Rabu, 23 Juni 2010

Masih Pantaskah UU Pelayanan Publik Untuk Semua Orang?

Hari ini, tepatnya tanggal 23 Juni 2010, warga internasional, termasuk warga Indonesia memperingati hari pelayanan publik. Di berbagai negara, masalah pelayanan publik mungkin menjadi masalah pelik seperti di Indonesia. Pasca satu tahun implementasi UU Pelayanan Publik, banyak persoalan yang masih perlu perbaikan untuk menciptakan pelayanan publik bagi semua orang. Kelompok rentan atau orang yang memiliki keterbatasan secara lahiriah oleh negara saat ini mulai mendapatkan pelayanan khusus yang diatur dalam UU No. 25 Pelayanan Publik. tujuannya jelas, yaitu menciptakan aksesabilitas pelayanan kepada semua orang. Harapan dan realita pun muncul sebagai sebuah paradoks. Selain menemui banyak masalah, delivery services bagi kelompok rentan masih sangat minim dan bias definisi dari sisi implementasi.

Egosime definisi UU No. 25 tentang Pelayanan Publik

Sejatinya, pelayanan publik harus dinikmati oleh semua orang, termasuk kelompok rentan seperti penyandang cacat, Lansia, dsb. Dalam UU No 25 tentang Pelayanan Publik, pengertian kelompok rentan memang tidak dijabarkan secara lebih gamblang dan jelas. Di dalam UU tersebut, kelompokrentan hanya diafiliasikan dalam frase kata "kelompok tertentu". Artinya, di sini muncul ambiguitas pengertian karena kelompok tertentu bisa melebar maknanya, dan tidak terfragmentasi kepada pengertian kelompok yang memiliki keterbatasan secara lahiriah semata. Penjelasan mengenai akomodasi kelompok rentan dalam UU ini baru dijabarkan secaralebih rinci dalam penjelasan UU. Satu benang merah permasalahan yang muncul adalah ketika pemerintah membuat UU, definisi satu UU dengan UU yang lain mengalami perubahan walaupun secara substantif, UU mengatur permasalahan yang sama. Hal ini bukan hanya akan menimbulkan salah tafsir bagi yang menginterpretasikan, namun juga akan memberikan bias baru dalam menyamakan persepsi untuk memahami UU Pelayanan Publik. Kritik ini dilontarkan oleh mereka yang merasa bingung dengan definisi "kelompok rentan" dalam arti sesungguhnya.

Hambatan dan Kelemahan UU Pelayanan Publik

Semua sepakat munculnya UU No 25 tentang Pelayanan Publik di Indonesia memberikan regulasi baru sekaligus saluran formal dalam mengapresiasi pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat. Keberatan kita akan pelayanan publik yang kita dapatkan, saat ini dapat disalurkan melalui komisi Ombushment maupun pembentukan lembaga lain yang difungsikan sebagai sarana pengaduan. Kedua, Peran negara dalam UU Pelayanan Publik juga mulai teridentifikasi bukan hanya sebagai regulator semata, namun juga mengarah kepada fasilitator. Ketiga, mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan juga lebih terorganisir, serta jelas dan rapi. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika peran dan fungsi ini mulai berjalan secara semestinya. Negara sampai dengan saat ini belum jelas perannya dalam memberdayakan masyarakat ketika penyelenggaraan pelayanan publik ini berlangsung. Ketidakjelasan ini muncul semakin nyata ketika negara memainkan peran sebagai fasilitator. Pembagian peran negara dan masyarakat tampak tidak jelas, termasuk dalam menentukan siapa subjek dan siapa objeknya.

Dari kacamata pendekatan ideologis, ketika pemerintah menyelesaikan persoalan pelayanan publik, cenderungan yang ada hanya bersifat parsial dan terisolir kepada permasalahan determinan semata. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak jelas siapa yang bertanggung jawab secara penuh. Apakah semua tanggung jawab diserahkan kepada negara, atau memang diperlukan peran swasta untuk memikul tanggung jawab tersebut. Ketidakjelasan ini yang kemudian mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan karena dari sisi mekanisme, tanggung jawab ini belum diatur secara jelas.

Pendekatan variabel mestinya juga harus dilakukan dalam mengoptimalkan pelayanan publik melalui UU ini. Pendekatan variabel dapat diartikan bahwa ketika ingin memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, tanggung jawabnya jangan hanya dibebankan kepada Kementrian terkait saja (KemenPan dan RB) dan Kementrian Sosial sebagai leading sector ranah pelayanan publik yang utama selama ini. Ranah legislatif, eksekutif di tingkat nasional dan lokal juga harus menjadi bagian penting dari proses ini.

