Selasa, 26 Januari 2010

Wakaf Sebagai Alternatif Pendanaan Sektor Pelayanan Publik (Urgensi Solusi Ditengah Krisis Finansial Dunia)

Krisis keuangan di Amerika Serikat telah memberikan efek multidimensi terhadap kelangsungan kegitan ekonomi bagi hampir semua bangsa saat ini. Di dalam negeri, efeknya sudah terasa oleh kalangan pengusaha dan masyarakat. Bursa saham Indonesia anjlok cukup dalam yang kemudian diikuti oleh penurunan pertumbuhan ekonomi domestik disektor finansial dan sektor riil. Secara logika jika krisis finansial ini tidak kunjung selesai, dapat dipastikan perubahan alokasi anggaran dan pembiayaan pembangunan akan ikut berubah. APBN- Perubahan untuk tahun 2009 akan terkoreksi seiring perubahan kebijakan fiskal dan ekonomi yang pastinya lebih diprioritaskan oleh pemerintah dalam menyelamatkan perekonomian. Lalu bagaimana dengan sektor pelayanan publik? Berkaca kepada komitmen pemerintah selama ini, bukan tidak mungkin sektor ini akan ikut tergerus. Alokasi dana pendidikan yang akan dialokasikan 20 persen untuk tahun 2009 bukan tidak mungkin akan direvisi mengingat keterbatasan APBN pemerintah pusat. Dalam situasi seperti ini, pengelolaan dana swadaya masyarakat untuk menjadi pengungkit partisipasi dalam pendanaan pelayanan publik seharusnya diberdayakan sebagai salah satu alternatif solusi.

Krisis keuangan yang terjadi sebenarnya mencerminkan kegagalan sistem kapitalis sebagai pemimpin sistem ekonomi dunia saat ini. Melihat sistem kapitalisme yang ada saat ini, dapat diidentifikasi bahwa pada hakikatnya ada dua pasar sebagai tumpuan utamanya, yaitu pasar riil dan pasar non rill. Pasar “non riil” yang bertumpu kepada pasar modal, saat ini tidak mampu lagi bersinergi dengan pasar “riil” dalam menjalankan roda ekonomi. Akibat asumsi “spekulatif” yang sangat dominan di pasar modal (pasar non riil) membuat keruntuhan fundamental ekonomi yang terjadi di bursa saham tidak dapat dihindari. Hal ini diperparah dengan persentase pasar “rill” dan “non rill” di Amerika yang perbandingannya mencapai 1:700. Ketika lantai bursa saham ambruk, dampaknya akan langsung terasa bagi sektior rill serta daya beli ekonomi masyarakat.

Sistem ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi baru lambat laun mulai dilirik untuk dijadikan solusi dalam menjawab permasalahan ini. Akan tetapi, kesempatan dan pembuktian terhadap sistem syariah yang masih sangat terbatas serta political will dari birokrasi yang kurang, membuat keunggulan sistem ini masih kurang impresif dan cenderung tidak terlihat selalu menjadi bayang-bayang sistem konvensional. Kelebihan utama dari sistem syariah salah satu satunya adalah tidak mengenal adanya pasar “non rill”. Sistem ini akan selalu menyertakan sebuah jaminan dalam melakukan transaksi ekonomi. Hal-hal yang sifatnya “spekulatif” yang sangat dominan di dalam sistem kapitalis cendurung tidak ada dalam sistem syariah. Kemudian dalam pengelolaan sumberdaya sistem syariah, terdapat dua hal penting. Ada sumberdaya yang memang diperbolehkan untuk dikelola oleh individu dalam bertransaksi ekonomi, akan tetapi ada juga sumberdaya yang hanya boleh dikelola oleh negara ketika berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Wakaf mungkin dapat dijadikan salah satu instrumen atau solusi untuk pembiayaan alternatif pelayanan publik dalam kerangka sistem syariah. Saat ini dikalangan masyarakat luas mulai muncul istilah cash waqf yang sering diterjemahkan sebagai wakaf tunai. Bila menilik objek wakafnya yang berupa uang, kiranya lebih tepat jika cash waqf diterjemahkan sebagai wakaf uang. Praktik wakaf uang atau wakaf tunai sebenarnya telah dilakukan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi pada zamannya. Artinya, bentuk wakaf uang atau wakaf tunai ini memang telah muncul sejak lama dan diaplikasikan oleh kelompok masyarakat tertentu yang menganut paham tertentu sebagai salah satu bentuk ibadah.

