Selasa, 20 Juli 2010

Kebahagiaan dan Kesedihan dalam Proses Memilih

Pernahkah kalian berada dipersimpangan jalan? memikirkan banyak spekulasi yang tidak pasti? takut dalam membuat keputusan karena konsekuensi yang dihasilkan?

Diantara kita mungkin pernah ya,, termasuk saya. Dan rasanya sungguh tidak enak. Dalam bekerja, belajar, berkeluarga, atau dalam menjalani hidup seorang diri pun seringkali menemui sebuah dilema dan perasaan pelik.

Ketakutan manusia dalam menentukan sebuah pilihan secara kodrati memang dimaklumi. Dengan segala keterbatasannnya, manusia dilahirkan dengan membawa sikap yang apatis dan cenderung stagnan ketika kondisi yang dirasakannya sudah memenuhi ekspektasi diri kita (walau tidak semua orang seperti itu).

Kebanyakan memang demikian. Namun, ketika kita sedang dipersimpangan jalan, apakah kita masih harus memakai lcara berpikir seperti itu walau secara lahiriah manusia memang memiliki sifat itu? jawabannya tentu tidak...! Bisa ya bisa tidak...atau Ya? Semuanya terserah kepada kalian.

Hidup memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap kita menemui hal-hal baru dalam kehidupan kita adalah sebuah proses dari memilih dari berbagai pilihan. Sederhananya, apa yang kita jalani dan syukuri sampai dengan saat ini adalah bagian dari pilihan yang kita ambil secara sadar atau tidak sadar.

Seiring bergulirnya waktu, kualitas pilihan kita harusnya juga semakin baik dan mampu memberikan kebaikan bagi diri kita. Kita tidak lagi terpatri dalam satu zona aman yang kalau kita melangkah terlalu jauh akan tersesat. Kita tidak boleh berpikir lagi kalau kita berada dalam situasi yang memuaskan, kita tidak perlu lagi untuk menaikkan kualitas hidup kita.

Dilema dan pelik adalah sikap resisten sesaat ketika kita memasuki fase memilih. Terlepas dari apa yang akan terjadi nanti, Tuhan telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa sebuah dilema dan perasaan pelik adalah anugrah Tuhan untuk mendewasakan manusia. Bahwa hidup itu adalah memilih dan dipilih. Hidup adalah mengejar atau dikejar. Hidup itu menaklukkan atau ditaklukkan. dan Hidup itu sendiri atau bersama. Semua tergantung dari pilihanmu.

Semoga kita selalu dapat menyikapi sebuah dilema dan pelik dengan kualitas yang baik. Baik dalam arti untuk semua orang, tidak hanya baik untuk diri kita sendiri. Itu namanya egois. Kita harus berangkat dengan sebuah pemikiran bahwa ketika kita ingin mendapatkan yang terbaik, kita juga harus siap dengan kemungkinan yang terburuk.

Pada akhirnya, sebuah keputusan di dalam hidup kita sejatinya tidak ada yang buruk, karena Tuhan kadang ingin kita melakukan sebuah kesalahan terlebih dahulu dalam proses memilih, sebelum kita mendapatkan kebahagiaan dari kesalahan kita. Pilihan yang benar itu tidak semuanya mendatangkan sebuah kebaikan dan kebahagiaan. Begitupun dengan pilihan yang salah itu tidak semuanya mendatangkan kesedihan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Sabtu, 17 Juli 2010

Menyempurnakan Sebuah Ibadah

Hari ini, banyak pelajaran hidup berharga yang dapat dipetik. Entah kenapa, secara tidak sengaja kaki ini begitu ringan untuk melangkah ke pesta pernikahan seorang sahabat. Hal yang sebenarnya sangat jarang saya lakukan ketika undangan datang ditujukan kepada saya. Bagi sebagian orang, pesta pernikahan mungkin sebuah hal yang biasa dan hanya sekedar formalitas untuk menunjukkan eksistensi dan kekerabatan kitna kepada teman, keluarga dekat, kerabat, atau rekan kerja. Namun, dibalik formalitas itu, ternyata banyak hal yang akan kita dapatkan dari perjamuan dua insan yang diberkati Tuhan untuk menjadi pasangan di dunia dan akhirat (semoga).

