Jumat, 28 Januari 2011

Demokrasi Di Negeri Mimpi

”Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat miskin, dimana mereka dapat melakukan apa pun yang diinginkan, tidak ada penghormatan terhadap otoritas dan hukum, melainkan serangan terhadap kebebasan, situasi yang menimbulkan anarki dan tirani.” (Plato)
Ucapan Plato di atas barangkali menjadi anekdot perjalanan demokrasi negeri ini. Sama dengan situasi di belahan dunia lainnya, demokrasi oleh sebagian kaum papa hanya menimbulkan tirani dan ketidakadilan. Situasi di Tunisia dan Mesir menjadi contoh kekinian bagaimana demokrasi telah menjadi tameng sekaligus legitimasi pemimpin elit untuk berlama-lama berkuasa. Ralf Dahrendorf menyebut mereka sebagai kelompok Funktioselite. Mereka bebas membuat dan melakukan kebijakan karena memiliki sumber daya.Mereka memanjakan kita dengan retorika. Mereka lahir dengan kecurangan dan kerakusan akan kekuasaan. Atas nama demokrasi, tirani mereka balut dengan norma dan hukum. Demokrasi pula yang melegalkan kekerasan dan ketamakan bersanding dengan kebebasan dan plurarisme.
Wajar jika saudara-saudara kita di Tunisia dan Mesir merasa muak dengan demokrasi. Demokrasi yang sejatinya sangat anggun dilakukan seperti demokrasi jalanan. Menjadi sangat maklum jika meraka murka karena rezim yang telah mereka pilih tidak memberikan kebahagiaan. Di negeri yang dikenal orang sebagai negara terbesar ketiga di dunia ini setali tiga uang dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat Tunisia dan Mesir. Mereka gamang dan putus asa. Salam dengan mereka, kita pun marah dan sedih melihat apa yang tidak seharusnya terjadi. Lihatlah.., atas nama demokrasi dan hak asasi, seorang Artalita melenggang bebas dengan dalih telah memebuhi prosedur hukum. Disatu sisi, ketika para wakil rakyat digelandang bak pesakitan ke rumah tahanan oleh KPK, Miranda Goeltom asyik berfashion show ria dengan anaknya tanpa malu dan salah. Atas nama hak asasi pula, seorang Nunun diberikan keringanan karena lupa ingatan! Menggelikan memang..walau secara rasional, apa yang diterjadi ini sangat irasional…dan kita terlanjur menjadi rakyat yang irasional dan permisif dengan sikap seperti itu.
Indonesia memang demokrasi di negeri mimpi. Apa yang terlihat dari karsa dan sikap para pemangku kebijakan lebih banyak berlaku seperti para bedebah! Kita merasa sangat jijik ketika mereka bicara mengenai kaum papa dan keadilan. Tak disangka mereka seniman elitis yang mahir berpantun dan berlakon dengan berbagai wajah. Mereka pelakon demokrasi yang silih berganti topeng dan peran untuk menghibur para penonton. Hukum di negeri mimpi dimainkan seolah menjadi mata pisau yang semu. Menjadi semu dan tumpul, karena hukum hanya tajam di bawah, tumpul di atas.
Menggelikan memang. Begitu menggelikan sehingga Tuhan dan alam pun murka. Lihat saja, bersamaan dengan bebasnya “Ratu Kasus” Mbak Ayin, berbagai kecelakaan mendadak muncul. Di laut, kebakaran kapal Roro pada jumad dinihari memakan korban. Di darat, kecelakaan maut kereta api di daerah Purwakarta ikut menambah panjang masalah yang sudah ruyam. Belum lagi dagelan Gayus yang makin hari makin memuakkan masyarakat. Menjadi sangat muak karena antara yang baik dan yang jahat kian buram. Yang salah dan yang benar kian membingungkan kepada kita-kita yang melihatnya. Ingin sekali mereka mati dalam kelaparan dan keputusasaan..ingin sekali mereka makan nasi aking dan tiwul beracun hingga mereka direnggut maut. Lega rasanya melihat mereka bunuh diri dari lantai 10 di sebuah mall dan disumpah serapah orang-orang yang berlalu lalang. Dan ingin sekali keinginan itu menjadi nyata…
Kalau sudah begini, tidak ada salahnya jika kita mengamini apa yang diucapkan Plato. Demokrasi tidak perlu dipimpin oleh para bedebah (elit) yang gemar berbasa basi dan berlindung atas nama hukum dan kebebasan. Kita tidak perlu pemimpin yang santun dalam ucapan jika tidak sejalan dengan perbuatan. Lebih baik kita berdemokrasi dengan menyederhanakan pemikiran dan kejujuran untuk mengatakan yang benar dan salah. Sudah saatnya kita terjaga dari mimpi panjang kita. Karena kita sedang berdemokrasi di negeri mimpi…!

