Senin, 13 Desember 2010

Mengakali Mahalnya Ongkos Pemilukada

Demokrasi oleh sebagian besar kalangan diyakini menjadi sarana paling komprehensif dalam membangun peradaban bangsa. Demokrasi pun kini tidak lagi berada dalam ruang yang hampa dan menyajikan utopia dogmatis semata. Melalui demokrasi, sebuah bangsa dapat menggantungkan peradaban dan kesejahteraannya. Lewat semangat otonomi daerah, Pemilukada di Indonesia direpresentasikan sebagai wujud penguatan demokrasi di tingkat daerah. Pemilukada diharapkan menjadi sarana, bukan hanya tujuan dari perjalanan demokrasi bangsa ini. Melalui pemilihan langsung ini, rakyat mengharapkan muncul pemimpin yang jujur dan bersih untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan daerah.

Untung-Buntung Pemilukada

Pemilukada adalah pilar demokrasi. Keberadaannya dimaknai sebagai artikulasi kemenangan rakyat sekaligus pengejawantahan pranata politik lokal. Pemilukada didesain untuk menjembatani kehausan rakyat dalam mencari pemimpin yang kredibel dan akuntabel. Atas nama demokrasi, Pemilukada ditasbihkan sebagai mekanisme paling demokratis dalam menjaring pemimpin lokal. Realitanya, konsekuensi logis Pemilukada dalam praktiknya menjadi sangat mahal. Resistensi yang ditimbulkan pun sangat besar. Selain menimbulkan praktik rent seeking dan korupsi, proses Pemilukada juga memunculkan elite lokal yang miskin pengalaman dan integritas. Cepatnya calon elite memasuki dan memainkan peran elite tanpa bekal pengalaman yang cukup justru memperburuk wajah demokrasi di tingkat lokal. Sebabnya, orientasi elitis ini tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi individu dan kelompok. Prasojo melihat elite instan ini sebagai parasit demokrasi. Gejala ini tentu saja cermin kegagalan peran partai politik dalam melakukan fungsi kaderisasi, segregasi, agregasi, dan artikulasi politik kepada masyarakat.

Ada satu analogi menarik yang memandang fenomena Pemilukada di Indonesia sebagai proses investasi politik. Dalam proses investasi Pemilukada, ada pembeli (pemilih), investor (calon bupati/walikota/gubernur/elite lokal dan nasional), dan regulator (pemerintah/civil society/parpol). Ketimpangan peran ketiganya membentuk “demokrasi transaksional”. Siapa mendapat apa, dan bentuk transaksi politik uang menjadi orientasi utama untuk memenangkan sekaligus memelihara kemenangan itu sampai akhir masa jabatan. Celakanya, jika proses investasi ekonomi memiliki aturan yang jelas dan dapat diukur, investasi politik di Indonesia tidak dapat diukur karena segalanya dilakukan dengan budaya transaksional dan biaya tinggi. Kekuatan dana (uang), suara pemilih, relasi dengan elite lokal dan nasional, serta patronase dalam bentuk kekerabatan keluarga dan birokrasi menjadi komoditas untuk menentukan posisi tawar dalam memenangkan Pemilukada.

Begitu mahalnya proses berdemokrasi di Indonesia memang tidak dapat dinafikkan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sebuah diskusi disalah satu stasiun televisi nasional memberikan gambaran, bakal calon (balon) bupati atau walikota yang ingin maju dalam pemilihan harus menyiapkan dana berkisar 10-20 miliar untuk ikut bertarung dalam Pemilukada di level kabupaten/kota. Hitungan kasar ini berlaku juga untuk pemilihan gubernur di level propinsi, dimana ongkos yang dikeluarkan akan jauh lebih besar (kurang lebih 70-100 miliar) karena cakupan area pemilihannya jauh lebih luas. Ongkos ini tergerus untuk pendanaan kampanye seperti spanduk, biaya iklan di media massa, membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan yang paling penting membayar kendaraan politik kepada partai penyokong.