Perjamuan pernikahan memberikan pesan sekaligus teguran bagi kita (termasuk saya), bahwa manusia secara kodrati akan mengalami hal yang sama dengan orang yang kita beri ucapan “selamat menempuh hidup baru” dalam perjamuan pernikahan. Mereka berdua (mempelai pasangan) yang akan kembali mengingatkan kita tentang sebuah realita bahwa dalam satu fase tertentu, kita juga harus memutuskan untuk merancang, mengeksekusi, dan pada nantinya akan memetik hasil dari sebuah rencana pernikahan.

Kita berlakon sebagai aktor yang sebenarnya (tidak hanya sekedar sebagai penikmat dari proses persiapan yang begitu panjang). Kita akan bergulat dengan jadwal gedung tempat resepsi yang sudah penuh. Kita akan sibuk memilih makanan yang akan disajikan kepada para undangan tamu. Kita akan berkutat dengan desain undangan yang dapat mewakili dua individu yang bertolak belakang. Kita pun akan sibuk meyakinkan dan memastikan semua acara terselenggara dengan baik. Berdua, kita akan mengawali petualangan yang indah. Meski itu dimulai dari pelabuhan yang bernama “persiapan nikah”, buat sebagian orang, hal itu mungkin adalah awal yang indah sebelum kita mengarungi samudra rumah tangga nantinya. Dan saya termasuk orang yang mengamini argumentasi ini.

Lihatlah mereka! Dengan adanya perbedaan diantara mereka, keindahan justru dapat dihadirkan dalam ruang yang ramai. Lihatlah mereka! Dengan cinta, perbedaan itu kemudian menjadi sebuah komitmen untuk menerima segala konsekuensi pembeda dalam diri mereka berdua. Tuhan telah berjanji bahwa perbedaan itu akan tertutupi dengan niat yang tulus untuk beribadah hanya kepada Tuhan. Bukankah itu begitu indah, jika kita mampu memaknainya?

Sahabatku…singkirkan egomu untuk berhenti berpikir bahwa perbedaan budaya, status keluarga, harta kekayaan, cara kita berpikir, akan menghalangi niat sucimu untuk menghalalkan pendamping hidupmu. Singkirkan pula dalam benakmu, dua insan dengan karakter yang sama, cara berpikir yang sama, dan latar belakang yang sama, akan menjadikanmu menjadi pasangan yang hambar. Karena semuanya akan diuji oleh waktu dan keadaan.

Kita “sama” dan “beda” adalah dua hal sama. Sama dalam arti ingin mencari sebuah makna hidup yang sempurna bagi diri dan pasangan kita. Bukan berarti ketika kita berangkat dengan sifat yang “berbeda” kita akan mendapatkan akhir yang indah. Dan jangan pula kamu berpikir dengan sebuah “kesamaan”, nantinya kita akan menemui hal yang sama setiap hari dari pasangan kita. Kedewasaan kita akan tumbuh saat kita bertoleransi dengan pasangan kita. Saat kita dapat saling bertenggang rasa dan mampu melewati sebuah ujian besar. Bukankah itu menjadi hal yang paling indah?

Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Tuhan, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Tuhan dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Tuhan hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Tuhan dan untuk Tuhan. Begitupun sebaliknya, kadang kita harus berangkat dari sebuah perbedaan untuk mendapatkan sebuah kesamaan karena Tuhan memberikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda.

Apapun itu, betapa indahnya pertemuan dua dua insan yang saling mencintai dan merindukan Tuhan. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Tuhan, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani. Menyitir dari surat (Al Izzah: 18), sebagai seorang muslim, kalau kita berkualitas di sisi Allah SWT, pasti yang akan datang juga seseorang (jodoh untuk kita) yang berkualitas pula. Terlepas kita berangkat dari sebuah perbedaan atau kesamaan.

Pada akhirnya, kunjungan pesta pernikahan akan terasa lebih bermanfaat saat kita mampu mereorientasi sebuah pernikahan sebagai sebuah fase penyempurnan ibadah kita, dari pada sekedar ajang menikmati hidangan makanan yang disajikan. Dan jangan kamu khawatir kepada kalian yang belum memiliki pasangan akan sulit memasuki fase itu karena selama kita percaya dengan kuasa Tuhan, cepat atau lambat, keindahan itu akan datang tepat pada waktunya. Begitupun dengan kalian yang sedang berusaha meyakinkan orang yang selama ini menjadi obsesimu untuk memasuki fase itu. Yakinkan hatinya kalau kita layak untuk mendampingi mereka. Yakinkan dia, bahwa sebuah komitmen itu menerima konsekuensi dari segala kekurangan dari pasangan kita.

