Minggu, 29 Mei 2011

Makna Hidup

Apa jawaban yang Anda berikan bila Anak Anda bertanya, “Mengapa Ayah atau Ibu harus bekerja?” Lazim terjadi, kita sebagai orang tua berkata, “Mencari uang!” jawaban ini tentu saja memang sangat logis dan masuk akal. Di sisi lain, tidakkah kita kemudian jadi tergelitik dengan jawaban tersebut? Betulkah prioritas dan alasan kita bekerja membanting tulang dan memeras otak semata mencari uang? Bukankah kegiatan mencari uang bisa terdengar sumbang bila asal dari jumlah jutaan, miliaran, bahkan triliunan rupiah yang dikorupsi atau direkayasa dengan cara “insider training” dari oknum tertentu? Bila uang diperoleh, tetapi kualitas hidup dan karakter pribadi tidak menjadi lebih baik, serta ada pihak-pihak yang dirugikan, masihkah bermakna kerja yang kita lakukan?

Banyak orang tidak bisa membayangkan untuk apa uang miliaran atau triliunan dimiliki dan bagaimana jumlah sebanyak itu dibelanjakan. Meski tidak selamanya makna mencari uang atau mengejar keuntungan sama dari individu yang satu ke yang lain. Orang yang “berada”, bermobil keren, berdandan dengan barang-barang branded, diperlakukan dengan lebih respek dan diberi ruang yang lebih terhormat. Orang-orang merasa kekurangan uang terus dan mengeluarkan pernyataan bahwa kebutuhan tidak ada habisnya. Seolah-olah kita mencari excuse untuk bersikap materialis. Kadang-kadang kita bingung sendiri mengapa kita terjebak dalam kultur collective greed seperti ini. Seorang ahli filsafat menggambarkan situasi sekarang sebagai berikut: “How much is enough, and why are people willing to risk so much to get more? If money is so alluring, how is it that so many people great wealth also seem so unhappy?”

Pada zaman ketika anak-anak muda berusia antara 20-30 tahun dengan mudah menjadi kaya raya, tantangan mencari makna hidup atau kepemilikan pun seakan semakin diprioritaskan. Dengan tawaran-tawaran pinjaman tanpa angunan, janji-janji keuntungan reksadana, pinjaman KPR yang semakin dipermudah, gadget teknologi informasi yang selalu baru, orang jadi lupa untuk mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, apa misi dan tujuan hidupnya, apa makna hidup dan makna bekerja. Padahal, seperti kita saksikan sendiri, uang bisa menjadi sumber malapetaka, ketimbang sumber daya untuk mengembangkan hubungan interpersonal dan memperkaya makna hidup. Kalau pada saat berkekurangan kita mencemaskan “besok mau makan apa”, pada waktu berkecukupan, kecemasannya berbentuk “bagaimana bila uang saya hilang” Seorang profesor filsafat, Jacob Needleman mengatakan, “Being rich does not make you smart – especially about things other then money.”  Bila tidak pernah memahami hubungan kita dengan uang dan harta, kita tidak pernah mengenal diri sendiri.

Sukses = banyak duit?

Istilah “jadi orang” yang sering digunakan oleh orang tua kita dulu sebetulnya mengandung makna yang dalam. Pada zaman dahulu, jelas “jadi orang” tidak selamanya “jadi orang kaya”. Jadi guru yang hidup sederhana pun sudah “jadi orang”. Sebetulnya, konsep sukses dari dulu dan bahkan sampai sekarang pun tidak bisa samakan dengan banyak uang saja. Orang bisa dikatakan sukses bila ia jelas-jelas menyadari dan menggunakan semua fungsi, semua bagian dan seluruh kapasitas dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, bukan semata untuk kepentingan dirinya pribadi. Dalam mengembangkan diri menjadi karakter yang utuh barulah seseorang bisa merasakan kenikmatan, perjuangan dan tantangan dalam bekerja. Teman saya, seorang pengusaha dan pekerja keras yang memiliki perusahaan beromzet trilliunan rupiah pernah mengatakan, “Saya tidak bisa membayangkan uang bermiliar-miliar dalam bentuk uang kertas. Hal yang saya kejar dan upayakan hanya berprestasi.”