Masalah utama yang selama ini menghinggapi rendahnya kualitas pelayanan publik kita adalah perihal dana yang minim. bahkan, dalam konteks tertentu, sumber dana yang berbeda-beda dalam memberikan pelayanan publik juga menghambat efektifitas pelayanan itu sendiri. Seperti contoh, Kedutaan Indonesia di Malaysia dalam memberikan pelayanan pasport, imigrasi, dan ijin lainnya kepada TKI, idealnya menggunakan dana anggaran dari sumber yang sama juga. Kenyataannya, sumber dana yang selama ini ada berasal dari Deplu dan DepkumHam. Ketika salah satu sumber dana macet atau terlambat, pelayanan publik di kedutaan akan terhambat karena salah satu sistem dari keseluruhan sistem yang ada mengalami masalah.

Permasalahan lainnya adalah terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum dibuat. Standar minimal yang sangat amburadul dapat kita lihat dari pembagian tabung gas ketika diversifikasi minyak tanah ke gas dilakukan pemerintah. Kita tidak melihat penggantian tabung gas oleh masyarakat telah dibuatkan SPM yang jelas. Tidak heran jika banyaknya kasus kebakaran terjadi lebih banyak karena ledakan gas elpiji yang tidak sempurna pemasangannya.

Mengurai simpul Permasalahan Pelayanan Publik

Pendekatan persoalan pelayanan publik selama penyelenggaraan otonomi daerah berlangsung juga banyak mengalami kendala. penyelesaian masalah cenderung diselesaikan melalui sistem administrasi. Kadangkala, sistem administrasi ini tidak menjawab kebutuhan dan keinginan publik. KTP, KK, dan bentuk persyaratan administratif lainnya justru menjadi momok bagi kelompok rentan dalam mengakses pelayanan publik. Akibatnya, pelayanan publik lebih banyak berada dalam domain teknis administratif dari pada menjawab kebutuhan publik. Selama ini, gagalnya akses pelayanan publik oleh masyarakat karena lebih banyak terbentur kepada teknis administratif. Telah banyak kasus bagaimana orang miskin ditolak oleh rumah sakit pemerintah hanya karena teknis administratif yang kaku. Disinilah sebenarnya peran negara sebagai katalis penyelesaian masalah sekaligus watch dog dalam konteks walfare state. Bagaimana menciptakan mekanisme dan aturan main yang baik, tanpa menghilangkan sisi formalitas dan pertanggungjawaban institusi akan sangat menentukan berhasil tidaknya penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri.

Yang tidak kalah penting, negara sebagai aktor pembangunan harus mendesain semua pelayanan publik yang ada menjadi lebih accessible bagi semua penggunannya. Pembedaan penyelenggaraan pelayanan publik bagi kelompok rentan dengan masyarakat umum justru menjadi hambatan bagi keduanya untuk memaksimalkan pelayanan yang disediakan negara. Dari kacamata kelompok rentan, mereka tidak ada masalah ketika masyarakat umum menikmati pelayanan yang diperuntukan bagi kelompok rentan. Begitupun sebaliknya. Hanya, selama ini kelompok rentan sangat sulit untuk mengakses pelayanan publik yang notabene mereka dapatkan dari berlakunya UU Pelayanan Publik. Alasannya sangat klasik, yaitu para penyelenggara khususnya (swasta) tidak menyediakan pelayanan publik untuk mereka. Padahal akses pelayanan publik bagi kelompok rentan diatur dalam pasal 25 tentang pelayanan khusus.

Ada satu hal yang menarik ketika Made Adi Gunawan sebagai Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia bercerita mengenai penyerobotan pelayanan publik (dalam hal ini jalan khusus yang diperuntukan bagi tuna netra) di bekas gedung Pemda Jaksel di jalan Trunodjoyo. Papan reklame bergambar kursi roda terlihat dibengkokkan saat kita melewati jalan khusus bagi tuna netra. Selain menghalangi pandangan orang yang akan menggunakan jalan khusus ini, perbuatan membengkokkan petunjuk informasi ini sama sekali tidak terpuji. Yang lebih mengagetkan, ketika sampai diujung jalan khusus ini, area yang seharusnya dipakai untuk kelompok rentan (jika boleh meminjam dari bahasa UU Pelayanan Publik) disulap menjadi tempat parkir. Satu pesan yang ingin disampaikan penulis adalah, bahwa dalam lingkungan pemerintah saja ketidaktertiban akan ketersediaan sarana dan prasarana serta menempatkan fungsinya sebagaimana mestinya bagi kelompok rentan dapat terjadi, maka tidak mengherankan jika kita berpikir apatis ini dapat dilakukan di ranah korporasi. Ketidakpedulian kita kepada kelompok rentan memang sudah akut. Tuna netra di Indonesia saat ini dipaksa oleh sistem untuk menjadi "tukang pijat". Stereotep ini kemudian berimplikasi kepada pola pembinaan tuna netra oleh Depsos melalui Kelompok pengembangan kompetensi bagi tuna netra. Stereotep ini juga muncul tatkala secara tidak sadar kita telah membentuk opini bahwa Waria (kalau boleh dikategorikan sebagai kelompok rentan) diplot sebagai "tukang salon". Sisi humanisme bangsa kita lambat laun mulai menurun. Semangat UU Pelayanan Publik ini lebih banyak bermain sebagai dogma formalitas dan aturan baku semata. Disorientasi nilai yang kemudian memunculkan permasalahan determinan lainnya, termasuk mengurangi akses pelayanan publik kepada kelompok rentan.