Perbincangan tentang wakaf uang semakin mengemuka ketika perkembangan sistem perekonomian dan pembangunan yang ada memunculkan inovasi-inovasi baru dewasa ini. Menurut M.A Manan, wakaf uang mulai diidentikasikan sebagai sebuah instrumen financial (financial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) yang mampu berafiliasi dengan perkembangan perekonomian dunia saat ini.

Ini menandakan bahwa sebenarnya berkembangnya wakaf tunai yang semakin cepat, mulai menjadi bagian penting dalam pembiayaan perekonomian terutama di sektor perdagangan dan invetasi bahkan pembiayaan pelayanan publik. Wakaf mulai menjadi instrumen keuangan dan perbankan sosial yang terlembaga dalam kerangka ketatanegaraan sebagai konsekuensi dari majunya sistem perekonomian Islam pada saat ini. Semakin berkembangnya peranan wakaf, terutama dalam bentuk uang, dilatarbelakangi juga oleh gagalnya sistem kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mampu menjawab permasalahan mendasar mengenai prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di dunia dewasa ini.

Persoalannya saat ini di Indonesia adalah pengelolaan wakaf masih belum optimal. Berdirinya Badan Wakaf Indonesia (BWI) mungkin menjadi angin segar dalam memajukan wakaf. Namun peran BWI dalam memajukan potensi wakaf juga harus ditopang dengan kebijakan yang tepat, mulai dari pembentukan kesadaran mengenai pentingnya wakaf sampai dengan penggunaan dana wakaf sebagai sebuah instrumen dana sosial. Artinya dibutuhkan penjabaran fungsi wakaf secara jelas dan terlegitimasi sebagai salah satu katup alternatif pembiayaan pelayanan publik. Kemampuan “swastanisasi” pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola dana, khususnya wakaf juga menjadi persoalan bagi terhambatnya sektor pembangunan pelayanan publik yang mandiri. Faktanya saat ini dana pemerintah daerah lebih banyak diparkir di Bank Indonesia untuk diinvestasikan disektor “non rill”. Bank Indonesia (BI) mencatat ada sejumlah dana milik Pemda yang menganggur di perbankan yang mencapai Rp 90,96 triliun. Celakanya, oleh bank-bank, termasuk bank pembangunan daerah (BPD), dana tadi ”diparkir” di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, jika disalurkan ke sektor riil melalui pemberian kredit dan pembangunan infrastruktur, dana itu diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian dan mengurangi beban BI yang harus menanggung bunga SBI, termasuk pembiayaan pelayanan publik.

Dana besar yang dimiliki Pemda saat ini nyatanya tidak memiliki efek yang signifikan terhadap perbaikan pelayanan publik, baik dari kualitas maupun kuantitas. Kompromi politik dan sosial dalam birokrasi serta praktik KKN tampaknya masih menjadi hambatan utama dalam penyerapan anggaran dana. Dalam UU otonomi Daerah No.33 Tahun 1999 dan 2004 tentang perimbangan keuangan daerah pusat dan daerah memang tidak mengakomodasi sumber pendanaan dari masyarakat, termasuk wakaf. Sektor pajak, retribusi, laba APBD dan APBN serta alokasi dana umum dan khusus dewasa ini masih menjadi motor utama sumber dana Pemda. Hal ini tampaknya menjadi titik lemah yang harus diperbaiki karena dana swadaya seperti wakaf tidak muncul sebagai alternatif pendanaan utama.

Dari sisi potensi, menurut CSRC (Centre for the Study of Religion and Research) aset wakaf di seluruh Indonesia adalah 362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun. Menurut PIRAC potensi wakaf untuk tahun 2007 nilainya sekitar tiga triliun. Sayangnya hampir semua asset wakaf tersebut masih cost centre sehingga masih memerlukan investor untuk memproduktifkannya. Implikasinya, realisasi dana wakaf yang terkumpul pada saat ini juga masih sangat kecil dari potensi yang ada yaitu sekitar dua milyar per tahunnya. Mungkin kedepan cash waqf dapat dijadikan alternatif solusi pendanaan bagi sector publik yang sifatnya sosial seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A Mannan dengan Social Investment Bank Limited (SIBL) untuk mengelola Sertifikat Wakaf Tunai di negara Bangladesh. SIBL telah merubah persepsi masyarakat Bangladesh bahwa ibadah wakaf bukan hanya didominasi orang-orang kaya, tetapi juga dapat diamalkan oleh orang banyak sesuai keadaan keuangan masing-masing. Selain itu pola seperti ini lebih mudah untuk diamalkan, karena tidak memerlukan proses administrasi yang rumit seperti halnya wakaf atas benda tidak bergerak yang selama ini masih mendominasi di masyarakat Indonesia.

