyarakat. Stigma ini ditegaskan juga oleh (lihat Thoha: 2003) dimana struktur birokrasi, norma, nilai, dan regulasi yang ada dalam birokrasi Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa dari pada pemenuhan hak sipil warga negara. Faktor historis lainnya yang tidak kalah penting terkait proses rekruetmen yang hanya dimaknai sebagai program tahunan serta simbolisasi pengisian jabatan lowong sebagai bagian dari proses regenerasi kepegawaian. Lebih dari itu, kita tidak melihat proses rekruetmen yang dilakukan pemerintah didasari atas aspek kompetensi dan kebutuhan pegawai. Kita tidak melihat proses rekrutmen adalah pintu perubahan bagi birokrasi untuk lebih professional.
Selain itu, kelemahan yang teridentifikasi dari tahun ke tahun terkait proses penjaringan calon PNS, yaitu ketiadaan job analysis serta proporsi rasio antara kebutuhan aparatur negara dengan jumlah penduduk. Minimnya data yang dibutuhkan untuk proses analisis serta buruknya perencanaan sistem kepegawaian semakin memperlemah subsistem ini. Akibatnya banyak pegawai birokrasi yang penempatannya tidak akurat antara kompetensi yang dimiliki dengan beban kerja yang diberikan. Bahkan kita sering mendapati sebagian aparatur negara di negeri ini tidak tahu tugas dan wewenangnya sebagai seorang birokrat. Sistem birokrasi Webberian yang sangat kaku dan hierarki membuat kreatifitas para birokrat di level bawah terpasung karena sistem birokrasi yang dianut tidak mengakomodasi tumbuhnya kreativitas.
Carut marut situasi birokrasi
Di era otonomi daerah dewasa ini, hambatan utama dalam proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur birokrasi sebagian besar ditentukan oleh afiliasi antara pemangku kebijakan dengan calon pejabat birokrasi. Ini sebagai konsekuensi dari munculnya fenomena akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu dari elit lokal untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Masalah ini juga mengkerucut ke pusat, dimana motif dan modus operandi yang digunakan hampir sama dengan yang terjadi di daerah. Akibatnya korelasi antara profesionalisme aparatur negara dengan kompetensi yang dimiliki tidak berbanding lurus. Persoalan lain terkait dengan profesionalitas birokrasi adalah kurangnya sikap “legowo” dari aparatur negara ketika proses mutasi dan perampingan struktur organisasi dilakukan. Ketidakrelaan ini timbul karena “lahan” tempat mereka mencari makan akan hilang seiring berkurangnya kekuasaan yang melekat dalam dirinya. Ketakutan ini timbul karena dilatarbelakangi oleh belum mencukupinya gaji pokok dan insentif tambahan untuk PNS. Permasalahan mendasar inilah yang membuat para birokrat cenderung mencari alternatif sumber pendapatan lain, termasuk mengorbankan legitimasi kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi.
Buruknya profesionalitas birokrasi juga ditandai oleh pendobrakan terhadap nilai-nilai normatif penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini dapat kita lihat dari perseteruan “cicak versus buaya” sebagai simbolisasi antara penegak hukum (Polri dan Kejaksaan Agung) dengan khalayak umum. Publik diberikan ilustrasi fakta mengenai busuk dan munafiknya aparatur birokrasi kita dalam proses penegakan hukum. Di level daerah, kualitas dan kinerja birokrasi juga masih didominasi oleh keinginan elit lokal dan para birokrat untuk mencapai kekuasaan serta menguatnya inklusivitas kedaerahan. Ini menjadi peringatan untuk kita semua bahwa gagalnya proses profesionalitas aparatur negara tidak hanya ditentukan dari sisi internal, namun dari sisi eksternal juga sangat menentukan arah reformasi birokrasi di Indonesia. Tentu saja permasalahan ini berimplikasi kepada tidak optimalnya pelayanan publik yang kemudian diikuti tergerusnya kepercayaan publik kepada mesin negara bernama birokrasi
Dari sisi netralitas, birokrasi kita juga masih dihadapkan pada permasalahan pelik terkait afiliasi partai politik dengan aparatur negara. Maraknya Pilkada yang terjadi di daerah menjadi momentum bagi kedua belah pihak (parpol dan birokrat nakal) untuk membentuk simbiosis mutualisme. Partai politik menggunakan birokrasi sebagai sapi perah untuk finansial partai sekaligus mesin kampanye yang efektif dalam menjaring massa. Fenomena ini lazim kita jumpai di era kepemimpinan Soeharto pada masa orde baru dengan “Golongan Karya” nya. Sebaliknya, para birokrat meminta jaminan keamanan jabatan agar tidak diganti atau bahkan mendapat promosi jabatan ketika calon pemimpin daerah yang didukung memenangkan pilkada. Faktor eksternal inilah yang kadang menjadi batu sandungan untuk merubah perilaku moral hazard aparatur negara ke arah profesionalitas.
Melihat ke dalam internal birokrasi, identifikasi masalah yang juga muncul dalam membangun profesionalisme aparatur negara terkait lemahnya subsistem seperti: rekruetmen, penggajian dan penghargaan (reward), pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan (lihat Prasojo, 2009). Gagalnya pembenahan subsistem ini melahirkan kesenjangan kemampuan dalam diri birokrat untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya (lack competencies).