Tapi, kamu juga harus berpikir realistis bahwa apapun itu, jika kamu mengawalinya dengan keterpaksaan dan rasa kasihan, semuanya hanya akan berakhir dengan kesedihan. Jangan pula paksakan hatimu untuk semakin terbenam kepada ketidakpastian jika kamu merasa cukup untuk meyakinkan cintanya (yang belum pasti). Karena sebuah kepastian akan selalu hadir hanya akan hadir ketika Tuhan mengingatkan kita dengan cara-cara yang tidak kita duga. Menghadiri pesta pernikahan salah satunya.


Senin, 12 Juli 2010

Buah Tangan Dari Afrika Selatan

Pesta akbar piala dunia 2010 yang digelar di Afrika Selatan baru saja usai. Banyak kejutan yang telah terjadi dalam pesta empat tahunan ini. Secara umum, inilah kemenangan sepak bola menyerang. Kampanye yang didengungkan FIFA kepada semua peserta tim kontestan agar menampilkan permainan menyerang, dinilai cukup berhasil dengan tampilnya Belanda dan Spanyol sebagai negara terakhir di partai final. Dalam mencapai partai final, keduanya mengedepankan permainan menyerang. Walau sedikit pragmatis dalam bermain, Belanda masih menampilkan permainan menyerang dengan lebih sederhana serta mengedepankan bola-bola panjang yang akurat. Tim Matador juga tidak kalah mentereng dari sisi gaya bermain. Walau dari sisi produktivitas gol masih jauh dibanding Tim Kincir Angin, Spanyol memiliki gaya bermain dengan mengandalkan umpan-umpan pendek di lapangan tengah.

Piala dunia yang digelar untuk pertama kalinya di benua hitam Afrika telah memunculkan berbagai plot cerita. Dimulai dari gagalnya para bintang yang diprediksi akan bersinar sampai munculnya bakat-bakat bintang baru yang mulai mekar, sampai suara terompet yang mengganggu jalannya permainan. Permainan individualisme ala Brasil dan pertahanan berlapis ala Italia kali ini tidak mendapat tempat di piala dunia kali ini. Permainan kolektivitas dan kombinasi pemain tua dan muda muncul sebagai dogma baru permainan yang disuguhkan oleh para negara kontestan. Sejauh ini kolektifitas tim mampu meredam patron mapan yang dimiliki negara-negara dengan tradisi kuat dalam sepak bola seperti Italia, Brasil, Argentina, serta negara Afrika yang sangat mengandalkan fisik sebagai sebuah “value” dalam meraih kemenangan.

Di piala dunia kali ini, penonton juga disuguhi semangat militanisme permainan Uruguay yang sangat berkarakter Amerika Selatan sampai pergeseran paradigma chauvinisme di tubuh tim Panser Jerman. Sepak bola kini tak ubahnya sebagai pertarungan antar negara yang dikemas dengan apik. Gaya lama “total football” ala tim Belanda dan istilah “diesel yang terlambat panas” sebagai afiliasi tim Jerman selama tiga dasarwarsa ini mulai pudar. Jerman kini menjadi mesin diesel yang telah panas sejak awal. Sektarian yang selalu mengagungkan bangsa Arya di dalam darah dan tradisi masyarakat Jerman kini lambat laun juga mulai hilang saat bakat-bakat baru dilahirkan dari para imigran Jerman.

Tim Jerman kini tak ubahnya sebagai bangsa dengan multi etnis. Darah Polandia, Ghana, Turki, Brasil, bahkan darah Afrika kini mengalir dalam diri para pemain muda Jerman. Mereka menjadi tulang punggung utama tim serta menjadi rising start baru. Perubahan wajah tim Jerman kali ini notabene mengambil tongkat estafet dari Perancis saat tim Ayam Jantan berhasil menjadi juara dunia pada tahun 1998. Saat itu, momentum munculnya generasi emas para pemain muda perancis yang berasal dari multi etnis menjadi kunci keberhasilan tim Perancis merajai Eropa dan Dunia.

Walau ingin saling mengalahkan, pertarungan yang melibatkan ego chauvinisme, ketimpangan budaya, ekonomi, dan sosial, bahkan cerita sejarah dimasa lalu mampu ditampilkan dalam bentuk festival. Pertarungan antar bangsa kali ini dapat menghibur bangsa-bangsa lain yang hanya menjadi penonton. Sepakbola adalah dogma pertempuran tertua yang melibatkan dua kelompok dalam perjalanan sejarah manusia. Piala dunia kali ini juga menjadi reunifikasi para pemain yang sebelumnya bergabung dalam club yang sama, kini harus saling berhadapan dengan membawa panji-panji negara mereka masing-masing. Partai final antara Belanda dan Spanyol menjadi ajang nostalgia bagi beberapa pemain dari kedua tim yang pernah mencicipi liga Spanyol.

Piala dunia kali ini juga memunculkan budaya baru, yaitu mempercayai “klenik” sebagai bagian dari festival piala dunia kali ini. Tim Inggris di piala dunia Afrika Selatan kembali harus kembali ketibatn sial karena kiper mereka lagi-lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan kiper-kiper terdahulu mereka. “Blunder” para kiper Inggris oleh para pecinta sepakbola memang menjadi kutukan yang akan selalu menghalangi Inggris dalam meraih titel juara dunia selain sikap hiperealitas yang sangat kental di skuad tiga singa. Tumbangnya tim-tim dengan seragam warna biru di piala dunia kali ini juga menjadi pembahasan menarik jika sisi klenik sekali lagi menjadi justifikasi untuk kekalahan sebuah tim. Dan hipotesis ini sah-sah saja karena pada kenyataannya, tim-tim besar seperti Perancis, Brasil, Argentina menjadi contoh negara yang mengalami kekalahan saat mereka memakai seragam berwarna biru.

Yang tidak kalah heboh, tentu saja prediksi pertandingan piala dunia yang dilakukan oleh gurita bernama “Paul”. Gurita yang hidup di Jerman ini ikut memeriahkan piala dunia dengan prediksi-prediksi yang selalu menghiasi headline surat kabar dunia. Selama ini prediksi Paul cukup tepat dalam menebak pemenang pertandingan. Tidak heran jika para petaruh menjadikan si gurita Paul sebagai referensi kemenangan mereka.

Lalu, apa yang dapat kita petik dari perhelatan piala dunia kali ini? Apakah kita akan terus setia menjadi penonton dan terbuai dengan mimpi-mimpi andaikan skuad Garuda bermain di piala dunia. PSSI harus belajar dari tim Jerman. Dalam menyiapkan sebuah tim, pembinaan harus dilakukan dari jauh-jauh hari. Pematangan tim Under 23 tim Jerman telah menuai hasil di piala dunia kali ini. Roh permainan Jerman yang selama ini dikomandani serta sangat tergantung oleh sosok Ballack lambat laun mulai terkikis. Lihat juga bagaimana Uruguay telah bangkit dari tidur panjangnya selama empat puluh tahun mereka minim prestasi. Kebangkitan itu tidak lain dengan pembinaan dan penggabungan pemain muda dan tua. Kita juga melihat bagaimana sebenarnya dari empat tim semi finalis piala dunia kali ini, semua pelatihnya berasal dari dalam negeri. Ini bukti bahwa tim yang dilatih oleh orang lokal juga dapat berprestasi.

Demikian juga dengan PSSI. Tim yang hebat tidak hanya dapat disiapkan dengan mengirimkannya ke luar negeri selama tiga bulan. Kolektivitas muncul saat para pemain memiliki cukup waktu yang lama untuk bermain bersama. Lalu apa solusinya? Tentu saja dengan membuat model kompetisi yang berjenjang, bersifat jangka panjang, dijadwalkan dengan rapi, pemantauan bakat muda yang lebih intensif, mulai mempercayakan kemampuan putra bangsa untuk mengelola sebuah tim dari mulai pelatih sampai pengemasan kompetisi yang memiliki nilai jual yang tinggi. Satu lagi, jangan pernah bermimpi kita akan bermain dalam turnamen akbar sekelas piala dunia jika mindset pengurus PSSI masih berpikit instan seperti sekarang ini.