Perubahan sistem kebijakan pendanaan sektor pelayanan publik yang radikal dibutuhkan dalam mencari solusi ditengah krisis financial. Wakaf dapat dijadikan alternatif baru dalam menggalang dana swadaya masyarakat yang dikelola secara terlembaga. Penyakit birokrasi seperti sindrom warlodisme (mumpung diserahi wewenang) harus di benahi dalam mengefektifkan wakaf sebagai dana publik. Sindrom warlodisme biasanya menyebar bersama dengan pungli dan rente ekonomi yang berhubungan erat dengan harta negara seperti APBD. Akan tetapi pelaksanaanya cenderung sarat dengan penyimpangan-penyimpangan dan tindak KKN. Kekhawatiran muncul kalau wakaf dikelola kembali oleh aktor birokrasi saja. Hal ini mengharuskan peran masyarakat publik untuk ikut berpartisipasi dalam suatu proses perumusan kebijakan publik. Partisipasi tersebut di antaranya melalui keterlibatan masyarakat secara langsung ataupun tidak dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi wakaf di masyarakat dalam membangun pelayanan public yang lebih baik dan merata.

Referensi:

• Djunaidi, Achmad dan ThobiebAl-Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, Depok: Mumtaz Publihing, 2008
• Puriyadi, Siasat Anggaran, Posis Masyarakat Dalam Perumusan Anggaran Daerah, Penerbit : Tiara Wacana, Yogyakarta (resensi buku dipublikasikan di alamat website: http://gp-ansor.org/?p=3727, Efisiensi Dana untuk Rakyat, oleh: Ahmad Bahaudin)
• http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kolom/1365.php., SBI, Otonomi Daerah, dan Prospek Ekonomi Daerah, oleh:Ryan Kiryanto
• www.suhrawardilubis.multiply.com, Wakaf Produktif dan Pembangunan, oleh: Suhrawardi K Lubis
• www.bw-indonesia.net, Aset Wakaf, Sangat Besar tapi Belum Produktif, Artikel ini telah dimuat di Republika, Selasa, 8 Juli 2008
• www.tabungwakaf.com, Masa Depan Wakaf Indonesia, Herman Budianto, sumber : Majalah FOZ Edisi : Februari-Maret 2007
Fatsun Politik dan Pembelajaran Demokrasi

Kurang lebih sebulan bangsa ini disajikan panggung dinamika demokrasi bernama Pansus Century. Banyak kisah sekaligus fakta terlihat betapa kelakuan sebagian anggota dewan yang terhormat belum memberikan contoh etika politik yang santun. Santun dalam arti mampu memberikan pembelajaran sekaligus pendewasaan dalam menyampaikan pendapat kepada khalayak umum.

Pansus yang dibentuk sebagai media konsultasi pun kehilangan wibawa dan esensi. Intrik politik, silat lidah dan aroma dendam tampak tersirat dari proses diskusi. Para narasumber yang sejatinya dipanggil untuk berkonsultasi serta proses check and balance berubah menjadi narapidana. Mereka dihakimi oleh tiga puluh anggota Pansus. Dan terlihat, narasumber yang dipanggil seolah-olah adalah orang yang sudah bersalah. Lebih jauh, wibawa individu yang dimintai keterangan seolah luntur didepan persidangan. Legitimasi sebagai pejabat negara pun seketika hilang di depan Pansus. Implikasinya, wibawa lembaga negara di negeri ini pun lenyap karena pimpinannya menjadi bulan-bulanan Pansus Century.

Rakyat merestui Pansus Century mengungkap skandal pencairan dana bailout ini sampai tuntas. Namun, penuntasan ini juga harus memakai etika dan praduka tidak bersalah. Pansus yang dibentuk ini harus tetap punya wibawa karena pembentukannya memakai dana miliaran rupiah. Anggota Pansus dikumpulkan tidak untuk mempertontonkan moral hazard yang tidak pantas untuk ditiru. Pansus dibentuk untuk mengungkap skandal Century sampai tuntas, tanpa meninggalkan sisi artistik dari proses berdemokrasi.

Inilah cermin langkah perjalanan demokrasi di negeri ini. Jalan tampaknya masih panjang karena faktanya, proses ini masih jalan di tempat, bahkan mundur. Betapa miris kita mendengarkan kata-kata tidak pantas terlontar saat sidang Pansus disaksikan jutaan pasang mata. Sebagai rakyat, saya malu melihat proses diskusi yang cenderung menjatuhkan seseorang. Inilah potret demokrasi bangsa kita. Potret yang didalamnya masih ditemui kegaduhan dan kadang diselingi kata-kata kotor.

Semoga Pansus memberikan pembelajaran bagi seluruh masyarakat bahwa dalam berpolitik, fatsun itu tetap menjadi pijakan utama. Etika politik memberikan ruang sekaligus cara bahwa dalam menyelesaikan masalah politik, tahapan proses sampai dengan pengambilan keputusan akhir tetap harus memberikan orientasi pembelajaran bagi publik.

Jumat, 22 Januari 2010

"jangan Pernah sungkan untuk patah hati..."

Kalimat ringan itu muncul disalah satu bab buku berjudul Message of Monday. Patah hati untuk sebagian orang bagai kiamat kecil. Dia datang tak diundang seperti maut. Tafsiran orang yang patah hati juga cenderung apreori dan terlihat pesimis. Tidak salah, juga wajar sebagai manusia. hanya saja, sang pengarang menambahkan bahwa patah hati sebenarnya menjadi media buat kita (bagi yang mengalami patah hati) untuk menjadi pembelajaran sekaligus simulasi memaknai arti cinta. Cinta yang tidak terpasung pada sebuah simbol hubungan laki-laki dan perempuan semata. Arti cinta di sini lebih luas, bahkan lebih dalam. Buku Message of Monday yang di karang rekan kerja saya, Sonny Wibisono memberikan pelajaran ringan bahwa ketika patah hati, peristiwa itu hanya riak kecil dalam lautan luas. Lebih lanjut, ilustrasi yang menarik juga dijelaskan bagaimana sebenarnya patah hati itu seperti layaknya cuaca yang dikaitkan dengan spanduk di sudut jalan. Patah hati Bisa panas, sejuk, dingin, bahkan hujan. Dia menguji ketahanan tinta warna sebagai simbol cinta, sekaligus kekuatan sebuah spanduk yang dibentangkan di jalan. Dan warna itu akan luntur ketika patah hati itu melunturkan cinta yang anda miliki.

Satu pelajaran penting dari pesan buku Message of Monday, bahwa patah hati boleh hinggap dalam perjalanan hidup kita. Patah hati bisa datang di saat kita menikmati harumnya cinta. Tapi, patah hati tidak boleh menghilangkan interpretasi kita tentang cinta yang sesungguhnya.

Sebaik dan sempurnanya sebuah cinta saat kita dapat berbagi. Itulah cinta.. Dihadapan tuhan, memberi sesama mengandung arti yang multidimensi. Nabi sekalipun memberikan contoh bahwa memberi sesama tanpa mengharapkan pamprih adalah seindah-indah sebuah cinta. Namun, dalam perspektif lain, cinta tidak hanya melulu harus memberi, tapi juga harus bisa menerima.

Dan ketika kita patah hati, selayaknya kita juga harus bersikap demikian. Kita harus menerima ini sebagai bagian dari konsekuensi kita saat memberi cinta kita kepada orang yang kita cintai (kalo cinta didefinisikan sebagai hubungan laki-laki dan perempuan). jadi...ketika hati kita patah, sambunglah hatimu dengan memberi..memberi apapun yang bisa kamu berikan...berikan yang terbaik dari kita untuk orang-orang yang kita sayangi...dan bukalah hatimu agar cinta itu kembali datang padamu. Dengan waktu, bentuk dan situasi yang berbeda dan tak terduga...

menggugat Profesionalisme Birokrasi

Semangat gelombang reformasi dan otonomi daerah satu dasawarsa terakhir memberikan multiwacana perubahan bagi ranah birokrasi untuk mereposisi dirinya menjadi lebih profesional. Sebagai mesin negara, birokrasi dituntut selalu responsif terhadap dinamika kehidupan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik. Aparatur negara dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang maksimal, dan tentunya dari segi kualitas tidak kalah dengan pelayanan swasta. Semangat itu tampaknya sudah mulai terlihat walau secara umum rapot merah masih diberikan kepada kinerja birokrasi kita oleh banyak pihak, khususnya masyarakat sebagai pengguna layanan.

Di tataran publik sendiri, muncul paradoks antara harapan dan kenyataan menyangkut profesionalitas kinerja birokrasi. Publik lebih banyak menggantungkan perubahan birokrasi yang radikal dan cepat hanya di pundak pemerintah semata. Padahal, kita tidak dapat memungkiri, publik juga ikut serta melanggengkan praktik-praktik bad governance seperti penyuapan, yang dikultuskan sebagai budaya yang wajar. Menjadi wajar karena baik aparatur negara yang nakal maupun publik sebagai pengakses layanan mentoleransi kekeliruan ini. Munculah sikap permisif sebagai bentuk budaya sungkan. Kewajaran ini terjadi dihampir semua ranah birokrasi ketika penyelenggaraan pelayanan publik berlangsung. Paradoks ini pula yang membuat elit pembawa semangat perubahan untuk memperbaiki kinerja birokrasi menjadi frustasi dan gusar. Stagnasi perubahan profesionalitas aparatur negara pun dipertanyakan, bahkan sering dibandingkan dengan profesionalisme pelayanan swasta.

Aspek historis

Masih rendahnya sikap profesionalisme aparatur negara di negeri ini tidak bisa lepas dari unsur sejarah panjang Sistem Administrasi Indonesia yang kita anut. Penerapan sistem yang dipakai saat ini adalah sistem warisan peninggalan pemerintahan kolonial yang berorientasi kepada dasar hukum serta kepentingan kolonial (lihat Prasojo, 2009). Paradigma usang ini juga tercermin dari perilaku sebagian besar aparatur negara kita, dimana kepentingan kelompok menjadi tujuan utama daripada menjalankan fungsi utama sebagai abdi masyarakat. Stigma ini ditegaskan juga oleh (lihat Thoha: 2003) dimana struktur birokrasi, norma, nilai, dan regulasi yang ada dalam birokrasi Indonesia masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa dari pada pemenuhan hak sipil warga negara. Faktor historis lainnya yang tidak kalah penting terkait proses rekruetmen yang hanya dimaknai sebagai program tahunan serta simbolisasi pengisian jabatan lowong sebagai bagian dari proses regenerasi kepegawaian. Lebih dari itu, kita tidak melihat proses rekruetmen yang dilakukan pemerintah didasari atas aspek kompetensi dan kebutuhan pegawai. Kita tidak melihat proses rekrutmen adalah pintu perubahan bagi birokrasi untuk lebih professional.

Selain itu, kelemahan yang teridentifikasi dari tahun ke tahun terkait proses penjaringan calon PNS, yaitu ketiadaan job analysis serta proporsi rasio antara kebutuhan aparatur negara dengan jumlah penduduk. Minimnya data yang dibutuhkan untuk proses analisis serta buruknya perencanaan sistem kepegawaian semakin memperlemah subsistem ini. Akibatnya banyak pegawai birokrasi yang penempatannya tidak akurat antara kompetensi yang dimiliki dengan beban kerja yang diberikan. Bahkan kita sering mendapati sebagian aparatur negara di negeri ini tidak tahu tugas dan wewenangnya sebagai seorang birokrat. Sistem birokrasi Webberian yang sangat kaku dan hierarki membuat kreatifitas para birokrat di level bawah terpasung karena sistem birokrasi yang dianut tidak mengakomodasi tumbuhnya kreativitas.

Carut marut situasi birokrasi

Di era otonomi daerah dewasa ini, hambatan utama dalam proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur birokrasi sebagian besar ditentukan oleh afiliasi antara pemangku kebijakan dengan calon pejabat birokrasi. Ini sebagai konsekuensi dari munculnya fenomena akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu dari elit lokal untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Masalah ini juga mengkerucut ke pusat, dimana motif dan modus operandi yang digunakan hampir sama dengan yang terjadi di daerah. Akibatnya korelasi antara profesionalisme aparatur negara dengan kompetensi yang dimiliki tidak berbanding lurus. Persoalan lain terkait dengan profesionalitas birokrasi adalah kurangnya sikap “legowo” dari aparatur negara ketika proses mutasi dan perampingan struktur organisasi dilakukan. Ketidakrelaan ini timbul karena “lahan” tempat mereka mencari makan akan hilang seiring berkurangnya kekuasaan yang melekat dalam dirinya. Ketakutan ini timbul karena dilatarbelakangi oleh belum mencukupinya gaji pokok dan insentif tambahan untuk PNS. Permasalahan mendasar inilah yang membuat para birokrat cenderung mencari alternatif sumber pendapatan lain, termasuk mengorbankan legitimasi kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi.

Buruknya profesionalitas birokrasi juga ditandai oleh pendobrakan terhadap nilai-nilai normatif penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini dapat kita lihat dari perseteruan “cicak versus buaya” sebagai simbolisasi antara penegak hukum (Polri dan Kejaksaan Agung) dengan khalayak umum. Publik diberikan ilustrasi fakta mengenai busuk dan munafiknya aparatur birokrasi kita dalam proses penegakan hukum. Di level daerah, kualitas dan kinerja birokrasi juga masih didominasi oleh keinginan elit lokal dan para birokrat untuk mencapai kekuasaan serta menguatnya inklusivitas kedaerahan. Ini menjadi peringatan untuk kita semua bahwa gagalnya proses profesionalitas aparatur negara tidak hanya ditentukan dari sisi internal, namun dari sisi eksternal juga sangat menentukan arah reformasi birokrasi di Indonesia. Tentu saja permasalahan ini berimplikasi kepada tidak optimalnya pelayanan publik yang kemudian diikuti tergerusnya kepercayaan publik kepada mesin negara bernama birokrasi

Dari sisi netralitas, birokrasi kita juga masih dihadapkan pada permasalahan pelik terkait afiliasi partai politik dengan aparatur negara. Maraknya Pilkada yang terjadi di daerah menjadi momentum bagi kedua belah pihak (parpol dan birokrat nakal) untuk membentuk simbiosis mutualisme. Partai politik menggunakan birokrasi sebagai sapi perah untuk finansial partai sekaligus mesin kampanye yang efektif dalam menjaring massa. Fenomena ini lazim kita jumpai di era kepemimpinan Soeharto pada masa orde baru dengan “Golongan Karya” nya. Sebaliknya, para birokrat meminta jaminan keamanan jabatan agar tidak diganti atau bahkan mendapat promosi jabatan ketika calon pemimpin daerah yang didukung memenangkan pilkada. Faktor eksternal inilah yang kadang menjadi batu sandungan untuk merubah perilaku moral hazard aparatur negara ke arah profesionalitas.

Melihat ke dalam internal birokrasi, identifikasi masalah yang juga muncul dalam membangun profesionalisme aparatur negara terkait lemahnya subsistem seperti: rekruetmen, penggajian dan penghargaan (reward), pengukuran kinerja, promosi jabatan, dan pengawasan (lihat Prasojo, 2009). Gagalnya pembenahan subsistem ini melahirkan kesenjangan kemampuan dalam diri birokrat untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya (lack competencies).

Menuju profesionalisme birokrasi

Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para pakar otonomi daerah praktisi di lapangan untuk membenahi carut marut birokrasi di negeri ini. Dari semua solusi yang ada, penulis mencoba memetakan hal-hal apa saja yang menjadi urgensi pembenahan agar birokrasi kita menjadi lebih profesional. Pertama, sikap profesionalisme birokrat dapat dihadirkan dari seorang pemimpin (presiden, atau kepala daerah) sebagai panutan bagi para aparat bawahannya. Di daerah yang memiliki pemimpin dengan strong political leadership yang sangat kuat, secara tidak langsung efek positif memang terlihat jika berkaca kepada daerah otonom yang berhasil mereformasi birokrasinya. Daerah seperti Sragen, Jembrana, dan Purbalingga menjadi gambaran bahwa korelasi keberhasilan reformasi birokrasi dengan penguatan peran pemimpin memang terlihat. Kedua, Pembenahan sistem rekruetmen berdasarkan merit system harus segera dilakukan. Selama ini praktik red-tape birokrasi masih berlangsung sehingga kompotensi individu sering dipinggirkan. Padahal, kompetensi dan kebutuhan posisi jabatan harus disinergiskan untuk menghindari lack competencies. Ketidaktepatan penempatan pegawai akan mengakibatkan tidak optimalnya proses pelayanan publik serta inefisiensi dari sisi anggaran. Ketiga, Pembenahan relokasi institusi rekruetmen pegawai juga harus dilakukan. Selama ini proses rekruetmen hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah saja. Keikutsertaan pihak lain, seperti unsur akademisi dan organisasi masyarakat (NGO) belum diikutsertakan. Ke depan, porsi stageholder harus diperkuat dalam melakukan rekruetmen. Berperannya institusi non pemerintah dimaksudkan agar proses pengawasan dan independensi tetap terjaga. Idealnya, institusi pemerintah pusat dan daerah nantinya hanya akan menjadi regulator dalam proses rekruetmen dan lebih banyak memberikan urusan teknis kepada pihak independen. Hal ini juga untuk menghindari benturan kepentingan dari dalam birokrasi terhadap proses rekruetmen serta menjaga netralitas birokrasi. Keempat, Perbaikan sistem gaji juga harus dibenahi. Komitmen pemerintahan SBY pada masa jabatan pertama perihal kenaikan gaji pegawai dalam nota APBN tahun 2010 patut diapresiasi sebagai langkah maju. Akan tetapi itu hanya bersifat temporer. Kita membutuhkan sistem penggajian berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya. Keseimbangan antara beban kerja dengan reward yang diterima harus seimbang. Kesalahan mendasar pemerintah dalam proses penggajian selama ini adalah memukul rata jumlah gaji PNS. Kalaupun ada yang membedakan, itu terkait dengan waktu pengabdian dan status golongan PNS. Tidak ada indikator baku mengukur beban kerja dan reward yang akan diperoleh, termasuk bentuk punishment-nya. Terkait reward, memang sudah ada remunerasi PNS disebagian departemen pemerintah. Namun, remunerasi saja tidak cukup jika tidak ada pengawasan untuk mengawal prosesnya. Dibutuhkan evaluasi yang komprehensif untuk semua PNS berikut sanksi (punishment) yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran kode etik saat remunerasi telah diberikan. Kelima, Bias pengukuran kinerja PNS di Indonesia masih cukup kuat dan membingungkan. Indikator-indikator yang dipakai oleh pemerintah dalam menilai kinerja seorang PNS ”baik atau tidak” sangat tergantung dari subjektifitas pimpinan. Tidak ada mekanisme yang fair sebagai panduan utama dalam menilai kinerja PNS. Selama ini UU No. 8 Tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun 1999 dan PP No. 10 Tahun 1979 tentang Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3) menjadi dasar hukum dan panduan dalam mengukur penilaian kinerja PNS. Kelemahan mendasar dari DP3 terkait dengan ukuran-ukuran kinerja yang masih bersifat umum dan sangat bias karena memasukkan unsur suka dan tidak suka (like and dislike) seorang pimpinan kepada bawahan (lihat Prasojo, 2009). Permasalahan inilah yang kemudian berimplikasi kepada ketidakjelasan promosi jabatan, mutasi jabatan, dan proses rekruetmen yang amburadul.

Dari semua solusi di atas, penekanan reformasi ke arah pendulum profesionalitas memang harus dimulai dari perubahan paradigma dan mentalitas birokrat agar menjadi pelayan masyarakat yang baik dan mandiri. Hal ini memang sangat sulit karena mengubah perilaku birokrasi sekaligus juga budaya organisasi yang sudah terlanjur rusak. Selama ini perbaikan dari sisi teknis seperti remunerasi memang berdampak positif terhadap laju reformasi birokrasi. Namun, keseimbangan perbaikan subsistem yang lain dalam sistem birokrasi tetap harus dijaga. Keseimbangan itu akan tercapai jika sistem birokrasi, khususnya sistem kepegawaian, dikondisikan menjadi lebih transparan mulai dari proses rekruetmen sampai masa dimana seorang birokrat memasuki pensiun. Selanjutnya, peran masyarakat sebagai penerima layanan dan sivil society dalam mengawasi serta menjadi bagian penting dalam proses reformasi juga mesti diperkuat. Maraknya proses ujian masuk pegawai negeri sipil disetiap akhir tahun setidaknya menjadi cerminan bagi kita bahwa praktik paradigma lama perekrutan PNS masih terjadi. Evaluasi sementara penulis, perubahan subsistem yang diharapkan hadir belum dilakukan secara maksimal. Jika terus dibiarkan, ini menjadi warning sekaligus antiklimaks bagi keberlangsungan serta arah reformasi birokrasi di negeri ini.