Seseorang yang mendapatkan promosi atau kenaikan gaji dengan berjuang keras dan berkompetisi dengan sesama rekan, memiliki pengalaman mengerahkan sumber daya, melatih nyali, bahkan menguj hati nurani. Kenikmatan hasil jerih payahnya ini tentu tidak semata karena akhirnya ia meraih jabatan atau uang, tetapi juga karena terjadi pematangan kepribadian. Lain halnya bila seseorang mendapatkan jabatan atau uang dengan cara gampang, bahkan atau usaha. Ia melewatkan kesempatan untuk berdialog dengan dirinya. Spiritnya tidak berkembang. Demam masyarakat dalam dunia yang serba instan inilah yang mempengaruhi mental dan spirit kita semua. Kita sepertinya perlu mengembangkan “antibodi” agar tidak dijangkiti “demam” yang mematikan ini.

Kualitas kerja sebagai daya tarik

Kita memang tidak bisa menghindari kebutuhan kita akan uang. Terlepas dari kebutuhan orang untuk memenuhi rasa amannya melalui pemilikan rumah atau kendaraan yang memadai untuk mendukung aktivitas sehari harinya, kita juga perlu merancang kualitas perbaikan kualitas hidup sambil jalan. Bila selama ini ingin lebih dan lebih, kita perlu memberi penekanan pada kualitasnya. Bukan sekedar berjuang demi bonus, tetapi bekerja denmi merasakan kebahagiaan kerja bersama. Bukan sekedar berkompetisi dengan melihat  hasil akhir, tetapi justru memahami mengapa orang lain lebih bijak, lebih berkualitas kerja, dan lebih efisien. Dalam iming-iming mengajak calon pekerja untuk bergabung, bukan gaji besar yang ditonjolkan, tetapi bagaimana suasana kerja, hubungan antar karyawan, dan apresiasi yang dipentingkan. Kita rasanya tidak perlu merasa kalah bersaing secara finansial, kalau saja mengetahui betul bagaimana mengupayakan agar para pekerja diarahkan untuk melakukan kualitas kerja yang lebih baik. Dalam hal ini, upah pasti akan menjadi konsekuensi positifnya, “in tough times, meaningful work seems more than ever to demand attention.”

Referensi:
Kompas, edisi Sabtu 28 Mei 2011. h. 33
Elleen Rachman&Sylvina Safitri, Experd Employee Engagement Survey
foto: http://syahadattullah.files.wordpress.com

Sabtu, 21 Mei 2011

Pancasila: Sumber Nasionalisme atau Anarkisme?

Ketika pendulum zaman rezim orde baru bergeser kepada era reformasi, pelajaran sekolah semacam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pelajaran Modal Pancasila (PMP) dan pelajaran sekolah yang berafiliasi “Pancasila” menjadi tabu untuk diajarkan di ranah pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Menjadi tabu dan tidak layak untuk dikenalkan karena hampir semua orang setuju Pancasila menjadi alat politik elit orde baru untuk menciptakan tirani. Kehilangan Pancasila bagi sebagian kalangan pasca pergerakan reformasi menjadi jalan baru dalam mencari persatuan dan harapan yang lebih baik. Kini, setelah tiga belas tahun berlalu, harapan yang coba dirajut bangsa ini tanpa peranan Pancasila masih belum mampu diwujudkan. Resistensi masalah atas konsekuensi hilangnya Pancasila dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara justru semakin pelik. Ancaman disintegrasi seperti pergerakan NII, teror bom dipelbagai daerah, etika politik dari elit kekuasaan yang semakin bobrok serta permasalahan social ekonomi dan politik, justru semakin membuat jengah kesabaran rakyat. Kerinduan kembali kepada keberadaan Pancasila pun mengemuka setelah sekian lama terlupakan. 