Perbaikan yang mesti dilakukan

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan semangat UU pelayanan publik kita untuk menciptakan pelayanan yang baik wajar dan tanpa pilih kasih bagi penggunanya. Antara lain:

Relasi hubungan korporasi (swasta) dengan pemerintah harus diperkuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Peningkatan kerjasama ini dapat berupa komitmen oleh korporasi untuk membuat pelayanan publik bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan. Memang cukup sulit jika harus menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik bagi dua kelompok yang berbeda. Solusinya dapat dilakukan dengan mendesain semua pelayanan publik yang ada dapat diakses oleh semua orang.

Dari sisi tanggung jawab, komisi ombushment dan lembaga aduan lainnya tidak boleh lagi menjadi corong pengaduan yang hanya mengumpulkan kritik dan saran masyarakat semata. Sudah seharusnya lembaga-lembaga ini juga dibebankan tanggung jawab ketika proses penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Mekanisme ini yang harus dirumuskan oleh negara.

Lack information masyarakat perihal UU No 25 tentang Pelayanan Publik juga harus diminimalkan dengan sosialisasi dan internalisasi kepada masyarakat. Selama ini media informasi, baik cetak dan elektronik masih memainkan peran yang tidak signifikan dalam mengawal keberhasilan UU ini. Banyak pemerintah daerah yang tidak mengetahui adanya UU Pelayanan Publik yang sudah bergulir sejak satu tahun yang lalu.

Minggu, 13 Juni 2010

Hiperealitas dan Kesalahan Kita

Ada satu hal menarik yang ditulis oleh Andri Ananto dalam sebuah kolom suplemen Harian Seputar Indonesia edisi Sabtu, minggu kedua Juni 2010. Menyitir dari substansi pesan yang ingin disampaikan, sejatinya manusia kadang dihinggapi dengan sindrom hiperealitas. Kalau Andri menganalogikan hiperealitas dari perspektif olah raga (sepakbola), saya akan mengambil sudut pandang dari beberapa “curhat” teman dan fenomena disekitar lingkungan saya.

Ketika kita mendambakan sesuatu hal, atau membanggakan angan-angan yang kita yakini, kadangkala kita bersikap sangat fanatik, bahkan egois dan destruktif. Semua yang kita yakini, idolakan, dan kita banggakan, terlihat lebih baik dari apapun dan siapapun. Dalam konteks nasionalisme, kita diberikan fakta bagaimana Hitler mampu membentuk sikap chauvinisme bangsa Jerman saat itu sebagai bangsa yang paling unggul dibandingkan ras yang lain. Di Inggris, seorang bayi yang baru lahir sudah dibaptis dengan dogma agama bernama “sepakbola” sebuah identitas patrimonial dan simbol-simbol ikatan sosial. Kisah Romeo dan Juliet juga menginterpretasikan kalau perjalanan cinta itu juga kadang dihinggapi hiperealitas. Hanya ingin membuktikan bahwa cinta mereka abadi, racun pun menjadi jalan terakhir untuk membuktikan hal itu. Sebuah pakem doktrinasi realitas dan fantasi yang salah, namun dipuja banyak orang sebagai simbol kisah cinta sejati.

Seperti Romeo dan Juliet, dari perspektif diri kita sendiri (termasuk saya), fanatisme kadang juga muncul saat kita mengagumi dan mencintai seseorang atau barang yang kita miliki. Saat kita jatuh cinta, hiperealitas kadangkala begitu erat menghinggapi pikiran dan hati kita.
Dalam konteks keilmuan, hiperealitas memiliki dua sifat yang dominan. Pertama, lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita membedakan realitas dan fantasi. Kedua, hiperealitas identik dengan solusi diangan-angan, yaitu proses menjadikan sesuatu nonempiris menjadi fakta hingga sulit dibedakan.

Saat kita sedang mencintai seseorang, hiperealitas itu tampak jelas dalam diri kita, tanpa kita pernah sadari. Kita kadang sulit membedakan realitas dan fantasi dalam pikiran kita. Semuanya tampak indah. Semuanya terlihat akan berjalan seperti dengan apa yang kita inginkan. Semuanya tampak tidak akan mengecawakan kita. Semuanya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, kebencian dan kekecawaan yang begitu mendalam berkecamuk dalam diri kita ketika apa yang kita harapkan jauh dari apa yang kita temukan.