Kamis, 27 Januari 2011

Wakaf Uang dalam Perspektif Kekinian

Wacana pemberdayaan ekonomi umat melalui sertifikasi wakaf dengan uang tunai yang lazim dikenal Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan konseptual, sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus, peneliti senior non muslim dan ahli ekonomi Islam dari Universitas Bochum Jerman dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat formula pendekatan kajian ekonomi Islam: pragmatis, resitatif, utopian, dan adaptif. 

Menurutnya, dari keempat pendekatan itu, yang paling banyak dipakai adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja recitation (pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), adalah pendekatan mengacu pada teks ajaran Islam Secara khusus, pendekatan ini di antaranya mengacu pada hukum Fiqih Mu’amalah kalangan fuqaha yang disebutnya the orthodox jurist. Termasuk kategori pendekatan ini, kajian yang berorientasi teologis dan analisis moral yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami (1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak tersebut dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma’asy seperti dikenalkan Imam Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya’ Ulumuddinnya. 

Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila disertai kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang kesejatiannya membawa kepada kemaslahatan (kesejahteraan sosial). Paradigma ekonomi yang berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk memprediksi perilaku di masa datang. Itulah yang diungkap Dr. Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru Chapra The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma; perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan paradigma itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The Moral Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah paradigma utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian, bahkan meningkat pada berbagai aturan hubungan sosial. 

Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom dari Universitas Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan etika. Hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang disebut Fukuyama “kekacauan dahsyat” dalam bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997) berkaitan dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh karena itu, wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma ekonomi tersebut. Karena, wakaf membuktikan fenomena semangat solidaritas sosial.

Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf. 

Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang telah diwakafkan (refraining) yang disertai penyerahannya kepada kemasalahaatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan kontinyu sebagaimana doktrin amal jariah. Oleh karena itu, sangat relevan, terlepas dari perdebatan fiqih, bolehnya wakaf dengan dana tunai (cash) dan bukan harta tetap. Bahwa, gagasan sertifikat wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai bukti ‘share holder’ proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat pemanfaatan dari hasil (return) investasi dan pengelolaannya secara produktif. 

Substansi wacana wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul. Bahkan, dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada Al-Mashalih Al-Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. 

Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa - MUI dalam mengakomodir kemaslahatan sejalan dengan maqashid asy-syari’ah yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri, ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah, para ulama Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan wakaf tunai. 

Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan ternyata secara empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun Kapitalis. Bahkan, Keynes (1930) dengan menyerabot secara sepotong gagasan Ibnu Khaldun berusaha mengusung slogan dan wacana kesejahteraan sekalipun melalui gagasan model Negara Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan modifikasinya model New Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano Rosevelt mengalami kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut tidak menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Yaitu, keadilan ekonomi yang universal. 

Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkretkan cita-cita keadilan sosial, tapi tetap saja terjadi kerancuan dalam pelaksanaannya. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek yang dilakukan Filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang merepresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran impelentasi historis.

Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak, antara kelompok yang kaya dan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam. 

Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil pandangan Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia. Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi bagi kesejahteraan sosial secara luas.

Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Banglades yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate juga telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer di tengah kegalauan pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang masuknya modal asing. Model wakaf tunai juga bisa mengalahkan kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI, Mustafa E. Nasution (2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat semisal Dr. Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (1998). 

