Apa jawaban yang Anda berikan bila Anak Anda bertanya, “Mengapa Ayah atau Ibu harus bekerja?” Lazim terjadi, kita sebagai orang tua berkata, “Mencari uang!” jawaban ini tentu saja memang sangat logis dan masuk akal. Di sisi lain, tidakkah kita kemudian jadi tergelitik dengan jawaban tersebut? Betulkah prioritas dan alasan kita bekerja membanting tulang dan memeras otak semata mencari uang? Bukankah kegiatan mencari uang bisa terdengar sumbang bila asal dari jumlah jutaan, miliaran, bahkan triliunan rupiah yang dikorupsi atau direkayasa dengan cara “insider training” dari oknum tertentu? Bila uang diperoleh, tetapi kualitas hidup dan karakter pribadi tidak menjadi lebih baik, serta ada pihak-pihak yang dirugikan, masihkah bermakna kerja yang kita lakukan?
Banyak orang tidak bisa membayangkan untuk apa uang miliaran atau triliunan dimiliki dan bagaimana jumlah sebanyak itu dibelanjakan. Meski tidak selamanya makna mencari uang atau mengejar keuntungan sama dari individu yang satu ke yang lain. Orang yang “berada”, bermobil keren, berdandan dengan barang-barang branded, diperlakukan dengan lebih respek dan diberi ruang yang lebih terhormat. Orang-orang merasa kekurangan uang terus dan mengeluarkan pernyataan bahwa kebutuhan tidak ada habisnya. Seolah-olah kita mencari excuse untuk bersikap materialis. Kadang-kadang kita bingung sendiri mengapa kita terjebak dalam kultur collective greed seperti ini. Seorang ahli filsafat menggambarkan situasi sekarang sebagai berikut: “How much is enough, and why are people willing to risk so much to get more? If money is so alluring, how is it that so many people great wealth also seem so unhappy?”
Pada zaman ketika anak-anak muda berusia antara 20-30 tahun dengan mudah menjadi kaya raya, tantangan mencari makna hidup atau kepemilikan pun seakan semakin diprioritaskan. Dengan tawaran-tawaran pinjaman tanpa angunan, janji-janji keuntungan reksadana, pinjaman KPR yang semakin dipermudah, gadget teknologi informasi yang selalu baru, orang jadi lupa untuk mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, apa misi dan tujuan hidupnya, apa makna hidup dan makna bekerja. Padahal, seperti kita saksikan sendiri, uang bisa menjadi sumber malapetaka, ketimbang sumber daya untuk mengembangkan hubungan interpersonal dan memperkaya makna hidup. Kalau pada saat berkekurangan kita mencemaskan “besok mau makan apa”, pada waktu berkecukupan, kecemasannya berbentuk “bagaimana bila uang saya hilang” Seorang profesor filsafat, Jacob Needleman mengatakan, “Being rich does not make you smart – especially about things other then money.” Bila tidak pernah memahami hubungan kita dengan uang dan harta, kita tidak pernah mengenal diri sendiri.
Sukses = banyak duit?
Istilah “jadi orang” yang sering digunakan oleh orang tua kita dulu sebetulnya mengandung makna yang dalam. Pada zaman dahulu, jelas “jadi orang” tidak selamanya “jadi orang kaya”. Jadi guru yang hidup sederhana pun sudah “jadi orang”. Sebetulnya, konsep sukses dari dulu dan bahkan sampai sekarang pun tidak bisa samakan dengan banyak uang saja. Orang bisa dikatakan sukses bila ia jelas-jelas menyadari dan menggunakan semua fungsi, semua bagian dan seluruh kapasitas dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, bukan semata untuk kepentingan dirinya pribadi. Dalam mengembangkan diri menjadi karakter yang utuh barulah seseorang bisa merasakan kenikmatan, perjuangan dan tantangan dalam bekerja. Teman saya, seorang pengusaha dan pekerja keras yang memiliki perusahaan beromzet trilliunan rupiah pernah mengatakan, “Saya tidak bisa membayangkan uang bermiliar-miliar dalam bentuk uang kertas. Hal yang saya kejar dan upayakan hanya berprestasi.”
Seseorang yang mendapatkan promosi atau kenaikan gaji dengan berjuang keras dan berkompetisi dengan sesama rekan, memiliki pengalaman mengerahkan sumber daya, melatih nyali, bahkan menguj hati nurani. Kenikmatan hasil jerih payahnya ini tentu tidak semata karena akhirnya ia meraih jabatan atau uang, tetapi juga karena terjadi pematangan kepribadian. Lain halnya bila seseorang mendapatkan jabatan atau uang dengan cara gampang, bahkan atau usaha. Ia melewatkan kesempatan untuk berdialog dengan dirinya. Spiritnya tidak berkembang. Demam masyarakat dalam dunia yang serba instan inilah yang mempengaruhi mental dan spirit kita semua. Kita sepertinya perlu mengembangkan “antibodi” agar tidak dijangkiti “demam” yang mematikan ini.
Kualitas kerja sebagai daya tarik
Kita memang tidak bisa menghindari kebutuhan kita akan uang. Terlepas dari kebutuhan orang untuk memenuhi rasa amannya melalui pemilikan rumah atau kendaraan yang memadai untuk mendukung aktivitas sehari harinya, kita juga perlu merancang kualitas perbaikan kualitas hidup sambil jalan. Bila selama ini ingin lebih dan lebih, kita perlu memberi penekanan pada kualitasnya. Bukan sekedar berjuang demi bonus, tetapi bekerja denmi merasakan kebahagiaan kerja bersama. Bukan sekedar berkompetisi dengan melihat hasil akhir, tetapi justru memahami mengapa orang lain lebih bijak, lebih berkualitas kerja, dan lebih efisien. Dalam iming-iming mengajak calon pekerja untuk bergabung, bukan gaji besar yang ditonjolkan, tetapi bagaimana suasana kerja, hubungan antar karyawan, dan apresiasi yang dipentingkan. Kita rasanya tidak perlu merasa kalah bersaing secara finansial, kalau saja mengetahui betul bagaimana mengupayakan agar para pekerja diarahkan untuk melakukan kualitas kerja yang lebih baik. Dalam hal ini, upah pasti akan menjadi konsekuensi positifnya, “in tough times, meaningful work seems more than ever to demand attention.”
Referensi:
Kompas, edisi Sabtu 28 Mei 2011. h. 33
Elleen Rachman&Sylvina Safitri, Experd Employee Engagement Survey
foto: http://syahadattullah.files.wordpress.com