Teman, percayalah…mencintai dan membanggakan apa pun dalam hidup ini secara berlebihan ternyata hanya akan menjadi bencana untuk diri kita. Terlalu percaya diri akan membuat kita besar kepala dan meremehkan orang lain. Dalam setiap agama, berlaku secara berlebihan hanya akan membuat manusia kecewa begitu dalam saat apa yang kamu fantasikan, tidak seindah dengan realitasnya.

Fana dunia telah dilukiskan oleh Tuhan hanya akan membuat kita bersiap untuk kecewa. Kadang, kita bertingkah konyol untuk menunjukkan bahwa kita tidak salah dalam mempertahankan argumentasi kita dihadapan orang banyak. Mungkin, saat itulah sebenarnya kita sedang melakukan kesalahan. Suatu hal yang tidak kita sadari sebelum orang lain menyadarkan kita kalau kita sebenarnya telah salah. Atau, ada dari sebagian kita (termasuk saya), belum sadar bahwa apa yang kita lakukan sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan karena kita begitu bersikap hirerealitas. Kita terlalu larut dalam hal-hal yang bersifat imajinatif. Memang bersikap imajinatif itu sangat indah. Ia lahir dari sebuah keinginan semata. Ia bersifat spontan. Kadang, ia lahir dalam bentuk kepolosan kita. Sebuah situasi yang sangat indah, namun perlahan membunuh realitas kita.

Ada beberapa orang memaksakan fakta yang sudah dikonversi kembali menjadi sebuah fakta yang non empiris. Dia tidak dapat membedakan antar keduanya. Cinta memang indah, namun keindahan itu akan terasa lebih indah saat semuanya dilandasi dengan realitas. Kita tidak dapat mengubah apa yang telah digariskan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Kita hanya dapat menjaga semuanya berada pada tempat yang semestinya. Sesuatu yang berada pada tempat dan waktunya akan jauh lebih nyaman, dan tentu saja indah.

Teman, patut kita renungkan, kita tidak boleh terjebak terus dalam situasi hiperealitas. Perjalanan hidup sejatinya mampu menjadikan kita dewasa saat hari berganti hari. Setiap hal yang kita temui kemarin dan hari ini, adalah pembelajaran dan bekal untuk esok hari. Hiperealitas memang menjadikan kita pemenang dalam mimpi-mimpi kita. Sebatas itu, kita tidak akan pernah memenangkan sesuatu apapun ketika kita tidak dapat membedakan realitas dan fantasi.

Termasuk cinta, kadang ia tidak dapat didefinisikan dengan realitas dan akal. Mereka yang tidak menyukainya, menyebutnya tanggung jawab. Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan. Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian. Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir. Hiperealitas memiliki dimensi wacana yang sangat luas. Kadang kita terjebak pada luasnya dimensi itu hingga kita tidak dapat memutuskan yang terbaik untuk diri kita. Menunggu, memilih, kecewa, dan bahagia adalah segelintir ekspresi dari sebuah reposisi hiperealitas menjadi realitas yang seutuhnya. Namun, disitulah sebenarnya letak keindahan hidup ini. Warna hidup ini dipenuhi dengan tangis dan tawa. Cinta dan benci. Madu dan racun. Hitam dan putih. Tuhan memposisikan manusia dalam sebuah pilihan agar ia lebih bijak dan menggunakan akal budinya.

Pada akhirnya, Tuhan dalam segala hikmat-Nya meminta kita untuk menunggu karena alasan yang penting!!! Bukan karena kita tidak dapat memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat. Tapi..sesuatu yang telah berubah sebenarnya tidak berubah. Dalam diri kita, kadang kita merasa telah berubah dari diri kita yang kemarin. Padahal…sebenarnya kita belum berubah dan beranjak dari diri kita yang kemarin. Karena kita masih terjebak dalam hiperealitas kita…pada mimpi indah kita…

Jumat, 11 Juni 2010

Tanpa Awal, Tanpa Akhir

Dalam hidup, ada saat dimana kita ingin melepaskan semua beban kita. Saat dimana kita jengah dalam mengejar impian. Saat dimana kita mulai bertanya tentang apa yang sedang kita perjuangkan. Saat dimana kita tidak yakin akhir dari semua yang kita jalani. Teman…itulah putus asa. Butuh kedewasaan untuk menyikapinya. Perlu waktu untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Butuh tekad dan harapan bahwa apa yang kita impikan dan perjuangkan, akan selalu hidup dalam benak kita bahwa suatu hari akan menjadi sebuah kenyataan.