Wakaf Tunai sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial. Sehingga, tidak berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin). Sebagaimana, gugatan Chapra dalam berbagai tulisannya. 

Berdasarkan laporan yang ditulis Maurice Allais peraih Nobel tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang yang beredar di dunia per hari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%) saja yang digunakan untuk keperluan transaksi. Sisanya, untuk keperluan spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan adalah bila terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan sektor riil. 

Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir. Salah satunya, dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha.

Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik. Ibarat memberi kail, bukan hanya ikan kepada rakyat. Hal itu diharapkan mampu menumbuhkan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya oprasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif ataupun tanpa wasiatnya. 

Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah muncul dan menjelma secara nyata dalam produk-produk funding lembaga keuangan syariah dan Lembaga Amil zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet Dhua’fa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Muamalat - BMI. 

Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel, Belgia pada tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik “Melebarnya Jurang antara Kaya dan Miskin”. Pada konferensi itu Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa lebih separuh dari 630 juta penduduk di negara miskin hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi pertumbuhan global serta adanya bantuan pembangunan, namun jumlah negara yang digolongkan PBB sebagai negara ‘paling terbelakang’ malah meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara tahun 2001. Yang dimaksud sebagai negara “paling terbelakang” adalah negara yang angka pendapatan perkapitanya kurang dari US$ 900 per tahun.

Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua ciri-ciri negara miskin. Antara lain, pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah, kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai. Karena itu, untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model Wakaf Tunai sangat tepat untuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Sehingga, terjadi arus lancar penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat. Sebagaimana, disebutkan Alquran terhadap pantangan konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya’) pada segelintir anggota masyarakat serta resistensi terhadap status idle (nganggur) bagi segenap sumber daya dan asset yang bertentangan dengan kosep syukur. (Lihat, QS.Al-Hasyr:7).

Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan Wakaf Tunai akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Di mana, zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping itu, juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen Agama sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administrasi wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Th 1977 agar lebih akomodatif dan ekstensif.

Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang telah ada tersebut, tentunya sangat mendesak dan krusial dibutuhkan suatu pendekatan baru dan inovatif sebagai pendamping mobilisasi dana umat lebih optimal. Bukankah Nabi saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam harta kita. 

Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara Bangladesh. Melalui Social Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam Instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis.

Penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial (M.A.Mannan, 1999). Efek kemaslahatan SWT sudah mulai terasa di Bangladesh. Memang, negara ini tergolong miskin. Tapi, fasilitas pendidikan dan kesehatannya jauh lebih baik dari Indonesia.
Selama ini, sumber dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari :

1. Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. 

3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, dll. 

4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Selain itu, ada dana yang disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. 

Masyarakat Islam juga mengkenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau bangunan yang digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekitar tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001).Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini, timbul ide untuk mencari alternatif sumber pendanaan yang lebih bersifat non formal. Yaitu, dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Partisipasi aktif segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kelebihan rezeki sangat diharapkan memperbaiki keadaan sekarang ini.

Berbagai pihak yang sangat peduli dengan situasi ini berusaha menggalang dana dengan berbagai cara, seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Maal Muamalat, Dompet Sosial Ummul Qura, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Amal Pikiran Rakyat, dll.

Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa potensi dana masyarakat sangat besar. Berbagai badan amal tersebut, selain mempunyai kelebihan masing-masing, juga mempunyai banyak kelemahannya, seperti;

1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis dan kurang terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan akreditasi nasional untuk lembaga penghimpun dana sosial.

2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan, antara badan amal yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan ketidakmerataan bantuan tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan.

3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat di sekitar properti itu saja yang dapat menikmati dan kurang menyebar.

4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan kemampuan masyarakat/sumber daya manusia. Sehingga kalau hanya ikan yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap kemiskinan ini akan dapat dientaskan di bumi Indonesia.

5. Bantuan dari badan sosial di atas kebanyakan efektif untuk membantu dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram untuk jangka panjang (long term).

Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam, ada yang dikenal dengan Wakaf. Penyaluran Wakaf ini sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. Wakaf menurut PP no. 28 Th 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. 