Sila yang Hilang

Dalam diskusi publik yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV nasional terjadi kegaduhan yang cukup menyita perhatian peserta diskusi. Ketika moderator menunjuk salah satu penonton diskusi untuk membacakan sila Pancasila, penonton yang ditunjuk oleh moderator tidak mampu menghafal dan menyampaikan dengan sempurna. Intinya, peserta diskusi yang didaulat membacakan Pancasila lupa akan isi dari lima sila. Celakanya, diskusi ini digelar di gedung Mahkamah Konstitusi. Tempat dimana dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menjadi simbol tertinggi pengejawantahan Pancasila sebagai landasan pelbagai peraturan. Tempat dimana sejatinya kealphaan akan bunyi sila dan falsafah Pancasila haram hukumnya. Tapi apa boleh buat, ini adalah potret keberhasilan “pemberedelan”Pancasila dari ingatan masyarakat kita pada era reformasi. Lebih parah lagi, simbol-simbol dan napak tilas sejarah pembentukan pancasila kini semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Museum Pancasila dan Lubang Buaya yang dulu menjadi tempat wisata wajib bagi siswa SD sampai SMU, kini semakin sepi. Inikah konsekuensi pergerakan reformasi yang telah menginjak 13 tahun? sebuah cita-cita luhur yang kini sangat kontras antara harapan dan kenyataan?

Dalam konteks kekinian, pelbagai masalah kebangsaan yang timbul memang tidak dapat disanggah karena kita mulai kehilangan orientasi berpancasila. Hubungan elit dan rakyat kini semakin jauh. Ketika pada zaman orde baru pemeliharaan “persatuan” diperankan begitu elegan oleh Pancasila, kini peran itu belum mampu dilakukan oleh instrumen kebangsaan lainnya. Tidak terkecuali demokrasi yang oleh kita dijadikan wahana perubahan pasca reformasi, nyatanya justru menimbulkan parasit demokrasi yang semakin menyengsarakan banga ini kepada lembah nestapa. Peran lembaga tinggi negara dan para aparatur negara sampai hri ini juga terbukti gagal karena mereka justru menjadi stimulus dari karut marut pelbagai permasalahan yang ada. Tarik menarik pembangunan gedung DPR dan egoisme para wakil rakyat dalam memandang urgensi pembangunan gedung, justru lebih menarik ceritanya bagi kita (rakyat), menjadi hiburan sekaligus pepesan kosong pengocok perut. Lawakan DPR yang tidak juga bosan untuk dinikmati oleh rakyat di televise justru menjadi lebih menarik dari pada mengurusi kesejahteraan dan pencabutan tapal perbatasan bangsa. Lihat pula bagaimana permasalahan Ahmadiyah yang pada masa orde lama dan orde baru menjadi satu hal yang lumrah dan diterima sebagai konsekuensi “kebhinekaan” bangsa Indonesia, kini menjadi issue SARA yang menakutkan dan memakan korban jiwa. Pembangunan demokrasi yang tidak bercirikan Pancasila selama tiga belas tahun terakhir nyatanya jsutru menenggelamkan bangsa ini pada tirani dan ancaman disintegrasi yang nyata. Makna dari sila-sila Pancasila pun dilihat sebagai simbolisasi dari sejarah bangsa Indonesia. Pancasila kini dipandang tidak lagi update dengan permasalahan bangsa pada era masa kini. Demokrasi yang kita jalankan sekarang ini menyitir dari pendapat Plato adalah “parasit demokrasi”.

Makna Sila yang Hilang

Bung Karno, Bung Hatta, dan Bapak Bangsa kita lainnya sejatinya merancang Pancasila sebagai elemen sekaligus pemersatu dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Koherensi sila pertama sampai dengan sila kelima memiliki arti dan butir yang saling terkait dan tidak dapat dipisah. Namun, polarisasi pembangunan bangsa kita saat ini nyatanya hanya terkooptasi pada satu sila tertentu tanpa mempertimbangkan sila yang lain. Pertentangan sila ketuhanan yang maha esa dengan sila persatuan Indonesia misalnya, menjadi sangat ambigu karena dalam praktiknya, sila ketuhanan yang maha esa menjadi sumber penyakit persatuan bangsa. Issue SARA dan sentimen kesukuan antar masyarkat dalam ranah sosial dan ekonomi sangat terasa dan dibiarkan tumbuh sebagai “bom waktu” dan komoditas politik para elit. Hubungan antar lembaga tinggi negara dewasa ini juga mencerminkan adanya saling sandera dalam hal kewenangan dan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Penyanderaan ini dapat kita lihat dari resistensi yang ditunjukkan DPR terhadap sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi. Pemangkasan KPK dari sisi fungsi, kewenangan, sampai anggaran dana menjadi sinyal kuat gerahnya para wakil rakyat kepada lembaga super body ini. Dalam lingkup penyelenggaraan demokrasi (Pemilu dan Pemilukada), penodaan kepada falsafah Pancasila juga sangat jelas terlihat. Dari mulai terkebirinya prinsip Jurdil (jujur dan adil) dalam menyelenggaraan kampanye di tingkat pusat hingga daerah, sampai kegagalan peran dan fungsi partai politik sebagai agent of change. Rente kekuasaan justru sangat melekat dalam tubuh partai. Rente yang kini menjadi “jualan” utama bagi mereka yang ingin membeli kekuasaan.