Tuhan memiliki berbagai cara untuk membahagiakan kita. Kadang, cara Tuhan bertentangan dengan keinginan kita. Tidak jarang, kita berseberangan dengan Tuhan dalam memandang suatu persoalan. Itulah Tuhan, Dia yang membolak balikkan hati manusia. Dia yang merubah air mata menjadi tawa. Dia yang menenggelamkan kita dalam larut kesedihan. Dia yang merubah asa jadi nyata. Dan Dia, memutuskan pasangan yang tepat untuk diri kita. Dia yang pada akhirnya mengatur jodoh kita.

Mungkin diantara kita merasa begitu egois dengan pasangan kita. Kadang kita memaksakan kehendak hingga kita tidak menyadari apa yang kita paksakan adalah sesuatu kesalahan terbesar diri kita kepada pasangan kita. Berbahagialah kepada kalian yang memiliki pasangan yang mampu mengerti satu sama lain. Jagalah pasangan kalian karena diluar sana begitu banyak orang yang merindukan pasangan untuk dirinya. Bersyukurlah kepada Tuhan karena kalian diberi kesempatan untuk bertemu dengan pasangan impianmu. Karena di luar sana, banyak orang yang sedang berjuang untuk cinta sejatinya tanpa dia tahu sebenarnya apa yang sedang ia perjuangkan.

Jika kalian menemui orang yang begitu mencintaimu dengan tulus, balaslah cintanya jika kamu memang melihat ketulusan itu. Jika kamu merasa dia bukan pilihan hatimu, katakan kamu tidak mencintainya dengan santun. Jika kamu ingin melihat ketulusan perjuangan orang yang mencintaimu, putuskan dengan waktu yang tepat. Jangan kamu menyakitinya dengan keputusan yang pelik. Sebuah keputusan dimana kamu hanya mementingkan dirimu sendiri. Sebuah keputusan yang nantinya hanya akan menyakiti orang yang mencintaimu nantinya. Jujurlah padanya, karena kejujuranmu, bukti kepedulianmu padanya. Pandanglah, bahwa cinta tidak serumit yang dibayangkan. Cinta hanya butuh ketulusan dari hati kecilmu. Dia pun akan menerima keputusanmu dengan besar hati dan mawas diri.

Percayalah, orang yang mencintai dan dicintai memiliki derajat yang sama. Bukan berarti ketika kamu dicintai, kamu dapat melakukan apa pun dengan egomu. Sebaliknya, jika kamu mencintai seseorang, kamu rela dirimu dipermainkan. Semuanya harus seimbang. Kemenangan dan kekalahan tidak ditentukan dari kekuasaan egomu, tapi dari kualitas keputusanmu. Seperti sebuah “keyakinan”, cinta adalah sebuah ketulusan. Kamu hanya perlu memberi dan menerima. Cinta tidak membutuhkan konsekuensi, tapi menerima konsekuensi atas semua hal yang telah kita pertimbangkan sebelum kita mencintai atau dicintai.

Sejatinya, sebuah kebahagiaan tidak akan pernah dapat dipaksa. Kebahagiaan cukup dirasakan, tidak perlu kamu perdebatkan dengan argumentasi yang hebat. Kebahagian akan muncul dan terasa lengkap, saat kita dapat melengkapi hidup orang lain. Itulah sempurnanya manusia dihadapan Tuhan. Kita melengkapi orang lain yang akan menjadi pasangan kita nantinya. Orang lain yang akan melengkapi hidupmu. Dia ada karena kamu ada. Dia bahagia saat kamu bahagia. Dia sedih saat kamu sedih. Dia yang ada dalam setiap langkahmu nantinya. Dia adalah teman seperjuanganmu. Teman bercerita mengenai mimpi-mimpimu yang akan kamu rajut. Dialah penolongmu. Teman dimana kamu menemui hadangan, tangis, sedih, gembira, kesusahan, lara, dan semua rintangan yang akan menghadangmu. Dia yang akan menjadi saksi tumbuhnya kedewasaanmu memaknai hidup ini. Dia yang akan tulus menerimamu apa adanya. Tanpa konsekuensi dari kekuranganmu. Karena dia mampu menutupi kekuranganmu dengan dirinya disampingmu. Kalian akan menjadi tim hebat hingga mampu menaklukkan dunia ini.

Kejarlah cintamu…jangan sampai cinta itu pergi meninggalkanmu…lalu membuatmu menyesal seumur hidupmu…seperti sebuah slogan iklan, cinta sejatinya “just do it”. Buktikan bahwa kamu layak untuk melengkapi hidup orang yang kamu cintai. Karena kelengkapan itu hanya akan tercipta saat kamu dan dirinya bersatu dalam sebuah cerita cinta...cerita layaknya sebuah dongeng yang akan selalu berakhir indah dan abadi. Selamat berjuang..!!!