Belum lagi permintaan proposal dana dari organisasi kemasyarakatan dan bentuk kegiatan lain yang semakin membebani kantong balon. Kalkulasi besaran biaya ini tentu saja juga dipengaruhi letak dan strategisnya daerah pemilihan Pemilukada. Ranah Jawa dan non Jawa tentu memiliki estimasi perhitungan berbeda dengan memperhatikan faktor teknis dan non teknis. Maka tidak jarang banyak para bupati/walikota/gubernur yang dipenjara karena kedapatan korupsi. Mahalnya ongkos Pemilukada membawa konsekuensi bagi balon terpilih untuk mencari pengganti uang yang telah dikeluarkan. Kebanyakan mengakalinya melalui tender proyek dan perencanaan pos anggaran tidak penting. Tidak sedikit pemimpin daerah memanfaatkan birokrasi sebagai mesin uang sekaligus media dalam menciptakan sekaligus melanggengkan kartel politik di tingkat lokal. Pemimpin daerahnya pun tak ubahnya sebagai raja-raja kecil di daerah kekuasaanya.

Solusi Alternatif

Demokrasi memang mahal. Seperi ucapan Plato, demokrasi menimbulkan anarki dan tirani jika kita tidak dapat mengatasi serangan kepada “kebebasan” demokrasi itu sendiri. Pemilukada yang karut marut dewasa ini tidak lain bentuk implikasi sistem pemilihan kita yang berorientasi kepada kebebasan atas nama demokrasi. PP No 6 Tahun 2005, Undang-undang No 32 Tahun 2004, dan peraturan turunan tentang Pemilukada kini dinilai tidak lagi responsif dan solutif sebagai border dan guidance dalam berdemokrasi di tingkat lokal. Berbagai peraturan Pemilukada ditengarai juga tidak mengakomodasi unsur lokalitas dalam praktiknya. Akibatnya, muncul desakan untuk merevisi dan merubah aturan main ini agar penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia tidak berbiaya tinggi.

Pertama, pengelolaan dana Pemilukada harus dibatasi melalui kejelasan batasan maksimal biaya yang harus dikeluarkan oleh balon. Selain meminimalisir hegemoni balon yang memiliki finansial tanpa batas, alternatif pendanaan Pemilukada melalui APBN juga menjadi wacana yang patut diambil. Pembatasan dana kampanye juga akan membuka katub partisipasi balon dengan dana terbatas. Kedua, metode kampanye juga harus diubah, dari yang sifatnya pengerahan massa menjadi bentuk dialog dan menggali visi dan misi balon. Sesatnya pemilih dalam mencari balon terbaik dikarenakan desain kampanye Pemilukada tidak membuka ruang dialog dan transfer informasi dua arah. Ketiga, Menggabungkan Pemilukada secara serentak. Pemilihan legislatif dan DPD di tingkat pusat dan daerah dapat dilakukan secara nasional. Khusus untuk pemilihan gubernur, jika memang fungsinya sebagai kepanjangan pemerintah pusat, pemilihannya dapat dilakukan secara tidak langsung (ditunjuk presiden atau melalui DPRD Provinsi). Terakhir, Reorientasi peran dan fungsi partai politik harus dilakukan. Partai politik harus melaksanakan proses rekrutmen calon kader yang akan diusung dalam Pemilukada secara transparan. Utamanya, kader terbaik yang punya visi dan integritas tinggi yang harus dikedepankan sebagai “gacoan” untuk bertarung dalam proses pemilihan. Partai politik juga harus mendesain sistem pre-eliminary internal dalam mencari balon yang berkualitas.

Sudah saatnya Pemilukada difungsikan sebagai sarana local voice dan local choice. Koherensi Pemilukada dan fungsi otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat harus diselaraskan. Mahalnya Pemilukada dan bentuk resistensi negatif yang timbul tidak hanya mencederai proses pencarian jati diri bangsa ini kepada demokrasi. Lebih dari itu, mahalnya ongkos Pemilukada akan menghambat pembangunan peradaban bangsa dalam jangka panjang, sekaligus cermin kegagalan elite kebijakan yang memaknai demokrasi sebagai tujuan, bukan sarana.