Romantisme Pancasila

Kegagalan negara dalam mengontrol permasalahan bangsa, baik yang sifatnya laten maupun permasalahan yang sudah nyata terjadi tidak dapat dipungkiri karena tidak adanya perekat kebangsaaan antar masyarakat. Kalau dulu Pancasila dijadikan alat perakat persatuan oleh Pak Harto, perekat persatuan kita saat ini adalah “kesamaan kepentingan”. Romantisme yang kini coba untuk dibangunkan kembali melalui instrument survey. Publikasi hasil survey Indo Barometer yang menyebutkan sebagian besar rakyat kita kangen akan masa orde baru dengan segala kenyamana dan keamanan yang “semu” menurut hemat penulis patut menjadi warning kegagalan elit kita. Walau keabsahan survei masih diperdebatkan dari sisi metodologi dan metode pengambilan samplingnya. Hasil survei ini cukup menjadi masukan bahwa realitas masyarakat kita tidak puas dengan kinerja pemerintah sekarang.

Bangsa ini sejatinya mencoba peruntungan baru ketika berpaling dari Pancasila. Namun, kerinduan akan hadirnya Pancasila dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dibantah mengindikasikan rasa frustasi yang dirasakan rakyat. Jika pun Pancasila harus dihadirkan kembali di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan dewasa ini, yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana mengkaji falsafah nilai-nilai Pancasila agar relevan dengan permasalahan bangsa kekinian. Pancasila harus dikaji dalam ranah keilmuan dan ilmiah serta mampu menjadi sumber ide dan solusi bagi permasalahan bangsa kita. Jika kita melihat paham marxisme, perkembangan ideologi ini sangat artikulatif. Marxisme oleh pelbagai pakar telah dijadikan sebagai “marxisme science ou idéologie”. Masxisme tetap tumbuh dan digandrungi oleh sebagai masyarakat dunia walau secara aplikasi sangat kecil kita lihat dan rasakan.

Bangsa kita juga harus menggali Pancasila sebagai fokus dan lokus science idéologie yang mumpuni. Tidak hanya sekedar simbol yang tergerus oleh modernitas zaman. Kita memiliki modal dasar untuk mengeksiskan pancasila sebagai value bangsa. Pembentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi master piece keberhasilan Pancasila dalam membentuk karakter dan cirri khas Indonesia dimata dunia. Hal yang sampai saat ini masih menjadi masalah nasional di Negara Belgia. Mereka selama puluhan tahun tidak dapat memformulasikan bahasa persatuan walau secara jumlah demografi dan luas wilayah sangat kecil dibandingkan Indonesia.

Oleh karena itu, Pancasila di era modern harus mampu ditempatkan dalam setiap ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Mampu diaplikasikan dalam setiap hubungan yang kaya dengan yang miskin, yang  tua dengan yang muda, yang pintar dengan yang bodoh, yang memerintah dengan yang diperintah. Harus ada harmonisasi peran dan hak dari masing-masing peran. Jangan sampai bangkit dan kembalinya Pancasila ke peraduan  kita sekarang ini akan menjadi tidak punya arti jika sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) belum dapat dipenuhi oleh Negara (elit). Prasyarat ini menjadi sangat penting karena kegagalan peran Pancasila di era modern (menjelang kejatuhan rezim orde baru), diakibatkan karena kita sebagai bangsa belum mampu mencapai dan mewujudkan sila kelima yang pada hakikatnya adalah tujuan akhir dari falsafah Pancasila. Sebuah tujuan besar yang disokong oleh empat sila sebelumnya. Selama pengejawantahan sila kelima masih berkutat kepada cita-cita dan bahasa utopia semata, bangsa ini akan tetap memaknai Pancasila sebagai simbol perjuangan pemersatu bangsa semata. Tidak lebih!