Rabu, 09 Juni 2010

Deregulasi Perijinan Investasi sebagai Pengungkit Pembangunan Daerah

Setelah sewindu otonomi daerah berjalan, cermin perijinan investasi di daerah dewasa ini masih berkutat kepada masalah klasik seperti inefisiensi waktu, biaya, sampai tumpang tindih peraturan pusat dan daerah. Dampaknya pun sangat jelas, selain menghambat minat para investor untuk berinvestasi, peran swasta sebagai bagian dari aktor pembangunan terkebiri. Situasi ini tentu saja sangat riskan ditengah kompetitifnya iklim usaha antar negara. Selain berpotensi sebagai penghambat laju pembangunan daerah, perijinan investasi yang sulit cenderung menciptakan praktik bad governance dan perlambatan pengelolaan potensi daerah.

Tantangan
Pelayanan Perijinan Investasi Daerah

Saat ini dinamika perubahan kebijakan perijinan investasi pemerintah pusat kadangkala tidak mampu diikuti oleh daerah. Overlapping ini bukan hanya membawa dampak buru
k bagi iklim investasi; Adobsi kebijakan yang dilakukan daerah mentah-mentah justru menjadi kontra prestasi dari tujuan peraturan itu sendiri. Hambatan utama responsitas daerah tidak lepas dari minimnya inovasi dihampir semua daerah. Dukungan dana, budaya permisif, prinsip good governance yang belum maksimal, resistensi dinas teknis terkait karena kewenangannya diambil, serta SDM yang lack competence menjadi persoalan turunan penyelenggaraan perijinan di daerah. Debirokratisasi pelayanan perijinan pun sulit dilakukan. Di sisi lain, pembebanan PAD dalam proses pemberian ijin investasi menjadi gambaran bahwa orientasi Pemda/ Pemkot terhadap keberadaan investor tidak lebih sebagai lumbung pajak dan retribusi semata.

Belajar dari Kab Purbalingga.

Skema pembiayaan pembangunan daerah saat ini masih didominasi oleh APBN, APBD Propinsi dan Kab/kota. Paradigma lama ini secara tidak langsung meninggalkan peran swasta (investor) sebagai bagian dari pelaku pembangunan itu sendiri. Purbalingga sebagai daerah yang tidak memiliki sumber daya yang melimpah dan lokasi daerah yang tidak strategis menyadari pentingnya kesinambungan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam membangun ekonomi lokal dengan modal daerah yang dimilikinya. Pelayanan perijinan usaha sebagai pintu utama gerbang investasi pun di rombak sebagai awal menyingsing harapan. Perda yang tidak perlu dan cenderung menjadi penghambat diamputasi. Penggabungan dinas teknis dalam satu atap menghasilkan perijinan yang cepat, efisien, dan murah. Pelayanan perijinan yang responsif pun kini berbuah manis. Percepatan pembangunan Kab Purbalingga kini mengungguli saudara tuanya seperti Mojokerto, Banyumas, dan daerah eks Karesidenan Banyumas lainnya. Resep kemajuan Kab Purbalingga hanya sederhana, “strong political leadership” dan kemauan untuk berubah. Stimulus yang diawali dari penataan regulasi perijinan usaha memberikan multiplier effect yang signifikan. Berdirinya PMA dan PMDN mampu menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kesenjangan sosial yang tinggi. Tumbuhnya sektor usaha non formal kemudian pola kemitraan antara masyarakat dan pelaku usaha mampu menaikkan taraf hidup masyarakat lokal. Kota Purbalingga kini tidak lagi menyandang “Kota Mati”. Purbalingga telah hidup, bahkan dapat menghidupi warganya agar lebih hidup. Keberhasilan ini tidak lepas dari kemudahan pelayanan perijinan usaha dari pemerintah daerah setempat.

Deregulasi kebijakan dan penguatan institusi

Berlakunya Asean-China Free trade Area (ACFTA) tahun 2010 akan menjadi ujian awal bagi daerah-daerah untuk berbenah diri. Banyaknya persoalan yang muncul dari aturan ini tidak lain karena ketidaksiapan pusat serta daerah untuk menghadapi ACFTA. Penguatan kapasitas daerah sebagai regulator harus dilakukan, khususnya regulator bagi penyelenggaraan investasi. Peran pendukung seperti pembinaan, fasilitasi, dan intermediasi juga diperkuat demi terciptanya model perijinan investasi yang fair market. Dukungan seperti pasar, modal, teknologi, tenaga kerja, networking serta budaya kerja yang kompetitif wajib diciptakan untuk membangun iklim usaha yang kondusif. Penataan perangkat daerah dan minimalisasi resistensi antar dinas harus dilakukan demi menghindari kooptasi birokrasi serta praktik rent seeking. Potensi daerah yang besar tidak akan mensejahterakan masyarakatnya secara berkesinambungan jika regulasi perijinan usaha tidak dikelola dengan baik. Kab Purbalingga telah membuktikannya. Potensi daerah yang minim, justru menjadi driving force jika pengelolaan kegiatan investasi dilakukan dengan baik tanpa harus meninggalkan lokalitas daerah.

Selasa, 08 Juni 2010

Dagelan Atas Nama Dana Aspirasi DPR

Wacana Dana Aspirasi DPR (DAD) dalam persepktif semangat otonomi daerah oleh sebagian kalangan telah menabrak norma-norma desentralisasi. Harapan dari kemandirian pengelolaan keuangan dan urusan rumah tangga daerah agar lebih mandiri, justru menjadi kontra produktif dengan munculnya Dana Aspirasi DPR. Tujuan dari DAD dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah dirasa juga mengada-ada karena dari sisi kelahirannya saja, DAD telah menabrak pakem normatif aturan hukum sebelumnya.

Selain terkait dengan fatsun (etika) politik, munculnya Dana Aspirasi DPR sejatinya telah berdosa sebelum dilahirkan. Kelahiran DAD ditinjau dari kerangka otonomi daerah, sejatinya telah melanggar Undang-undang No. 17 Tahun 2003, Undang-undang No. 1 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004.

Pertama, Dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Munculnya wacana DAD akan mengesampingkan prinsip desentralisasi yang menjadi guidance utama hubungan pusat dan daerah. Proses alokasi anggaran yang dibuat oleh lembaga legislatif (DPR) justru melanggar prinsip otonomi daerah karena pemerintah daerah dan DPRD-lah berhak menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk daerahnya.

Kedua, Munculnya DAD justru merubah paradigma lama pengelolaan keuangan daerah (budgeting) yang berdasarkan pada input. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada dalam ranah Presiden dan dikuasakan pada Menteri, yang kemudian diserahkan kepada Gubernur/ Bupati / Walikota selaku pemangku kebijakan di daerah. Hal ini tidak sejalan dengan wacana DAD karena pada akhirnya pengelolaan anggaran berdasarkan sistem baru yang berdasarkan kinerja periode sebelumnya. Campur tangan DPR secara formal juga kian tinggi dalam mengambil keputusan anggaran nantinya.

Ketiga, Keberadaan DAD merubah proses pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Sebagai lembaga legislatif, DPR tidak diatur dalam Undang-undang untuk menggunakan anggaran. Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2004, pengguna anggaran bertanggung jawab kepada Presiden/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Penggunaan anggaran dilakukan oleh Kementrian-kementrian dan lembaga eksekutif sebagai pemegang mandat kuasa anggaran, termasuk pemerintah daerah di tingkat lokal ketika membuat APBD.

Resistensi yang ditimbulkan DAD selain tidak memiliki kekuasaan hukum yang kuat dan perpotensi melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Keberadaan DAD juga melanggar UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menteri Keuangan yang baru juga sudah memberikan sinyalemen yang cukup lugas bahwa keberadaan DAD akan berpotensi menimbulkan pelanggaran dalam hal prinsip pembagian tugas dan wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif. Potensi lain pelanggaran DAD adalah kurang sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, serta menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan daerah dan bertentangan dengan prinsip efisiensi.

Dana Aspirasi DPR ≠ Pemerataan Pembangunan

Dualisme tujuan wacana DAD untuk kesejahteraan rakyat memang menjadi pertanyaan mendasar oleh sebagian kalangan. Pendapat yang mengemuka selama ini lebih banyak mengarah kepada kepentingan politik saat wacana DAD digulirkan oleh anggota DPR, khususnya Partai Golkar sebagai inisiator dari pada murni untuk kemaslahatan rakyat.

Disamping akan melanggar hukum nantinya, keberadaan DAD juga tidak signifikan sebagai tools pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Alasan ini berkaca kepada UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD yang dibentuk berdasarkan jumlah penduduk. Implementasi DAD nantinya akan disalurkan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Daerah Pemilihan (Dapil). Masalahnya, Dapil di Indonesia Bagian Barat, khususnya pulau Jawa paling banyak dibandingkan Dapil lainnya karena jumlah penduduk yang sangat banyak.

Di pulau Jawa saat ini ada 39 Dapil dari 77 Dapil di Indonesia (DKI 3, Jabar 11, Banten 3, Jateng 10, DIY 1, dan Jatim 11) dengan jumlah anggota DPR terpilih sebanyak 306 orang (DKI 21, Jabar 91, Banten 22, Jateng 77, DIY 8, dan Jatim 87) sehingga jumlah dana aspirasi mencapai Rp 4,590 triliun. Dana alokasi ini akan menyerap lebih dari setengah DAD (sekitar 54,64 persen) hanya untuk wilayah pulau Jawa saja.

Sementara kalau dilihat selama ini sebaran penduduk miskin dan daerah tertinggal serta terpencil lebih banyak terkonsentrasi di Indonesia Bagian Tengah dan Timur yang jumlah wakil rakyatnya relatif lebih sedikit. Konsekuensinya, daerah yang miskin akan mendapatkan DAD lebih rendah. Logika pemerataan pembangunan dan kesejahteraan yang diungkapkan DPR sebagai pemanis wacana DAD ke publik pun sangat bertentangan dengan kajian Undang-undang aturan main yang ada selama ini.

DAD yang akan dialokasikan di setiap Dapil dipastikan tidak merata karena rawan diselewengkan, tidak adil, dan akan terjadi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Bahkan, dikhawatirkan akan menghambat prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini terjadi karena dalam praktiknya nanti, DAD berpotensi menimbulkan komplikasi pengalokasian dana dan akan menimbulkan masalah administrasi di masing-masing APBD, kerumitan pada perencanaan dan implementasi, serta bermasalah dalam pertanggungjawabannya.

Perlu Adanya Pengkajian Kembali

Wacana DAD memang menajdi preseden buruk dari proses penyelenggaraan negara, khususnya dalam ranah legislatif. DAD tidak lain adalah benchmarking dari kebijakan “pork barrel” sebagai bagian dari politik modern Amerika Serikat. Sayangnya, apa yang kita contoh kali ini adalah sesuatu yang buruk karena praktik pork barrel adalah bentuk kolusi yang dilegalkan lewat kerjasama politik. Di Amerika sendiri kontroversi “pork barrel” menjadi perdebatan hangat dikalangan rakyat Amerika karena praktik ini selain menjadi ladang pemborosan, tidak tepat sasaran, juga rawan praktik korupsi dan kolusi dalam pencairan dananya.

DAD tidak lain menjadi media untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar jasa konstituennya namun melalui uang negara. Berbeda konteksnya jika uang yang dipakai adalah uang pribadi anggota dewan (idealnya seperti itu). DAD juga dapat dijadikan sebagai sarana politik untuk mengamankan posisinya untuk Pemilu berikutnya. Selanjutnya, mekanisme mengelolaan anggaran aspirasi untuk membangun daerah ini juga belum jelas. Selain harus berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementrian terkait, peran pemerintah daerah juga harus dilibatkan karena mereka yang sebenarnya mengetahui akar masalah daerahnya masing-masing.

Sekali lagi, peran legislatif sebagai pembuat anggaran sekaligus eksekusi anggaran akan menjadi pro kontra dan menimbulkan kerumitan pengelolaan anggaran hubungan formal kelembangaan daerah. Derajat sentralitas yang sudah menurun dipastikan akan menguat kembali dan berpotensi menjadi pintu intervensi pusat kepada daerah. Dalam praktiknya nanti, dikhawatirkan DAD akan bernasib sama dengan pork barrel yaitu, ladang korupsi dan kolusi. Modusnya terutama dilakukan saat pencairan anggaran. Di Amerika, anggota konggres disinyalir banyak menerima uang pesanan (kick back) dari proyek-proyek yang berhasil dimenangkan. Praktik lobby juga menjadi ladang korupsi karena biasanya pemerintah daerah akan memberikan komisi kepada anggota konggres ketika daerah berhasil mendapat kucuran dana pembangunan.

Konsep dan mekanisme pemberian uang aspirasi dapil kepada DPR perlu dikaji lebih lanjut oleh pihak-pihak yang terkait, khususnya DPR. terutama mengenai proses penyerapan anggaran aspirasinya, apakah nantinya anggaran tersebut akan dikelola oleh perorangan anggota DPR atau dalam bentuk program pemerintah. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana mekanisme pencairannya. Apakah bantuan dari pusat ke daerah baru didistribusikan ke wilayah injeksi program, atau mekanisme yang dibuat mengesampingkan peran daerah dalam implementasi pencairan bantuan.

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/06/07/08462884/Quo.Vadis.Dana.Aspirasi, "Quo Vadis" Dana Aspirasi? Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/06/147266/3/1/Mengeruk-Uang-Negara-Atas-Nama-Aspirasi-Rakyat, Mengeruk Uang Negara Atas Nama Aspirasi Rakyat, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://nasional.kompas.com/read/2010/06/07/08462884/Quo.Vadis.Dana.Aspirasi, "Quo Vadis" Dana Aspirasi? Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/06/04/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20100604.202424.id.html, Dana Aspirasi Anggota Dewan Dikecam, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=1306, Dana Aspirasi DPR, Pork Barrel versi Indonesia, Selasa, 8 Juni 2010 | 08:46 WIB

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/dpr-ngotot-usulkan-dana-aspirasi/, DPR “Ngotot” Usulkan Dana Aspirasi, Senin, 7 Juni 2010 | 08:46 WIB