Pemberi bantuan Wakaf yang disebut Wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Biasanya wakaf ini berupa properti seperti mesjid, tanah, bangunan sekolah, pondok pesantren, dll. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat saat ini juga berupa dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Berdasarkan prinsip Wakaf tersebut, dibuatlah inovasi produk Wakaf yaitu Wakaf Tunai. Yaitu, Wakaf tidak hanya berupa properti tapi dengan dana (uang) secara tunai. Sebenarnya, ide dasar yang dirumuskan oleh Prof. DR. M.A.Abdul Mannan dan telah diterapkan melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ini telah lama dilakukan di Indonesia. Beberapa organisasi dan lembaga sosial keislaman sudah menerapkannya dalam ukuran tradisional. Seperti, pembelian wakaf per meter untuk pembebasan sebidang tanah guna pendirian maupun pengembangan lembaga sosial maupun pendidikan dengan menerima bukti (tanda) pembelian tertentu. Namun, wakaf yang ada lebih bersifat konsumtif sosial (voluntary sector) dan belum berkembang menjadi produktif komersial yang hasilnya untuk mustahiq.

Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh diam. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang, semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Dana yang dapat digalang melalui Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai Nadzir (pengelola dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola harta wakaf. 

Persoalannya sekarang, bagaimana model dan mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat aplicable dan visible diterapkan di Indonesia. Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan kelompok terhadap status hukum wakaf tunai seperti kalangan madzhab Syafi’i yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning untuk mengontrol dan menghindari resiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management. Meskipun, dananya diputar dalam investasi sektor riil, di samping alternatif menggunakan cara konvensional asuransi dan penjaminan syariah.

Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat sangat diharapkan melalui impelemntasi Sertifikat Wakaf Tunai yang menyejahterakan masyarakat secara terkoordinatif, sinergis, sitematis dan professional. Di samping itu, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya. Bukankah Allah selalu menjanjikan keberkahan dan kemaslahatan dalam sistem sedekah pengganti sistem ribawi yang eksploitatif dan memonopoli modal. Bukankah Allah juga menjanjikan keberkahan, kemitraan, dan kebersamaan. Marilah kita gagas dan wujudkan bersama.

Jumat, 14 Januari 2011

Kebahagian Tidak Ditunggu, Tapi Dicari

Apakah di antara kalian sedang menunggu? Menunggu apa saja yang membuatmu senang. Menunggu yang menurut sebagian kalian mungkin akan dibayar dengan harga yang pantas diakhir perjalanan panjang penantian kita. Berbahagialah kepada kalian jika menemui saat-saat yang indah dipenghujung waktu. Rayakan dan pantaskanlah diri kalian untuk menerima semua itu. Karena itu buah kerja keras fikir dan hatimu untuk ikhlas menerima bentuk-bentuk ketidakbahagiaan selama proses pencarian kebagiaanmu.

Jika kamu merasa gundah ditengah penantian itu, pernahkah kamu menyalahkan niatmu untuk tetap menunggu dan berharap? Pernahkah kamu merasa Tuhan tidak bersamamu, walau semua daya dan karsamu telah kamu lakukan dan berikan? Pasti diantara kita pernah, dan rasanya sungguh tentu tidak menyenangkan. Kita merasa terkungkung dengan ketidakpastian, perasaan marah, bahkan kecewa dan menyesal telah mengorbankan sesuatu hal yang belum tentu menjadi milik kita.

Kita terlalu sibuk menunggu dengan menjadikan diri kita sempurna di matanya. Kita terlalu mengorbankan hal-hal yang tidak perlu kita korbankan untuk sesuatu yang ternyata belum tentu baik dan sempurna bagi diri kita. Kita terjebak kepada anekdot kehidupan dimana segala hal yang terbaik dimata kita belum tentu baik dimata Tuhannya. Begitu pun sebaliknya.