Menuju profesionalisme birokrasi
Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para pakar otonomi daerah praktisi di lapangan untuk membenahi carut marut birokrasi di negeri ini. Dari semua solusi yang ada, penulis mencoba memetakan hal-hal apa saja yang menjadi urgensi pembenahan agar birokrasi kita menjadi lebih profesional. Pertama, sikap profesionalisme birokrat dapat dihadirkan dari seorang pemimpin (presiden, atau kepala daerah) sebagai panutan bagi para aparat bawahannya. Di daerah yang memiliki pemimpin dengan strong political leadership yang sangat kuat, secara tidak langsung efek positif memang terlihat jika berkaca kepada daerah otonom yang berhasil mereformasi birokrasinya. Daerah seperti Sragen, Jembrana, dan Purbalingga menjadi gambaran bahwa korelasi keberhasilan reformasi birokrasi dengan penguatan peran pemimpin memang terlihat. Kedua, Pembenahan sistem rekruetmen berdasarkan merit system harus segera dilakukan. Selama ini praktik red-tape birokrasi masih berlangsung sehingga kompotensi individu sering dipinggirkan. Padahal, kompetensi dan kebutuhan posisi jabatan harus disinergiskan untuk menghindari lack competencies. Ketidaktepatan penempatan pegawai akan mengakibatkan tidak optimalnya proses pelayanan publik serta inefisiensi dari sisi anggaran. Ketiga, Pembenahan relokasi institusi rekruetmen pegawai juga harus dilakukan. Selama ini proses rekruetmen hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah saja. Keikutsertaan pihak lain, seperti unsur akademisi dan organisasi masyarakat (NGO) belum diikutsertakan. Ke depan, porsi stageholder harus diperkuat dalam melakukan rekruetmen. Berperannya institusi non pemerintah dimaksudkan agar proses pengawasan dan independensi tetap terjaga. Idealnya, institusi pemerintah pusat dan daerah nantinya hanya akan menjadi regulator dalam proses rekruetmen dan lebih banyak memberikan urusan teknis kepada pihak independen. Hal ini juga untuk menghindari benturan kepentingan dari dalam birokrasi terhadap proses rekruetmen serta menjaga netralitas birokrasi. Keempat, Perbaikan sistem gaji juga harus dibenahi. Komitmen pemerintahan SBY pada masa jabatan pertama perihal kenaikan gaji pegawai dalam nota APBN tahun 2010 patut diapresiasi sebagai langkah maju. Akan tetapi itu hanya bersifat temporer. Kita membutuhkan sistem penggajian berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya. Keseimbangan antara beban kerja dengan reward yang diterima harus seimbang. Kesalahan mendasar pemerintah dalam proses penggajian selama ini adalah memukul rata jumlah gaji PNS. Kalaupun ada yang membedakan, itu terkait dengan waktu pengabdian dan status golongan PNS. Tidak ada indikator baku mengukur beban kerja dan reward yang akan diperoleh, termasuk bentuk punishment-nya. Terkait reward, memang sudah ada remunerasi PNS disebagian departemen pemerintah. Namun, remunerasi saja tidak cukup jika tidak ada pengawasan untuk mengawal prosesnya. Dibutuhkan evaluasi yang komprehensif untuk semua PNS berikut sanksi (punishment) yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran kode etik saat remunerasi telah diberikan. Kelima, Bias pengukuran kinerja PNS di Indonesia masih cukup kuat dan membingungkan. Indikator-indikator yang dipakai oleh pemerintah dalam menilai kinerja seorang PNS ”baik atau tidak” sangat tergantung dari subjektifitas pimpinan. Tidak ada mekanisme yang fair sebagai panduan utama dalam menilai kinerja PNS. Selama ini UU No. 8 Tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun 1999 dan PP No. 10 Tahun 1979 tentang Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3) menjadi dasar hukum dan panduan dalam mengukur penilaian kinerja PNS. Kelemahan mendasar dari DP3 terkait dengan ukuran-ukuran kinerja yang masih bersifat umum dan sangat bias karena memasukkan unsur suka dan tidak suka (like and dislike) seorang pimpinan kepada bawahan (lihat Prasojo, 2009). Permasalahan inilah yang kemudian berimplikasi kepada ketidakjelasan promosi jabatan, mutasi jabatan, dan proses rekruetmen yang amburadul.
Dari semua solusi di atas, penekanan reformasi ke arah pendulum profesionalitas memang harus dimulai dari perubahan paradigma dan mentalitas birokrat agar menjadi pelayan masyarakat yang baik dan mandiri. Hal ini memang sangat sulit karena mengubah perilaku birokrasi sekaligus juga budaya organisasi yang sudah terlanjur rusak. Selama ini perbaikan dari sisi teknis seperti remunerasi memang berdampak positif terhadap laju reformasi birokrasi. Namun, keseimbangan perbaikan subsistem yang lain dalam sistem birokrasi tetap harus dijaga. Keseimbangan itu akan tercapai jika sistem birokrasi, khususnya sistem kepegawaian, dikondisikan menjadi lebih transparan mulai dari proses rekruetmen sampai masa dimana seorang birokrat memasuki pensiun. Selanjutnya, peran masyarakat sebagai penerima layanan dan sivil society dalam mengawasi serta menjadi bagian penting dalam proses reformasi juga mesti diperkuat. Maraknya proses ujian masuk pegawai negeri sipil disetiap akhir tahun setidaknya menjadi cerminan bagi kita bahwa praktik paradigma lama perekrutan PNS masih terjadi. Evaluasi sementara penulis, perubahan subsistem yang diharapkan hadir belum dilakukan secara maksimal. Jika terus dibiarkan, ini menjadi warning sekaligus antiklimaks bagi keberlangsungan serta arah reformasi birokrasi di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar