Sabtu, 30 Oktober 2010

Ketika Bencana Datang Di Negeri Para Bedebah

“Kata orang tanah kita tanah surga...Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” (Koesplus)

Sitiran lagu di atas barangkali anonim kesempurnaan rahmat Tuhan bagi negeri ini. Kita, sebagai bangsa yang besar, dianugrahi begitu banyak keuntungan dan bekal oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tanah subur, iklm yang sempurna, kekayaan laut yang luas, serta keramahan dan senyum Indonesia, adalah wajah Indonesia di hamparan sejarah dan peradaban dunia.

Indonesa pun dikenal sebagai negeri cincin gunung api dunia. Sepanjang barat sampai timur, gugusan gunung api membentang sebagai benteng pertahanan alam. “Zambrut katulistiwa” menyemat anggun sebagai alias nama Indonesia. Kekayaan dan tanah nan subur dari abu vulkanik gunung api, menghidupi masyarakatnya untuk beranak pinak sepanjang beradaban negeri ini dibentuk. Tuhan pun murka ketika amanat-Nya dikhianati. Keteledoran dan kebrutalan kita kepada alam, terlukis dari banyaknya bencana yang datang silih berganti. Inilah ironi, sekaligus keprihatinan yang mendalam bagi perjalanan negeri khatulistiwa.

Sekali lagi, negeri ini kembali dilanda lara. Bencana kembali menghujam kala bala yang lain belum jua kering. Gempa bumi, gelombang tsunami di Mentawai, meletusnya gunung Merapi, banjir bandang di Wasior, dan beberapa peningkatan aktivitas gunung api di penjuru negeri, menjadi isyarat bahwa bencana yang lain hanya tinggal menunggu waktu. Apakah ini bertanda kemarahan alam? Atau isyarat dari Tuhan kepada bangsa ini yang telah melupakan norma berperilaku dengan alam? Entahlah….Negeri ini tampaknya terlalu sibuk dengan jual beli kepentingan, sampai kepentingan rakyat dijual atas nama kepentingan pribadi. Tengoklah, pertanggungjawaban lumpuhnya ibukota Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta hanya dilakukan dengan tersenyum. Senyum simpul yang tentunya membawa sejuta makna. Makna yang sampai kini, kita sebagai rakyat Jakarta yang menitipkan amanah di pundaknya tidak mengerti maksud senyumnya.

Negeri ini telah melupakan sejarah dan masa lalu. Masa kini, dirajut dengan berkaca kepada masa depan. Alam selalu dipojokkan dan menjadi biang keladi paling mudah oleh pemangku kebijakan di negeri ini. Masa lalu dianggap sebagai cerita lalu yang ditutup tanpa perlu kita buka dan pelajari. Wahai para pemimpin…jangan salahkan jika alam menegurmu dengan bala dan duka. Jangan meminta Tuhan menghentikan murkanya, saat kita tidak dapat belajar dari alam dan masa lalu.

Yang pasti, negeri ini bebal untuk belajar menghadapi alam. Negeri ini terlalu angkuh dan sombong menghadapi kemarahan alam. Negeri ini pun kelewat percaya diri ketika bencana datang silih berganti. Yang jelas, segelintir orang di negeri ini bebal dan rakus dengan kekuasaan politik ketika rakyat di luar sana sibuk mencari perlindungan. Bangsa ini tidak mau belajar dari alam. Tengoklah, betapa kerdil dan rakus segelintir orang yang mencuri teknologi system peringatan dini di lepas pantai sebagai tanda tsunami datang. Tengoklah hutan belantara kini jadi belantara gedung pencakat langit. Kerakusan telah mengorbankan etika dan ramah tamah kita kepada alam. Tuhan pun murka saat kepentingan umum dijual atas nama kepentingan pribadi.

Ya…negeri ini telah hilang kepribadian. Lebih dari pada itu, negeri ini tidak malu dengan kerakusan yang membumbung tinggi bak setinggi awan panas lereng Merapi. Pemimpin kita lebih sibuk dengan pencitraannya, dibandingkan dengan tugas utamanya sebagai pengabdi rakyat.

Ironis…kemudian miris. Air mata telah berubah menjadi lumpur pekat yang tak kunjung padam. Kesedihan telah berubah menjadi gemuruh teriakan minta tolong di sela gelombang air dan dentum kawah gunung. Tengoklah! Alam telah murka kepada kita saudaraku…jangan lagi kita kotori dengan perbuatan yang hina. Saatnya kita berbagi untuk negeri….Kata orang negeri ini negeri dongeng, apa yang kau lempar, itu yang kau tanam. Tunjukkan bahwa kita dapat melempar dengan hal yang bermanfaat untuk menyemai yang bermartabat.

Pintaku, sudahi tangismu dengan senyummu. Pintaku, ketika kau sedih, kamu tidak merasa dirimu sendiri karena dukamu adalah duka negerimu. Negeri ini harus bangkit menjadi negeri yang pandai berempati dan simpati. Pintaku, negeri ini akan belajar memperlakukan alam dengan lebih bermartabat. Pintaku, kasih Tuhan dan cinta kasih selalu menerangi bangsa ini menjadi lebih baik. Pintaku, pinta dari kaum papa dan teraniaya, akan selalu menjadi doa terbaik bagi negeri ini untuk meraih cita-cita luhur. Semoga.