Menunggu bagi sebagian orang adalah pertarungan ego dan prinsip, bentuk eksistensi diri dan tentunya ketidakberdayaan kita. Kita berlindung kepada apa yang orang katakan takdir dan waktu yang tepa untuk menemukan kebahagiaan.Namun, tidak jarang kesempurnaan yang dinanti oleh sebagian diri kita justru menjadi ketidaksempurnaan yang kita dapat. Sampai menanti itu menurutmu membosankan dan tidak mengenakkan, selama itu pula kamu merasa menunggu adalah bentuk kepercayaan diri,eksistensi diri, dan kepasrahan kepada Sang Pencipta. Menanti erat dikaitkan dengan bentuk penghambaan umat kepada Tuhannya agar mendapatkan kebahagiaan dan pemberiaan Illahi pada waktu dan akhir yang indah.

Namun, pernahkah kamu merasa tidak semua menunggu itu menyenangkan? Jika kamu ingin bahagia, kamu harus menanamkan penyederhaan berpikir dan perasa (hatimu), bahwa kebahagian itu tidak untuk ditunggu, tapi dicari. Kamu tidak akan mengorbankan waktu dua tahun untuk menunggu jika dalam sehari kamu dapat mencari dan menemukan kebahagiaanmu. Kamu tidak akan menunggu kesempurnaan pemberian Tuhan jika mulai saat ini kamu mensyukuri segala apa yang kamu miliki sebagai bentuk kesempurnaan dirimu di mata Tuhan.

Teruslah mencari kebahagiaanmu sampai diujung jalanmu. Sampai kamu menemui rahasia di balik rahasia. Karena kebahagiaan yang sempurna, ketika rahasia itu dapat kamu temukan ketika berakhir pencariaanmu. Akhirnya...ternyata kebahagiaan itu tidak selamanya harus ditunggu. Ada kalanya kamu bergegas dan meninggalkan ketidakpastian untuk mencari kebahagiaan sejatimu dalam realita (bukan bertempat dipikiran dan anganmu semata). Selamat mencari kebahagiaan sahabatku...!

Jumat, 07 Januari 2011

Peluang dan Tantangan Perbankan Syariah Tahun 2011

Penguatan peran perbankan syariah selama kurun waktu lima tahun terakhir cukup menggembirakan. Selain bertambahnya kuantitas dan jangkauan layanan perbankan syariah, data pertumbuhan aset rata-rata di atas 33 persen per tahun yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) menjadi indikasi kestabilan perbankan syariah Indonesia. Bertambahnya penghimpunan dana capital inflow pihak ketiga dari petro dollar timur tengah dan penguatan minat masyarakat domestik akan mengungkit pertumbuhan perbankan syariah kita ditengah ekspansi perbankan syariah dan konvensional negara lain.

Pembiayaan Produksi vs Konsumsi

Pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2011 hasil studi Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB) dan International Labour Organization (ILO) berada pada kisaran angka 7-8 persen (inflasi 4-6 persen, BI) yang dipicu oleh pertumbuhan kredit. Optimisme ini juga tercermin dari proyeksi pembiayaan perbankan syariah pada 2011 oleh BI yang akan tumbuh sekitar 30-35 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini tentu menjadi modal bagus untuk perbankan syariah dalam melakukan ekspansi usaha ke industri produktif. Segmentasi seperti ritel, jasa dan perdagangan di sektor usaha kecil dan menengah harus menjadi prioritas untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin yang mencapai 13,3 persen (31,02 juta jiwa, BPS). Penguatan ekspansi pembiayaan sektor industri harus dilakukan karena 27 persen Produk Domestik Bruto (PDB) kita ditopang oleh sektor industri dibandingkan sektor konsumsi yang hanya menopang 6 persen PDB. Multiplier effect pertumbuhan sektor industri (kecil dan menengah) diharapkan menciptakan daya beli masyarakat dan diversifikasi inovasi sektor rill. Menggeliatnya industri kecil menengah diharapkan akan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang selama ini masih ditopang oleh barang impor. Ekspansi pembiayaan perbankan syariah juga harus menyasar kebutuhan kredit sektor usaha turunan dari industri kecil menengah yang berpotensi menciptakan 3,5 juta lapangan kerja. Demi menjaga lekuiditas dana pihak ketiga, agresifitas pembiayaan investasi pemerintah dan swasta seperti infrastruktur, properti, manufaktur, agribisnis, dan transportasi harus ditingkatkan selain juga investasi di portofolio SBSN syariah. Di sektor konsumsi, tren bisnis waralaba (franchise) yang terus menggeliat di masyarakat dewasa ini juga menjadi prospek pembiayaan dan penghimpunan dana yang menjanjikan bagi perbankan syariah agar pembiayaan kredit konsumsi dan produksi tetap proporsional.

Regulasi dan Otonomi Kelembagaan

Keluh kesah pelaku usaha terhadap regulasi investasi dan penyelenggaraan perbankan syariah mengindikasikan hambatan berinvestasi masih ada. Ini menjadi tugas berat pemangku kebijakan untuk menciptakan iklim investasi syariah yang kondusif, akuntabel dan mudah. Oleh karena itu, masalah seperti aturan pajak yang belum menjadi insentif bagi investor, kejelasan hukum operasionalisasi perbankan syariah, dan instrumen keuangan syariah menjadi agenda yang harus dituntaskan. Diperlukan sinergitas dari institusi terkait seperti BI, Bappepam LK, BEI, Kemenkeu, DPR, dan Dewan Syariah Nasional dalam menyusun landasan perundangan dan inovasi produk syariah. Perbaikan regulasi ini juga harus didukung oleh otonomi pengelolaan managemen dari bank induknya ketika melakukan konversi bank syariah. Percepatan regulasi dari bank induk harus dilakukan untuk memaksimalkan peran dan posisi tawar perbankan syariah bagi pelaku usaha. Otonomi managemen ini juga meliputi pengelolaan dana haji oleh perbankan syariah yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Agama. Konversi dana haji dari portofolio ke bentuk pembiayaan kredit kepada sektor rill diharapkan akan mengembalikan fungsi Kementerian Agama sebagaimana mestinya. Harmonisasi regulasi dan penguatan peran perbankan syariah melalui otonomi pengelolaan managemen diperlukan untuk meningkatkan perbaikan sistem pengawasan, pengembangan SDM, peningkatan kapasitas dan kualitas layanan, ekspansi dan kesetaraan layanan dengan bank konvensional, penguatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Titik Tolak Tahun 2011

Keseimbangan lekuiditas penarikan dana pihak ketiga kepada sektor pembiayaan perbankan syariah saat ini jauh lebih baik dari bank konvensional (90 persen, BI). Hal ini akan menjadi modal dasar penguatan peran perbankan syariah pada tahun 2011. Kejelian perbankan syariah dalam melihat kebutuhan capital dan pengaturan margin comprehensive empowerment akan menentukan kemenangan persaingan usaha dan disaat menguatnya integrasi pasar bebas regional. Perubahan paradigma pembiayaan perbankan syariah dari sektor konsumsi ke produksi juga sangat penting untuk memaksimalkan dana pihak ketiga. Berita akan masuknya Qatar Islamic Bank ke Indonesia menjadi indikasi positif bahwa potensi pasar domestik perbankan syariah kita sebenarnya menjanjikan. Oleh karena itu, perbaikan regulasi dan payung hukum, management liability asset, dan insentif pajak harus dilakukan. Kita cukup optimis karena tiga hal ini sudah dapat diselesaikan oleh pemerintah pada akhir tahun 2010 walau masih diperlukan penyempurnaan. Hal lain yang juga akan mempengaruhi perkembangan perbankan syariah kita adalah keberhasilannya dalam mencapai standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional. Dalam arsitektur pengembangan perbankan syariah BI, tahun 2011 adalah fase memfokuskan peningkatan aktivitas kualitas layanan dan operasional. Seberapa jauh inovasi produk dan pengembangan strategi bisnis, infrastruktur, penyediaan layanan, kualitas dan kuantitas SDM akan sangat menentukan arah dan perkembangan entitas bisnis syariah. Hal-hal inilah yang akan menopang industri perbankan syariah Indonesia di tahun 2011, sekaligus menguatkan kelembagaan perbankan syariah sebagai rahmatan lil’alamin bagi masyarakat luas.